HOTEL Grand Mahakam menjadi saksi bisu pemicu perseteruan antara Ketua KPK (Nonaktif) Antasari Azhar dan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran (PRB) (alm) Nasrudin Zulkarnaen. Di kamar 808, Antasari pernah kepergok sedang bermesraan dengan Rani Juliani, istri ketiga Nasrudin. Kamar 808, adalah kamar eksekutif dan tak semua orang bisa menyewanya. Sumber Persda Network menjelaskan, Antasari check in di kamar tersebut, melalui pengusaha Sigid Haryo Wibisono yang kini juga berstatus tersangka. Sigid meminjamkan kamar ini kepada Antasari. Sebab, bila Antasari melewati jalur biasa, maka akan dengan mudah terlihat oleh banyak orang. "Kalau lewat jalur biasa, Pak Antasari bawa perempuan yang bukan istrinya, kan bisa bahaya," kata sumber tersebut. Namun, entah karena memang sudah membuntuti Rani atau memang sudah "menyetting" kisah perselingkuhan itu, Nasrudin langsung dengan mudah bisa menangkap basah Antasari dan Rani di kamar itu. Antasari pun tidak berdaya dan tidak bisa berbuat banyak.
Kamis, November 19, 2009
VIDEO MESRA ANTASARI DAN RANI JULIANI
Label: Artikel, foto, video
antasari,
rani juliani,
skandal sex
Minggu, Juli 19, 2009
Mega Pertanyakan Maksud SBY Soal Pengganggu Pilpres
Jumat, 17/07/2009 17:24 WIB
Taufiqqurahman - detikNews
Jakarta - Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri mempertanyakan maksud SBY yang mengaitkan kasus Bom JW Marriott dan Ritz Carlton dengan Pilpres 2009. Jika memang sudah tahu pelakunya, Mega mempertanyakan sikap SBY yang tidak langsung menangkap, tetapi justru berwacana di media. "Saya juga mempertanyakan hal itu. Kalau sudah jelas, kenapa tidak ditangkap," kata Mega dalam jumpa pers di Kediamannya Jl Teuku Umar, Menteng, Jakarta, Jumat (17/7/2009).Mega berharap SBY tidak buru-buru mengaitkan soal bom ini dengan pilpres tanpa bukti yang kuat. "Itulah makanya, kalau masalah pemilu, jangan dikaitkan dengan terjadinya pengeboman di dua tempat tersebut," pinta Mega. Mega juga meminta ketegasan SBY dalam menindak pelaku pengeboman. Jika memang sudah mengantongi bukti awal dan nama pelaku, SBY diminta langsung menangkap."Kalau memang sudah tahu, tolong saja, saya minta diungkap siapa mereka. Kalau menurut saya, saya seorang pemimpin itu harus bisa," pungkasnya.(yid/asy)
Mega Minta Pemerintah Tidak Politisir Masalah
Jumat, 17/07/2009 17:12
Muhammad Taufiqqurahman - detikNews
Jakarta - Pidato Presiden SBY soal kemungkinan terjadinya hubungan antara Pilpres dan peledakan bom di Ritz Carlton dan JW Marriott dipertanyakan. Hal tersebut dinilai upaya untuk mempolitisir masalah."Meminta pemerintah tidak mempolitisir masalah dan memperkeruh suasana dengan mengaitkan peristiwa tersebut dengan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden yang baru saja berlangsung," kata Capres Megawati saat jumpa pers di kediamannya, Jl Teuku Umar, Jakarta Pusat, Jumat (17/7/2009).Menurut Mega, pernyataan tersebut tidak sesuai dalam kondisi saat ini. Seharusnya, seluruh masyarakat bersatu melawan terorisme dan kejahatan kemanusiaan.Mega juga mengutuk keras pengeboman ini. Bersama Prabowo, ia juga ikut berbelasungkawa atas meninggalnya korban yang tidak berdosa."Kami juga meminta pada pemerintah untuk mengungkap siapa pelaku peristiwa tersebut," tegasnya.(mad/iy)
Jakarta - Pidato Presiden SBY soal kemungkinan terjadinya hubungan antara Pilpres dan peledakan bom di Ritz Carlton dan JW Marriott dipertanyakan. Hal tersebut dinilai upaya untuk mempolitisir masalah."Meminta pemerintah tidak mempolitisir masalah dan memperkeruh suasana dengan mengaitkan peristiwa tersebut dengan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden yang baru saja berlangsung," kata Capres Megawati saat jumpa pers di kediamannya, Jl Teuku Umar, Jakarta Pusat, Jumat (17/7/2009).Menurut Mega, pernyataan tersebut tidak sesuai dalam kondisi saat ini. Seharusnya, seluruh masyarakat bersatu melawan terorisme dan kejahatan kemanusiaan.Mega juga mengutuk keras pengeboman ini. Bersama Prabowo, ia juga ikut berbelasungkawa atas meninggalnya korban yang tidak berdosa."Kami juga meminta pada pemerintah untuk mengungkap siapa pelaku peristiwa tersebut," tegasnya.(mad/iy)
Prabowo: Berpikir Pun Tidak untuk Lakukan Tindakan Biadab
Jumat, 17/07/2009 19:25 WIB
Moksa Hutasoit - detikNews
Jakarta - Cawapres Prabowo Subiyanto membantah tuduhan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menuding kemungkinan ada motif politik dalam insiden bom di Hotel Ritz Carlton dan JW Marriott. Prabowo mengatakan, berpikir pun tidak untuk melakukan tindakan biadap seperti pengeboman."Tidak ada dari kubu Mega-prabowo dan JK-Wiranto, berpikir pun tidak untuk mengungkapkan kekecewaan melalui kegiatan biadab," kata Prabowo di Sekretariat Pemenangan Mega-Prabowo, Jl Cik Di Tiro, Jakarta, Jumat (17/7/2009).Prabowo menyayangkan komentar SBY. Menurutnya, seharusnya di tengah kondisi bangsa yang berduka akibat ulah teroris, harusnya kata-kata sejuk yang dikeluarkan, bukannya malah tuduhan."Kita harap ada kesejukan. Yang jelas kalau ada yang soelah-olah ada pihak yang kecewa, saya kira banyak yang kecewa," kata Prabowo."Apalagi seadainya dianggap ada pihak-pihak yang seolah-olah karena rasa kecewa dengan pilpres, malah ikut perkeruh suasana. Mari kita mempersejuk, bukan malah memperkeruh," pungkas Prabowo. (anw/ndr)
Jakarta - Cawapres Prabowo Subiyanto membantah tuduhan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menuding kemungkinan ada motif politik dalam insiden bom di Hotel Ritz Carlton dan JW Marriott. Prabowo mengatakan, berpikir pun tidak untuk melakukan tindakan biadap seperti pengeboman."Tidak ada dari kubu Mega-prabowo dan JK-Wiranto, berpikir pun tidak untuk mengungkapkan kekecewaan melalui kegiatan biadab," kata Prabowo di Sekretariat Pemenangan Mega-Prabowo, Jl Cik Di Tiro, Jakarta, Jumat (17/7/2009).Prabowo menyayangkan komentar SBY. Menurutnya, seharusnya di tengah kondisi bangsa yang berduka akibat ulah teroris, harusnya kata-kata sejuk yang dikeluarkan, bukannya malah tuduhan."Kita harap ada kesejukan. Yang jelas kalau ada yang soelah-olah ada pihak yang kecewa, saya kira banyak yang kecewa," kata Prabowo."Apalagi seadainya dianggap ada pihak-pihak yang seolah-olah karena rasa kecewa dengan pilpres, malah ikut perkeruh suasana. Mari kita mempersejuk, bukan malah memperkeruh," pungkas Prabowo. (anw/ndr)
Fuad Bawazier: SBY Ngawur!
Sabtu, 18/07/2009 15:34 WIB
Jakarta - Isi jumpa pers Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam menyikapi kasus bom JW Marriott-Ritz Carlton menuai kontroversi. Ada yang menilai SBY tidak pantas mengaitkan bom dengan kondisi perpolitikan Tanah Air."Ini malah nakut-nakutin orang. Bilang saya juga akan dibunuh terkait pilpres lagi dan sebagainya. Itu ngawur," kata Ketua Timses JK-Wiranto, Fuad Bawazier, usai menjenguk istrinya yang dirawat di RS MMC, Jl HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Sabtu (18/7/2009).Menurut Bawazier, sikap SBY sebagai presiden tidak proporsional. Seharusnya SBY cukup mengatakan seputar pengusutan kasus pengeboman tersebut."Seharusnya dia cukup bilang dia akan menyeret pelakunya. Cukup itu aja," tandasnya.Dalam jumpa persnya, SBY mensinyalir ada yang berusaha mengacaukan pemilu dan mencegah dirinya memegang kembali tampuk kepresidenan. Bahkan SBY sempat menunjukkan beberapa foto pelatihan militer ilegal yang mengancam keamanan dirinya.(ape/gah)
SBY Minta Polisi Teliti Kaitan Bom dengan Ancaman-ancaman Politik
Jumat, 17/07/2009 15:14 WIB
Jakarta - Presiden SBY mengaku mendapat ancaman-ancaman terkait Pilpres 2009. Bahkan, ada ancaman agar SBY tidak dilantik. Karena itu SBY meminta kepada aparat Polri dan lembaga-lembaga penegakan hukum untuk meneliti apakah bom di Marriott dan Ritz Carlton itu terkait dengan hal itu atau tidak. "Terhadap semua (data) intelijen itu, apakah terkait dengan bom hari ini atau tidak, saya menginstruksikan pada jajaran penegak hukum menjalankan hukum dengan benar, objektif, tegas dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum," tegas SBY dengan wajah serius dalam jumpa pers di Istana Presiden, Jumat (17/7/2009). Ancaman-ancaman yang disampaikan SBY, antara lain: foto kepalanya dijadikan sasaran tembak oleh kelompok teroris yang sedang berlatih menembak, ada ancaman revolusi bila SBY menang, ada ancaman agar SBY tidak dilantik sebagai presiden, dan ada ancaman menjadikan Indonesia seperti Iran. Andaikata, lanjut SBY, bom hari ini tidak terkait ancaman-ancaman itu, harus tetap dicegah dan dihentikan. "Karena ini anarkis, tindak kekerasan, tindakan melawan hukum, bukan karakter demokrasi, dan bukan karakter negara hukum," tegas SBY.SBY Mengutuk dan Prihatin"Sangat jelas atas semua ini, saya selaku kepala negara dan kepala pemerintahan mengutuk keras aksi teror yang keji ini, saya juga sangat-sangat prihatin dengan kejadian ini. Barangkali, biasanya, keadaan seperti ini, di atara kita kurang berani menyatakan kutukan dan kecamannya, karena politik. Saya dengan bahasa perang mengemukakan seperti itu," sambung SBY.SBY juga menyampaikan keprihatinan yang mendalam atas ledakan bom itu. "Mengapa saya prihatin? Saudara tahu lima tahun terakhir, ekonomi kita baik, dunia usaha membaik, swasembada pangan, sektor riil semua bergerak, meski kita menghadapi krisis-krisis globa yang datang silih berganti," kata dia. "Seminggu terakhir, nilai saham menguat, rupiah menguat, ekonomi tumbuh, dilaksanakan program-program penanggulangan kemiskinan, pengangguran, program pro rakyat. Semua terjadi, karena tahun-tahun terakhir negara kita benar-benar aman dan damai, sehingga di samping ekonomi tumbuh, menjalani kehidupan dengan tenang dan bebas dari ketakutan," ujar dia.SBY juga menyampaikan bahwa citra Indonesia di mata dunia membaik lima tahun terakhir. "Citra kita di mata dunia, tahun-tahun terakhir meningkat, karena dunia menilai negara makin aman dan damai, demokrasi di negara kita makin mekar, penghormatan terhadap HAM juga baik," kata dia.(asy/iy)
SBY: Saya Bersumpah Tindak Tegas Pelaku Bom, Otak dan Penggeraknya
Luhur Hertanto - detikNews
Jumat, 17/07/2009 15:36 WIB
Jakarta - Presiden SBY mengutuk keras peledakan bom di Hotel JW Marriott dan The Ritz Carlton Mega Kuningan, Jakarta Selatan. Dia juga prihatin. Karena itu, SBY bersumpah untuk menindak tegas pelaku peledakan bom, termasuk otak dan penggeraknya. "Saya bersumpah, demi masyarakat Indonesia yang saya cintai, negara dan pemerintah akan melakukan tindakan tegas, tepat, dan benar terhadap pelaku pemboman, otak dan penggeraknya, dan atau kejahatan-kejahatan lainnya," kata SBY dalam jumpa pers di Istana Presiden, Jakarta, Jumat (17/7/2009). SBY meminta kepada Polri, TNI, dan BIN, serta para kepala daerah lebih waspada. "Kepada POlri, TNI, BIN, dan termasuk gubernur dan bupati/walikota, saya minta waspada mencegah aksi teror. Penegak hukum harus bisa mencari, menangkap dan mengadili para pelaku, penggerak dan otak di belakang aksi kekerasan ini," tegas dia.Di depan wartawan, SBY juga menyampaikan bahwa Polri telah mencegah dan menggalakkan pemberantasan terorisme. "Saya tahu lima tahun imi, Polri mencegah dan menggagalkan aksi teroris ini, menemukan bahan peledak yang siap diledakkan, membongkar jaringannya, meski lolos hari ini," ucap SBY. "Terjadi musibah yang merobek keamanan dan nama baik bangsa kita. Agar tugas untuk mencegah dan memberantas terorisme ini serta kejahatan-kejahatan dilakukan dengan baik, intelijen harus benar-benar tajam. Pencegahan harus benar-benar efektif. BIN dan Polri harus bersinergi. Sikap lengah harus dibuang. Ini amanah kita terhadap negara," sambung dia.(asy/iy)
SBY: Jangan Biarkan Mereka Bertindak Seperti Drakula
Luhur Hertanto - detikNews
Jumat, 17/07/2009 14:55 WIB
Jakarta - Entah siapa yang disindir Presiden SBY. Dalam jumpa pers tentang bom JW Marriott dan Ritz Carlton, SBY meminta agar orang-orang yang pernah menghilangkan orang lain jangan sampai lolos dari jeratan hukum. "Jangan biar mereka bertindak seperti drakula," kata SBY. Jumpa pers SBY ini digelar di Istana Presiden, Jakarta, Jumat (17/7/2009). Jumpa pers dihadiri oleh para pejabat bidang politik dan keamanan, seperti Menko Polhukam Widodo AS, Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso, dan Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri. "Barangkali ada di antara kita, yang beberapa waktu lalu melakukan kejahatan, membunuh, menghilangkan orang, dan masih lolos dari jeratan hukum, negara tidak akan membiarkan mereka lagi bertindak seperti drakula," tegas SBY dengan mimik yang sedih dan agak emosi. Menurut SBY, apa yang telah dibangun pemerintah dan rakyat Indonesia selama lima tahun terakhir dengan tetesan keringat lagi-lagi mengalami goncangan dan kemunduran. "Lagi-lagi dampak buruk harus dipikur masyarakat Indonesia, minus mereka-mereka yang melakukan tindakan tak bertanggung jawab. Karena itu, kebenaran dan keadilan harus ditegakkan dan diwujudkan," tegas dia. Jumpa pers ini digelar SBY menggelar rapat koordinasi dengan pejabat-pejabat di bidang Polkam. Ikut dalam jumpa pers itu, antara lain Menko Polkam Widodo AS dan Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri. SBY dan para pejabat yang berdiri di belakangnya memperlihatkan wajah yang sedih dan tegang. Mendiskusikan ledakan di Mega Kuningan lebih lanjut? Gabung di sini. (asy/iy)
Fadli Zon: Pernyataan SBY Memperkeruh Suasana
Jumat, 17/07/2009 15:16 WIB
Jakarta - Pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menduga ada motif politik di balik peristiwa pengeboman di Hotel JW Marriot dan Ritz Carlton dianggap justru akan memperkeruh suasana. SBY juga dinilai mengambil manfaat politik dari insiden ini."Ini adalah pernyataan profokatif dan memperkeruh suasana. Karena harusnya pemerintah membantu merawat korban, serta investigasi terhadap teroris," kata Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon kepada detikcom, Jumat (17/7/2009).Fadli Zon menduga, pernyataan SBY tersebut dimaksudkan untuk mengambil manfaat politik atas kejadian ini. "Jangan mengambil keuntungan politik dengan mengail di air keruh," cetus pria berkaca mata ini.Dia mengatakan, tuduhan SBY tersebut sangat spekulatif karena belum dilakukan investigasi mendalam. Menurutnya, ini menunjukkan, SBY tidak memiliki sifat kenegarawanan."Tuduhan itu spekulatif, itu jauh dari sifat kenegarawanan dan saya kira tak akan selesaikan persoalan," ujarnya.Sebagai bagian dari komponen bangsa, imbuhnya, Gerindra juga menyatakan duka yang mendalam atas terjadinya ledakan bom yang menewaskan 9 orang tersebut."Seolah-olah ada usaha untuk menduduki KPU, itu terlalu dini dan cenderung ambil keuntungan politik saat investiagsi belum dilakukan," pungkas Fadli. (anw/mad)
Jakarta - Pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menduga ada motif politik di balik peristiwa pengeboman di Hotel JW Marriot dan Ritz Carlton dianggap justru akan memperkeruh suasana. SBY juga dinilai mengambil manfaat politik dari insiden ini."Ini adalah pernyataan profokatif dan memperkeruh suasana. Karena harusnya pemerintah membantu merawat korban, serta investigasi terhadap teroris," kata Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon kepada detikcom, Jumat (17/7/2009).Fadli Zon menduga, pernyataan SBY tersebut dimaksudkan untuk mengambil manfaat politik atas kejadian ini. "Jangan mengambil keuntungan politik dengan mengail di air keruh," cetus pria berkaca mata ini.Dia mengatakan, tuduhan SBY tersebut sangat spekulatif karena belum dilakukan investigasi mendalam. Menurutnya, ini menunjukkan, SBY tidak memiliki sifat kenegarawanan."Tuduhan itu spekulatif, itu jauh dari sifat kenegarawanan dan saya kira tak akan selesaikan persoalan," ujarnya.Sebagai bagian dari komponen bangsa, imbuhnya, Gerindra juga menyatakan duka yang mendalam atas terjadinya ledakan bom yang menewaskan 9 orang tersebut."Seolah-olah ada usaha untuk menduduki KPU, itu terlalu dini dan cenderung ambil keuntungan politik saat investiagsi belum dilakukan," pungkas Fadli. (anw/mad)
'Pakai' Bom untuk Serang Capres Lain, SBY Salah Gunakan Kekuasaan
Jumat, 17/07/2009 19:57 WIB
Jakarta - Pernyataan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) soal bom yang dikaitkan dengan pihak yang kecewa dengan 'hasil' Pilpres dianggap Tim Kampanye Nasional Mega-Prabowo sebagai penyalahgunaan jabatan sebagai presiden. SBY dianggap telah melakukan abuse of power karena telah menggunakan jabatan presidennya untuk menyerang capres lain. "SBY telah menggunakan kekuasaan sebagai presiden untuk membela diri. Ketika menuding calon presiden lain, itu sudah masuk ranah Pilpres. Ia menyalahgunakan kekuasaan untuk menuding capres yang lain. Seharusnya jika mau seperti itu, ia harus tinggalkan posisinya dulu sebagai presiden. Itu namanya abuse of power," kata anggota Tim Kampanye Nasional Mega-Prabwowo Sonny Keraf.Hal itu disampaikan Sonny dalam jumpa pers di kantor Sekretariat Tim Kampanye Nasional Mega-Prabowo, Jl Teuku Cik Ditiro, Jakpus, Jumat (17/7/2009). Cawapres Prabowo Subianto juga hadir dalam acara tersebut.Menurut Sonny, penggunaan cara-cara seperti aksi bom tidak pernah terlintas dalam pikiran pihaknya. Tim Mega-Prabowo, kata dia, tetap mengedepankan jalur hukum untuk mengkritisi pelaksanaan Pilpres 2009."Untuk mengkritisi Pilpres, kita melakukannya dalam ranah hukum. Hal itu seperti yang diputuskan Rakernas VI PDIP yang lalu. Tidak ada niat pun dari PDIP dan Gerindra untuk menggunakan cara-cara kekerasan. Tidak benar tudingan-tudingan seperti itu," tegasnya.Lebih lanjut, aktivis lingkungan ini juga menyatakan aksi bom yang terjadi di Hotel JW Marriott dan Ritz Carlton adalah bentuk ketidakmampuan pemerintah dan intelejen sebagai bagiannya, untuk mengamankan negara dalam rangkaian Pilpres 2009."Ini menunjukkan intelijen tidak mampu menjaga keamanan negara sampai presiden terpilih kembali. Belum sampai pengumuman kPU, ternyata keamanan kita terganggu," pungkasnya.(lrn/iy)
Tim Mega: Kalau Mau Nuduh Tanggalkan Jabatan Presiden
Jumat, 17/07/2009 21:03 WIB
Moksa Hutasoit - detikNews
Jakarta - Pernyataan Presiden SBY yang menduga ada keterkaitan antara kasus bom JW Marriot dan Rizt Carlton dengan pilpres berbuntut panjang. Tim Mega-Prabowo yang menilai pernyataan itu menyudutkan capres tertentu meminta SBY proporsional. Demikian dikatakan Sonny Keraf, penasehat tim kampanye Mega-Prabowo, atas dugaan Presiden SBY. Hal ini disampaikannya dalam keterangan pers di Sekretariat Kampanye Nasional Megawati-Prabowo, Jl Cik Di Tiro, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (17/7/2009)."Kami menilai bahwa Presiden SBY telah menggunakan kekuasaan. Kalau dia mau menuduh, tanggalkan posisi presiden, baru berhadapan dengan capres yang lain," kata Sonny. Menurut anggota DPR RI dari PDIP ini, seharusnya informasi yang masuk ditindaklanjuti dengan baik langkah kongkrit. Selain itu SBY tidak seharusnya memanfaatkan peran BIN untuk kepentingan pribadinya."Kalau ada informasi intelejen kepada dia sebagai capres artinya dia menggunakan alat negara untuk kepentingan pribadi sebagai capres untuk menuduh calon yang lain," paparnya."Kalau dia menggunakan informasi itu sebagai presiden, untuk menuding calon yang lain, dia itu sudah menggunakan kekuasaan dia sebagai presiden untuk menghantam calon yang lain," pungkasnya.(yid/lh)
Sebut Drakula Dalam Pidato, SBY Diminta Klarifikasi
Sabtu, 18/07/2009 20:15 WIB
Jakarta - Dalam jumpa persnya menanggapi bom JW Marriott dan Ritz Carlton, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyebut-nyebut drakula yang menghilangkan orang lain. Tim Mega-Prabowo meminta SBY untuk mengklarifikasi maksud dari ucapan SBY tersebut."Kita meminta klarifikasi kalau memang ini menimbulkan efek yang luas, harus dipertanggungjawabkan," kata Koordinator Tim Advokasi dan Hukum Timkamnas Mega-Prabowo, Gayus Lumbuun, dalam konferensi pers di Kantor DPP Golkar, Jl Anggrek Neli Murni, Jakarta Barat, Sabtu (18/7/2009).Gayus mengatakan, adanya istilah 'drakula penyebar maut' dalam pernyataan SBY, merupakan bagian yang sulit diterima oleh pasangan lain. "Bahasa-bahasa seperti itu membuat masyarakat menjadi bingung dan beringas," tuturnya.Sementara itu, salah satu anggota tim advokasi Mega-Prabowo, Arteria Dahlan, sangat menyayangkan pidato SBY tersebut. Menurutnya, untuk kesekian kalinya presiden telah keliru dalam memposisikan dirinya."Materi pidato kenegaraannya 60 persen terkait pemilu, 30 persen yang terkait insiden adalah hal-hal tanpa dasar, provokatif, dan di luar konteks," paparnya."Presiden SBY telah berusaha melakukan upaya penggiringan opini publik bahwa situasi politik sedang tidak harmonis," tandas dia. (nvc/sho)
Kamis, Juni 04, 2009
Buku Hitam Putih Polisi
Buku ini berisi hasil pengamatan saya terhadap cara polisi mengungkap kejahatan narkoba di Polda Metro Jaya. Dengan cara under cover atau penyamaran, polisi dibekali kewenangan diskresi, yang berarti boleh melakukan tindakan selektif sesuai dengan hati nuraninya. Polisi boleh melanggar undang-undang asalkan untuk tujuan penegakan hukum. Kewenangan diskresi ini pada prakteknya banyak yang menyimpang untuk tujuan koruptif, sehingga wajah polisi dalam pengungkapan kasus narkoba ada yang hitam dan putih, bahkan kebanyakan abu-abu. Jika anda ingin tahu seperti apa ragam diskresi kepolisian dalam pengungkapan jaringan narkoba, sebaiknya membaca buku ini.
Label: Artikel, foto, video
buku,
diskresi,
Kepolisian
Sabtu, Januari 10, 2009
Penyalahgunaan Diskresi pada Kebijakan Mobil Nasional
Ditulis oleh Zuryawan Isvandiar Zoebir di/pada 10 Agustus, 2008
Zuryawan Isvandiar Zoebir, Mahasiswa Magister Pembangunan Sosial Universitas Indonesia, Angkatan III, NPM. 8399040304
Tulisan ini merupakan paper dan merupakan tugas mata kuliah Hukum dan Pembangunan yang diberikan oleh Dr. Harkristuti Harkrisnowo
A. Pendahuluan
Kajian mengenai topik ini dikategorikan kedalam lingkup hukum administrasi negara, yaitu salah satu bidang hukum yang mengatur mengenai kedudukan, tugas dan fungsi pemerintah sebagai administrator negara. Pemerintah adalah “pengurus harian” negara yang terdiri dari keseluruhan jabatan/pejabat publik yang mempunyai tugas dan wewenang politik negara serta pemerintahan.
Dalam artian yang luas, hukum administrasi negara adalah hukum mengenai penyelenggaraan segala sesuatu yang mengandung aspek policy pemerintah dan hukum publik.
Apa yang dijalankan oleh pemerintah beserta aparaturnya adalah tugas-tugas pemerintah, yaitu tugas-tugas negara yang dilimpahkan atau dibebankan kepada pemerintah. Sedangkan tugas-tugas lainnya dibebankan kepada MPR (badan konstitutif), presiden dan DPR (badan legislatif), DPR (badan pengawas politik), DPA (badan konsultasi) dan BPK (badan pengawas finansial).
Pembahasan akan kami fokuskan kepada aspek tugas-tugas pemerintah, oleh karena pemerintah yang memiliki tugas dan tanggung jawab terbanyak dan kompleks pada hampir semua bidang tugas-tugas serta diprediksikan memiliki tingkat penyalahgunaan diskresi (detournement de pouvoir) tertinggi bila dibandingkan tugas-tugas yang dibebankan kepada lembaga negara lainnya.
Diskresi (freies ermessen) adalah kebebasan bertindak atau mengambil keputusan pada pejabat publik yang berwenang berdasarkan pendapat sendiri. Diskresi diperlukan sebagai pelengkap asas legalitas, yaitu asas hukum yang menyatakan bahwa setiap tindak atau perbuatan administrasi negara harus berdasarkan ketentuan undang-undang, akan tetapi tidak mungkin bagi undang-undang untuk mengatur segala macam hal dalam praktek kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu diperlukan adanya kebebasan atau diskresi pada pejabat publik dalam melaksanakan tugas, fungsi dan kewajiban yang dibebankan kepadanya.
Sehingga dapat dikatakan bahwa untuk mengatur hal-hal yang lebih rinci dari pelaksanaan suatu ketentuan undang-undang, pemerintah atau dalam hal ini pejabat publik diberikan kebebasan untuk mengambil keputusan berdasarkan pendapat sendiri, namun ini tidak berarti tidak ada rambu-rambu atau koridor-koridor hukum yang membatasinya. Pendapat pribadi pejabat publik tersebut tetap harus merupakan pengejawantahan atau sekurang-kurangnya sejiwa dengan undang-undang yang melandasinya tersebut, kemudian asas moralitas dan rasa keadilan masyarakat seharusnya tetap dijiwai diskresi tersebut.
B. Permasalahan dan Pembahasan
Dalam bagian ini kami akan mencoba untuk mengambil beberapa contoh penyalahgunaan diskresi dalam praktek penyelenggaraan negara terutama dimasa-masa lalu serta akan diperbandingkan dengan hal-hal yang seharusnya dilakukan oleh seseorang pejabat publik dalam memanfaatkan asas diskresi ini.
Proyek mobil nasional yang dicanangkan di masa rezim orde baru merupakan contoh nyata terjadinya penyalahgunaan diskresi dalam praktek penyelenggaraan negara. Dengan dalih untuk memajukan industri otomotif di Indonesia agar setaraf dengan negara maju, Soeharto sebagai seorang pejabat publik telah dengan sengaja melakukan pelanggaran beberapa asas hukum yang seharusnya tetap dipedomani, sekalipun kebijakan yang dibuatnya tersebut (jikapun bisa) dikategorikan kedalam suatu bentuk diskresi, yaitu :
Keputusan pemerintah untuk memberikan keistimewan-keistimewaan pembebasan pajak kepada PT. Timor Putra Nasional telah melanggar asas legalitas terhadap Undang-undang perpajakan yang seharusnya dikenakan secara sama pada para pengusaha;
Saat diberlakukannya keputusan pemerintah tersebut, reaksi pasar baik didalam negeri maupun diluar negeri sangat negatif tetapi pemerintah tetap memaksakan kebijakan yang menimbulkan heboh tersebut, sehingga dapat dikatakan bahwa dengan reaksi tidak diterimanya kebijaksanaan pemerintah tersebut oleh masyarakat Indonesia dan masyarakat internasional maka legitimitas keputusan pemerintah tersebut sangat kurang dan oleh karenanya sangat tidak layak untuk tetap dipertahankan;
Telah dilanggar prinsip-prinsip moralitas atau rasa keadilan masyarakat yang seharusnya senantiasa diperhatikan dan dijunjung tinggi oleh pembuat kebijakan, dengan dalih apapun atau sebodoh apapun masyarakat Indonesia pasti mengetahui bahwa kebijakan yang dibuat oleh Soeharto adalah upaya memperkaya diri sendiri, keluarga atau kroni-kroninya.
Lebih lanjut Prajudi Atmosudirdjo mengemukakan bahwa pembuatan keputusan pemerintah yang dibuat oleh pejabat publik terikat kepada 3 (tiga) asas hukum, yaitu :
Asas yuridikitas (rechtsmatigheid), artinya keputusan pemerintah tidak boleh melanggar hukum;
Asas legalitas (wetmatigheid), artinya keputusan pemerintah harus diambil berdasarkan suatu ketentuan perundang-undangan;
Asas diskresi (freies ermessen), artinya pejabat publik tidak boleh menolak mengambil keputusan dengan alasan tidak ada peraturannya, dan oleh karena itu diberi kebebasan untuk mengambil keputusan menurut pendapatnya sendiri asalkan tidak melanggar asas yuridikitas dan asas legalitas tersebut di atas.
Jika kita merujuk kepada asas-asas suatu pemerintahan yang baik dan bersih (good governance), maka dalam kasus Proyek Mobil Nasional, Soeharto sebagai seorang pejabat publik pada saat itu dinilai telah melakukan penyalahgunaan jabatan dan wewenang atau paling kurang tidak berupaya bagi pencapaian dan pemeliharaan suatu pemerintahan yang baik dan bersih, yaitu dengan ditegakkannya asas-asas :
Orang-orang yang ikut menentukan atau dapat mempengaruhi terjadinya keputusan tidak boleh mempunyai kepentingan pribadi (vested interest) di dalam keputusan tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung;
Jika kita merujuk kepada prinsip ini, maka kebijakan proyek mobil nasional harus batal demi hukum tanpa memeriksa lagi kasusnya, oleh karena bukan hanya vested interest yang telah terjadi disini melainkan hal yang lebih parah,yaitu unsur-unsur korupsi, kolusi dan nepotisme;
2. Asas Larangan Kesewenang-wenangan, dalam kasus Proyek Mobil Nasional tersebut Soeharto telah melakukan suatu kebijakan tanpa mempertimbangkan semua faktor yang relevan secara lengkap dan wajar, sehingga secara logika tampak atau terasa adanya ketimpangan. Sikap sewenang-wenang tersebut dikategorikan telah terjadi oleh karena ia menolak untuk meninjau kembali keputusannya yang oleh masyarakat yang bersangkutan dianggap tidak wajar. Keputusan tersebut dapat digugat pada pengadilan perdata sebagai perbuatan penguasa yang melawan hukum (onrechtmatige overheidsdaad);
Asas larangan penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir), yaitu Soeharto menyalahgunakan wewenang diskresi yang diberikan kepadanya, oleh karena secara substansi kebijakan diskresi tersebut dipergunakan untuk tujuan yang bertentangan dengan atau menyimpang dari yang apa-apa yang dimaksudkan oleh undang-undang yaitu memperkaya diri sendiri, keluarga dan kroninya;
Asas larangan melakukan diskriminasi hukum, dalam kasus Proyek Mobil Nasional ini Soeharto dinilai bahwa tidak mampu untuk berpikir, mempertimbangkan segala sesuatunya, dan melakukan evaluasi sedemikian rupa sehingga memperlakukan anggota masyarakat lain (dalam hal ini para pengusaha) secara sama dan sebanding. Dalam penunjukan kepada PT. Timor Putra Nasional yang nota-bene merupakan milik anak dan kroni-kroninya sendiri, maka secara jelas ia telah melakukan tindakan pandang bulu, pilih kasih. Padahal Soeharto sangat mengetahui bahwa tindakan-tindakan seperti ini sangat terlarang, karena merusak tujuan dari hukum obyektif, sehingga pada akhirnya akan merongrong hukum dan wibawa negara dengan timbulnya suatu kesan bahwa negara adalah milik dari rakyat golongan tertentu saja.
Penutup
Demikian secara singkat kami uraikan makalah tentang penyalahgunaan diskresi pada kasus Proyek Mobil Nasional yang dihubungkan dengan asas-asas hukum yang harus dipenuhi bagi pembuatan suatu kebijakan dan asas-asas mengenai penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Bilamana asas-asas hukum tersebut tidak dijunjung tinggi, maka bonafiditas dan kebersihan suatu pemerintahan tidak akan tercapai, dan keputusan-keputusannya serta tindakan-tindakannya tidak akan mempunyai wibawa serta efek yang diharapkan.
Bogor, 3 Juni 2003
Atmosudirdjo, Prajudi, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, 1988, hal. 13
Ibid, hal. 87
Ibid, hal. 87
Zuryawan Isvandiar Zoebir, Mahasiswa Magister Pembangunan Sosial Universitas Indonesia, Angkatan III, NPM. 8399040304
Tulisan ini merupakan paper dan merupakan tugas mata kuliah Hukum dan Pembangunan yang diberikan oleh Dr. Harkristuti Harkrisnowo
A. Pendahuluan
Kajian mengenai topik ini dikategorikan kedalam lingkup hukum administrasi negara, yaitu salah satu bidang hukum yang mengatur mengenai kedudukan, tugas dan fungsi pemerintah sebagai administrator negara. Pemerintah adalah “pengurus harian” negara yang terdiri dari keseluruhan jabatan/pejabat publik yang mempunyai tugas dan wewenang politik negara serta pemerintahan.
Dalam artian yang luas, hukum administrasi negara adalah hukum mengenai penyelenggaraan segala sesuatu yang mengandung aspek policy pemerintah dan hukum publik.
Apa yang dijalankan oleh pemerintah beserta aparaturnya adalah tugas-tugas pemerintah, yaitu tugas-tugas negara yang dilimpahkan atau dibebankan kepada pemerintah. Sedangkan tugas-tugas lainnya dibebankan kepada MPR (badan konstitutif), presiden dan DPR (badan legislatif), DPR (badan pengawas politik), DPA (badan konsultasi) dan BPK (badan pengawas finansial).
Pembahasan akan kami fokuskan kepada aspek tugas-tugas pemerintah, oleh karena pemerintah yang memiliki tugas dan tanggung jawab terbanyak dan kompleks pada hampir semua bidang tugas-tugas serta diprediksikan memiliki tingkat penyalahgunaan diskresi (detournement de pouvoir) tertinggi bila dibandingkan tugas-tugas yang dibebankan kepada lembaga negara lainnya.
Diskresi (freies ermessen) adalah kebebasan bertindak atau mengambil keputusan pada pejabat publik yang berwenang berdasarkan pendapat sendiri. Diskresi diperlukan sebagai pelengkap asas legalitas, yaitu asas hukum yang menyatakan bahwa setiap tindak atau perbuatan administrasi negara harus berdasarkan ketentuan undang-undang, akan tetapi tidak mungkin bagi undang-undang untuk mengatur segala macam hal dalam praktek kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu diperlukan adanya kebebasan atau diskresi pada pejabat publik dalam melaksanakan tugas, fungsi dan kewajiban yang dibebankan kepadanya.
Sehingga dapat dikatakan bahwa untuk mengatur hal-hal yang lebih rinci dari pelaksanaan suatu ketentuan undang-undang, pemerintah atau dalam hal ini pejabat publik diberikan kebebasan untuk mengambil keputusan berdasarkan pendapat sendiri, namun ini tidak berarti tidak ada rambu-rambu atau koridor-koridor hukum yang membatasinya. Pendapat pribadi pejabat publik tersebut tetap harus merupakan pengejawantahan atau sekurang-kurangnya sejiwa dengan undang-undang yang melandasinya tersebut, kemudian asas moralitas dan rasa keadilan masyarakat seharusnya tetap dijiwai diskresi tersebut.
B. Permasalahan dan Pembahasan
Dalam bagian ini kami akan mencoba untuk mengambil beberapa contoh penyalahgunaan diskresi dalam praktek penyelenggaraan negara terutama dimasa-masa lalu serta akan diperbandingkan dengan hal-hal yang seharusnya dilakukan oleh seseorang pejabat publik dalam memanfaatkan asas diskresi ini.
Proyek mobil nasional yang dicanangkan di masa rezim orde baru merupakan contoh nyata terjadinya penyalahgunaan diskresi dalam praktek penyelenggaraan negara. Dengan dalih untuk memajukan industri otomotif di Indonesia agar setaraf dengan negara maju, Soeharto sebagai seorang pejabat publik telah dengan sengaja melakukan pelanggaran beberapa asas hukum yang seharusnya tetap dipedomani, sekalipun kebijakan yang dibuatnya tersebut (jikapun bisa) dikategorikan kedalam suatu bentuk diskresi, yaitu :
Keputusan pemerintah untuk memberikan keistimewan-keistimewaan pembebasan pajak kepada PT. Timor Putra Nasional telah melanggar asas legalitas terhadap Undang-undang perpajakan yang seharusnya dikenakan secara sama pada para pengusaha;
Saat diberlakukannya keputusan pemerintah tersebut, reaksi pasar baik didalam negeri maupun diluar negeri sangat negatif tetapi pemerintah tetap memaksakan kebijakan yang menimbulkan heboh tersebut, sehingga dapat dikatakan bahwa dengan reaksi tidak diterimanya kebijaksanaan pemerintah tersebut oleh masyarakat Indonesia dan masyarakat internasional maka legitimitas keputusan pemerintah tersebut sangat kurang dan oleh karenanya sangat tidak layak untuk tetap dipertahankan;
Telah dilanggar prinsip-prinsip moralitas atau rasa keadilan masyarakat yang seharusnya senantiasa diperhatikan dan dijunjung tinggi oleh pembuat kebijakan, dengan dalih apapun atau sebodoh apapun masyarakat Indonesia pasti mengetahui bahwa kebijakan yang dibuat oleh Soeharto adalah upaya memperkaya diri sendiri, keluarga atau kroni-kroninya.
Lebih lanjut Prajudi Atmosudirdjo mengemukakan bahwa pembuatan keputusan pemerintah yang dibuat oleh pejabat publik terikat kepada 3 (tiga) asas hukum, yaitu :
Asas yuridikitas (rechtsmatigheid), artinya keputusan pemerintah tidak boleh melanggar hukum;
Asas legalitas (wetmatigheid), artinya keputusan pemerintah harus diambil berdasarkan suatu ketentuan perundang-undangan;
Asas diskresi (freies ermessen), artinya pejabat publik tidak boleh menolak mengambil keputusan dengan alasan tidak ada peraturannya, dan oleh karena itu diberi kebebasan untuk mengambil keputusan menurut pendapatnya sendiri asalkan tidak melanggar asas yuridikitas dan asas legalitas tersebut di atas.
Jika kita merujuk kepada asas-asas suatu pemerintahan yang baik dan bersih (good governance), maka dalam kasus Proyek Mobil Nasional, Soeharto sebagai seorang pejabat publik pada saat itu dinilai telah melakukan penyalahgunaan jabatan dan wewenang atau paling kurang tidak berupaya bagi pencapaian dan pemeliharaan suatu pemerintahan yang baik dan bersih, yaitu dengan ditegakkannya asas-asas :
Orang-orang yang ikut menentukan atau dapat mempengaruhi terjadinya keputusan tidak boleh mempunyai kepentingan pribadi (vested interest) di dalam keputusan tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung;
Jika kita merujuk kepada prinsip ini, maka kebijakan proyek mobil nasional harus batal demi hukum tanpa memeriksa lagi kasusnya, oleh karena bukan hanya vested interest yang telah terjadi disini melainkan hal yang lebih parah,yaitu unsur-unsur korupsi, kolusi dan nepotisme;
2. Asas Larangan Kesewenang-wenangan, dalam kasus Proyek Mobil Nasional tersebut Soeharto telah melakukan suatu kebijakan tanpa mempertimbangkan semua faktor yang relevan secara lengkap dan wajar, sehingga secara logika tampak atau terasa adanya ketimpangan. Sikap sewenang-wenang tersebut dikategorikan telah terjadi oleh karena ia menolak untuk meninjau kembali keputusannya yang oleh masyarakat yang bersangkutan dianggap tidak wajar. Keputusan tersebut dapat digugat pada pengadilan perdata sebagai perbuatan penguasa yang melawan hukum (onrechtmatige overheidsdaad);
Asas larangan penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir), yaitu Soeharto menyalahgunakan wewenang diskresi yang diberikan kepadanya, oleh karena secara substansi kebijakan diskresi tersebut dipergunakan untuk tujuan yang bertentangan dengan atau menyimpang dari yang apa-apa yang dimaksudkan oleh undang-undang yaitu memperkaya diri sendiri, keluarga dan kroninya;
Asas larangan melakukan diskriminasi hukum, dalam kasus Proyek Mobil Nasional ini Soeharto dinilai bahwa tidak mampu untuk berpikir, mempertimbangkan segala sesuatunya, dan melakukan evaluasi sedemikian rupa sehingga memperlakukan anggota masyarakat lain (dalam hal ini para pengusaha) secara sama dan sebanding. Dalam penunjukan kepada PT. Timor Putra Nasional yang nota-bene merupakan milik anak dan kroni-kroninya sendiri, maka secara jelas ia telah melakukan tindakan pandang bulu, pilih kasih. Padahal Soeharto sangat mengetahui bahwa tindakan-tindakan seperti ini sangat terlarang, karena merusak tujuan dari hukum obyektif, sehingga pada akhirnya akan merongrong hukum dan wibawa negara dengan timbulnya suatu kesan bahwa negara adalah milik dari rakyat golongan tertentu saja.
Penutup
Demikian secara singkat kami uraikan makalah tentang penyalahgunaan diskresi pada kasus Proyek Mobil Nasional yang dihubungkan dengan asas-asas hukum yang harus dipenuhi bagi pembuatan suatu kebijakan dan asas-asas mengenai penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Bilamana asas-asas hukum tersebut tidak dijunjung tinggi, maka bonafiditas dan kebersihan suatu pemerintahan tidak akan tercapai, dan keputusan-keputusannya serta tindakan-tindakannya tidak akan mempunyai wibawa serta efek yang diharapkan.
Bogor, 3 Juni 2003
Atmosudirdjo, Prajudi, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, 1988, hal. 13
Ibid, hal. 87
Ibid, hal. 87
Diskresi Kepolisian oleh Hermawan Sulistyo
Republik Damai Rabu, 23 Juli 2008
Rangkaian unjuk rasa, yang kini hampir tiap hari berlangsung, ditangani secara berbeda-beda oleh polisi. Setidaknya begitu yang tampak dari tayangan TV. Sebagian unjuk rasa itu ditangani secara persuasif, dengan barisan polisi tanpa senjata atau alat apa pun. Sebagian lagi diatasi dengan represif, malah ada yang eksesif seperti kasus di Universitas Nasional (Unas), Jakarta.
Mengapa sikap dan tindakan polisi tidak sama? Kepolisian Republik Indonesia (Polri) mengikuti salah satu norma kepolisian universal, yaitu diskresi (discretion, kebijaksanaan, keleluasaan). Pada dasarnya, setiap individu polisi adalah pemegang diskresi. Artinya, polisi boleh dan dapat mengambil keputusan secara individual. Prinsip dasar ini yang membedakan antara polisi dan militer. Kita tahu, militer menganut norma komando.
Pada prinsip komando, seorang prajurit tidak boleh mengambil keputusan untuk menembak sebelum atasan atau komandannya memberi perintah tembak. Karena itu, tanggung jawab atas suatu tindakan terletak di tangan komandan. Sebaliknya dengan norma diskresi kepolisian.
Seorang polisi boleh mengambil keputusan untuk menembak, tanpa perlu menunggu perintah atasan atau komandan. Setelah tindakan itu diambil, dia harus mempertanggungjawabkan keputusan mengapa perlu menembak.
Sebaliknya juga bisa saja terjadi. Seorang polisi tidak menembak seorang penjahat, sehingga penjahat itu memperoleh kesempatan membunuh orang. Si polisi tersebut harus mempertanggungjawabkan keputusan mengapa tidak menembak.
Diskresi kepolisian diperlukan bagi penegakan hukum, karena setiap kasus memerlukan penanganan yang berbeda-beda. Seorang polisi mungkin saja menilai suatu situasi secara berbeda dibandingkan penilaian polisi lainnya.
Karena tidak ada unsur komando, maka sering tampak tayangan TV yang "aneh." Seorang polisi memukuli demonstran, sementara temannya sesama polisi justru berusaha mencegah pemukulan itu dan menyelamatkan sang pengunjuk rasa.
Diskresi kepolisian juga memungkinkan seorang penyidik kepolisian melakukan penyelidikan (lidik) atau penyidikan (sidik) secara individual. Secara normatif, atasan sang penyidik tidak berhak untuk "ikut campur" atau intervensi terhadap penanganan suatu kasus kriminal.
Di sini sering terjadi perbedaan pandangan, karena apa yang dirasakan benar dan dijalani oleh penyidik belum tentu dianggap benar oleh atasannya. Apalagi konteks lingkungan yang belum sepenuhnya netral dan imparsial. Sering terjadi penyidik memperoleh tekanan politis bukan hanya dari sesama polisi yang berpangkat lebih tinggi, tapi bahkan juga dari politisi di luar lingkungan Polri. Masalahnya, banyak orang tidak memahami diskresi kepolisian ini.***
Rangkaian unjuk rasa, yang kini hampir tiap hari berlangsung, ditangani secara berbeda-beda oleh polisi. Setidaknya begitu yang tampak dari tayangan TV. Sebagian unjuk rasa itu ditangani secara persuasif, dengan barisan polisi tanpa senjata atau alat apa pun. Sebagian lagi diatasi dengan represif, malah ada yang eksesif seperti kasus di Universitas Nasional (Unas), Jakarta.
Mengapa sikap dan tindakan polisi tidak sama? Kepolisian Republik Indonesia (Polri) mengikuti salah satu norma kepolisian universal, yaitu diskresi (discretion, kebijaksanaan, keleluasaan). Pada dasarnya, setiap individu polisi adalah pemegang diskresi. Artinya, polisi boleh dan dapat mengambil keputusan secara individual. Prinsip dasar ini yang membedakan antara polisi dan militer. Kita tahu, militer menganut norma komando.
Pada prinsip komando, seorang prajurit tidak boleh mengambil keputusan untuk menembak sebelum atasan atau komandannya memberi perintah tembak. Karena itu, tanggung jawab atas suatu tindakan terletak di tangan komandan. Sebaliknya dengan norma diskresi kepolisian.
Seorang polisi boleh mengambil keputusan untuk menembak, tanpa perlu menunggu perintah atasan atau komandan. Setelah tindakan itu diambil, dia harus mempertanggungjawabkan keputusan mengapa perlu menembak.
Sebaliknya juga bisa saja terjadi. Seorang polisi tidak menembak seorang penjahat, sehingga penjahat itu memperoleh kesempatan membunuh orang. Si polisi tersebut harus mempertanggungjawabkan keputusan mengapa tidak menembak.
Diskresi kepolisian diperlukan bagi penegakan hukum, karena setiap kasus memerlukan penanganan yang berbeda-beda. Seorang polisi mungkin saja menilai suatu situasi secara berbeda dibandingkan penilaian polisi lainnya.
Karena tidak ada unsur komando, maka sering tampak tayangan TV yang "aneh." Seorang polisi memukuli demonstran, sementara temannya sesama polisi justru berusaha mencegah pemukulan itu dan menyelamatkan sang pengunjuk rasa.
Diskresi kepolisian juga memungkinkan seorang penyidik kepolisian melakukan penyelidikan (lidik) atau penyidikan (sidik) secara individual. Secara normatif, atasan sang penyidik tidak berhak untuk "ikut campur" atau intervensi terhadap penanganan suatu kasus kriminal.
Di sini sering terjadi perbedaan pandangan, karena apa yang dirasakan benar dan dijalani oleh penyidik belum tentu dianggap benar oleh atasannya. Apalagi konteks lingkungan yang belum sepenuhnya netral dan imparsial. Sering terjadi penyidik memperoleh tekanan politis bukan hanya dari sesama polisi yang berpangkat lebih tinggi, tapi bahkan juga dari politisi di luar lingkungan Polri. Masalahnya, banyak orang tidak memahami diskresi kepolisian ini.***
Kewenangan Diskresi Kepolisian dan Pertanggungjawabannya Secara Hukum
Posted February 5th, 2008 by 9tailfox
Hukum Kepolisian
Integritas profesional polisi yang utuh dan menyeluruh merupakan prasyarat bagi suksesnya pelaksanaan tugas kepolisian. Sebab tanpa integritas profesionalnya, dapat saja sikap dan tindakan polisi hanya dilandasi oleh persepsi dan motivasi kepentingan subyektif pribadi yang memungkinkan pelanggaran kode etik dan standard moralitas polisi sebagaimana berlaku secara universal.Pada makalah yang di sampaikan oleh Prof. Mardjono Reksodiputro dengan judul “Ilmu Kepolisian dan Profesionalisme Polri” dalam rangka sewindu Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia (KIK-UI), dinyatakan sebagai berikut :“Profesionalisme Polisi mengacu pada adanya sejumlah kemahiran dan pengetahuan khusus yang menjadi ciri pelaku, tujuan dan kualitas (conduct, aims and qualities) pekerjaan polisi. Sebagai seorang profesional, maka seorang anggota Polri adalah otonom, netral dan independen. Dalam kaitannya tentang kedudukan organisasi kepolisian dalam bidang kekuasaan eksekutif (yang mencerminkan kekuasaan partai politik), maka profesionalisme Polri akan berarti dicegahnya campur tangan kalangan politisi dalam kaitan kepolisian melakukan tugas pokoknya secara profesional sesuai pasal 13 UU Kepolisian 2002. Terkait dengan profesionalisme ini adalah juga adanya diskresi suatu profesi melakukan pekerjaannya. Diskresi ini juga ada pada setiap anggota kepolisian dalam melakukan profesinya. Namun harus diingat dan di jaga secara terus menerus, bahwa “kewenangan atau kekuasaan profesi” melaksanakan diskresi (terdapat juga pada profesi penuntut uumum, profesi hakim dan profesi advokat) selalu mempunyai rambu-rambu pembatas. Penggunaan diskresi secara yang tidak disalahgunakan harus dapat dikendalikan secara internal melalui kode etik dan disiplin profesi. Tetapi juga harus disediakan mekanisme pengawasan eksternal berupa pertanggungjawaban secara hukum yang berlaku bagi semua warga sipil (dimana polisi tidak dikecualikan – legal accountability). Penjabaran lebih rinci tentang yang dimaksud oleh pasal 16 (2) dan pasal 18 (1) UU Kepolisian 2002 merupakan pula tugas ilmu kepolisian”.
Hukum Kepolisian
Integritas profesional polisi yang utuh dan menyeluruh merupakan prasyarat bagi suksesnya pelaksanaan tugas kepolisian. Sebab tanpa integritas profesionalnya, dapat saja sikap dan tindakan polisi hanya dilandasi oleh persepsi dan motivasi kepentingan subyektif pribadi yang memungkinkan pelanggaran kode etik dan standard moralitas polisi sebagaimana berlaku secara universal.Pada makalah yang di sampaikan oleh Prof. Mardjono Reksodiputro dengan judul “Ilmu Kepolisian dan Profesionalisme Polri” dalam rangka sewindu Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia (KIK-UI), dinyatakan sebagai berikut :“Profesionalisme Polisi mengacu pada adanya sejumlah kemahiran dan pengetahuan khusus yang menjadi ciri pelaku, tujuan dan kualitas (conduct, aims and qualities) pekerjaan polisi. Sebagai seorang profesional, maka seorang anggota Polri adalah otonom, netral dan independen. Dalam kaitannya tentang kedudukan organisasi kepolisian dalam bidang kekuasaan eksekutif (yang mencerminkan kekuasaan partai politik), maka profesionalisme Polri akan berarti dicegahnya campur tangan kalangan politisi dalam kaitan kepolisian melakukan tugas pokoknya secara profesional sesuai pasal 13 UU Kepolisian 2002. Terkait dengan profesionalisme ini adalah juga adanya diskresi suatu profesi melakukan pekerjaannya. Diskresi ini juga ada pada setiap anggota kepolisian dalam melakukan profesinya. Namun harus diingat dan di jaga secara terus menerus, bahwa “kewenangan atau kekuasaan profesi” melaksanakan diskresi (terdapat juga pada profesi penuntut uumum, profesi hakim dan profesi advokat) selalu mempunyai rambu-rambu pembatas. Penggunaan diskresi secara yang tidak disalahgunakan harus dapat dikendalikan secara internal melalui kode etik dan disiplin profesi. Tetapi juga harus disediakan mekanisme pengawasan eksternal berupa pertanggungjawaban secara hukum yang berlaku bagi semua warga sipil (dimana polisi tidak dikecualikan – legal accountability). Penjabaran lebih rinci tentang yang dimaksud oleh pasal 16 (2) dan pasal 18 (1) UU Kepolisian 2002 merupakan pula tugas ilmu kepolisian”.
Diskresi Kapolri Sesuai HAM
November 21, 2007 By: Tukang Kompor Category: Advokasi, Dokumentasi, Kampanye, Penyadaran, Provokasi!
Sumber Jawa Pos
Pemidanaan Anak Pemakai Narkoba Bukan Jalan Terbaik
JAKARTA - Diskresi yang dikeluarkan Kapolri Jenderal Pol Sutanto agar pengusutan anak-anak korban narkoba tidak diperlakukan seperti tersangka disambut positif Jaksa Agung Hendarman Supandji. Dia menegaskan, selaku penyidik, polisi memang memiliki kewenangan diskresi yang bisa menjadi alasan pemaaf dalam penanganan kasus pidana.
Sebagaimana diberitakan kemarin (11/11), sebuah terobosan hukum di bidang pemberantasan narkoba lahir di Gedung Graha Pena Jawa Pos, Surabaya . Sabtu lalu, saat penandatanganan MoU kerja sama antara Grup Jawa Pos dengan Badan Narkotika Nasional (BNN), Sutanto menginstruksikan agar seluruh jajaran kepolisian tidak serta merta menjadikan anak di bawah umur sebagai tersangka narkoba.
“Saat ini, saya membuat diskresi bahwa para pemakai narkoba, terutama anak-anak, jangan diperlakukan seperti tersangka. Mereka lebih layak disebut korban,” kata Sutanto yang juga kepala BNN tersebut kala itu.
Meski merespons baik langkah Kapolri, Hendarman menyatakan bahwa diskresi kasus narkoba harus diterapkan secara selektif dan hati-hati. Aparat harus bisa memastikan bahwa pelaku yang mendapat diskresi benar-benar seorang pemakai yang menjadi korban peredaran narkoba.
“Misalnya, ada anak-anak ditangkap dalam kasus narkoba. Dia belum tentu dianggap hanya pemakai. Bisa saja dia justru menjadi pengedar. Untuk kasus itu, diskresi tidak bisa diterapkan,” jelas Hendarman ketika dihubungi tadi malam.
Karena itu, kata dia, jika kelak disepakati, pemberian diskresi harus disesuaikan dengan kualitas keterlibatan mereka dalam kasus narkoba. “Tidak bisa diterapkan seratus persen,” tegasnya.
Hendarman mencontohkan, bila ada penangkapan 1.000 pecandu, semuanya tidak bisa dikasih diskresi. Namun, harus dilihat kasus per kasus. “Sebagian ada yang langsung diproses (hukum). Pelaku yang lain bisa menjalani (terapi) perawatan,” ujar Hendarman.
Hendarman pada prinsipnya setuju penanganan anak-anak pecandu narkoba diselesaikan melalui terapi. Penegak hukum memang harus melibatkan pihak lain, seperti psikiater, untuk membebaskan sekaligus menyembuhkan anak-anak dari ketergantungan terhadap pemakaian narkoba.
“Kasus-kasus seperti ini memang perlu dibahas secara komprehensif. Jadi, di sinilah perlunya diskresi,” terang alumnus hukum Universitas Diponegoro (Undip), Semarang, itu.
Itu berarti kejaksaan juga akan menerapkan kebijakan yang sama dengan kepolisian terhadap pemakai narkoba dari kalangan anak-anak? Menurut Hendarman, kejaksaan perlu mendalami perundang-undangan, apakah peluang diskresi dapat diterapkan dalam tahap penuntutan kasus narkoba atau tidak.
“Saya kira, bagaimana sikap kejaksaan perlu didalami secara detail. Saya sendiri belum menerima konsep dari Kapolri,” jelas mantan jaksa agung muda pidana khusus (JAM Pidsus) tersebut.
Selain jaksa agung, diskresi Kapolri tersebut mendapat dukungan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Sebab, langkah itu dinilai sebagai bentuk tanggung jawab yang diberikan negara terhadap anak-anak, terutama menyangkut masa depannya.
Komnas HAM menilai keputusan tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. “Anak-anak memang berhak mendapatkan peraturan yang dapat melindunginya, ” ujar Wakil Ketua Komnas HAM Hesti Armiwulan kemarin.
Pemberian perlindungan itu juga sesuai dengan konvensi internasional tentang hak-hak sipil dan politik serta konvensi hak ekonomi sosial budaya yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia. “Di sana diatur pemberian perlindungan terhadap anak-anak,” kata dosen Fakultas Hukum Universitas Surabaya (Ubaya) itu.
Hesti menjelaskan, anak-anak yang menjadi pemakai narkoba adalah korban perilaku orang dewasa yang berperan sebagai pengedar. Karena itu, pembinaan yang diterapkan terhadapnya tidak bisa disamakan dengan orang dewasa yang juga tersangkut masalah narkoba. Jika dilakukan bersama dengan orang dewasa, Hesti khawatir justru akan berdampak negatif terhadap anak-anak.
Ungkapan senada dilontarkan Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA). Sekjen Komnas PA Arist Merdeka mengatakan, pemidanaan terhadap anak-anak korban narkoba bukan merupakan jalan terbaik. “Yang lebih penting adalah rehabilitasi dan pemulihan. Mereka adalah masa depan bangsa,” tegas Arist.
Dia mengatakan, enam bulan lalu Komnas PA pernah memberikan rekomendasi kepada Kapolri tentang diskresi tersebut. Saat itu BNN melansir data pemakai narkoba yang kebanyakan anak-anak. “Jadi, kami merasa perlu ada perlakuan khusus, terutama mereka yang berusia di bawah 18 tahun. Keputusan (Kapolri) itu perlu diapresiasi, ” jelasnya.
Dihubungi terpisah, aktivis hukum dan pengacara PBHI Hendardi menilai langkah Kapolri tersebut harus dibarengi komitmen hukum yang tegas. “Instruksi ke Kapolda, misalnya, harus spesifik dan merata,” sarannya. Jika tidak, lanjut dia, kebijakan itu bisa timpang di lapangan. Masyarakat juga harus diberi tahu soal kebijakan baru tersebut. “Sosialisasi yang meluas ke seluruh struktur mendesak dilakukan,” sambungnya.
Wakil Ketua Komisi III (bidang hukum) Soeripto menambahkan, meski anak-anak dipersepsi sebagai korban, tindakan tegas terhadap pelaku yang menjerumuskan anak harus menjadi prioritas kepolisian. “Terutama yang membuat mereka sampai memakai narkoba harus ditindak sekeras-kerasnya, ” paparnya.
Jaringan pengedar, kata mantan praktisi Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) itu, mempunyai sistem sel yang selalu tumbuh. “Artinya, digerebek satu kelompok, muncul lagi kelompok lain,” tuturnya.
Menurut dia, perlakuan terhadap anak yang menjadi korban narkoba harus berorientasi pengasuhan. “Jangan sampai seorang anak justru dendam kepada aparat yang efeknya menambah kecanduan,” ujarnya.
Selain peran kepolisian, Soeripto menilai pemberdayaan keluarga juga penting. “Kesadaran orang tua agar narkoba dijadikan sebagai musuh yang sangat berbahaya harus selalu disegarkan, misalnya dengan media massa,” katanya.
Sementara itu, Kapolda Jatim Irjen Pol Herman Surjadi Soemawiredja langsung menindaklanjuti diskresi Kapolri. Kemarin (11/11) Polda Jatim sudah menemukan tiga tahanan kasus narkoba yang akan dilepas untuk menjalani proses rehabilitasi. “Setelah kami cek latar belakangnya, mereka betul-betul menjadi korban narkoba,” kata Kapolda saat dikonfirmasi melalui Kabid Humas Polda Jatim Kombespol Pudji Astuti. Kapolda juga berjanji memecat anak buahnya yang main-main dengan diskresi Kapolri itu. (selengkapnya baca Metropolis). (agm/fal/rdl)
Trackback URI Comments RSS
One Response to “ Diskresi Kapolri Sesuai HAM ”
# 1 Hedwig Inggrid Wattimena Says:
January 29th, 2008 at 10:33 pm
Diskresi kapolri dalam hal ini dikeluarkan dengan tujuan semata-mata demi kepentingan terbaik bagi anak, dan penahanan atau proses peradilan dan memasukkan anak ke penjara adalah menjadi upaya terakhir. saya setuju dengan pemberian diskresi ini, karena begitu banyak faktor yang menyababkan seorang anak menjadi pecandu (pemakai). Kemiskinan, Pendidikan, Keluaraga, lingkungan dsb merupakan faktor pendukung yang menyebabkan seorang anak menjadi pecandu bahkan mungkin sebagai pengedar. Penjara bukan tempat yang baik bagi anak-anak yang berhadapan dengan hukum. Diskresi ini harus dijalankan dengan sebaik-baiknya dengan komitmen yang kuat dari semua pihak, terutama kepolisian yang memiliki wewenang ini, kejaksaanpun dapat melakukan hal ini, kalau mereka mau berpikir tentang nasib anak-anak dibangsa ini…..UU no 23 tahun 2002 dalam pasal 66 menjelaskan tentang perlindungan khusus bagi anak-anak yang berhadapan dengan hukum, diskresi yang dikeluarkan oleh Kapolri merupakan salah satu perwujudan pasal ini. Masukan buat Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebaiknya diberikan pendidikan khusus bagi Penyidik / penyidik pembantu dalam hal penanganan kasus pidana anak. Karena rata-rata setiap anak yang berhadapan dengan hukum, selalu mendapat perlakuan kasar dan tidak manusiawi dari polisi yang melakukan penyidikan….mereka (anak-anak) selalu menggunakan istilah “diverbal”, “diGulung”, untuk setiap penyiksaan oleh Penyidik yang memriksa mereka dalam proses pembuatan Berkasa Acara Pemeriksaan.
Sumber Jawa Pos
Pemidanaan Anak Pemakai Narkoba Bukan Jalan Terbaik
JAKARTA - Diskresi yang dikeluarkan Kapolri Jenderal Pol Sutanto agar pengusutan anak-anak korban narkoba tidak diperlakukan seperti tersangka disambut positif Jaksa Agung Hendarman Supandji. Dia menegaskan, selaku penyidik, polisi memang memiliki kewenangan diskresi yang bisa menjadi alasan pemaaf dalam penanganan kasus pidana.
Sebagaimana diberitakan kemarin (11/11), sebuah terobosan hukum di bidang pemberantasan narkoba lahir di Gedung Graha Pena Jawa Pos, Surabaya . Sabtu lalu, saat penandatanganan MoU kerja sama antara Grup Jawa Pos dengan Badan Narkotika Nasional (BNN), Sutanto menginstruksikan agar seluruh jajaran kepolisian tidak serta merta menjadikan anak di bawah umur sebagai tersangka narkoba.
“Saat ini, saya membuat diskresi bahwa para pemakai narkoba, terutama anak-anak, jangan diperlakukan seperti tersangka. Mereka lebih layak disebut korban,” kata Sutanto yang juga kepala BNN tersebut kala itu.
Meski merespons baik langkah Kapolri, Hendarman menyatakan bahwa diskresi kasus narkoba harus diterapkan secara selektif dan hati-hati. Aparat harus bisa memastikan bahwa pelaku yang mendapat diskresi benar-benar seorang pemakai yang menjadi korban peredaran narkoba.
“Misalnya, ada anak-anak ditangkap dalam kasus narkoba. Dia belum tentu dianggap hanya pemakai. Bisa saja dia justru menjadi pengedar. Untuk kasus itu, diskresi tidak bisa diterapkan,” jelas Hendarman ketika dihubungi tadi malam.
Karena itu, kata dia, jika kelak disepakati, pemberian diskresi harus disesuaikan dengan kualitas keterlibatan mereka dalam kasus narkoba. “Tidak bisa diterapkan seratus persen,” tegasnya.
Hendarman mencontohkan, bila ada penangkapan 1.000 pecandu, semuanya tidak bisa dikasih diskresi. Namun, harus dilihat kasus per kasus. “Sebagian ada yang langsung diproses (hukum). Pelaku yang lain bisa menjalani (terapi) perawatan,” ujar Hendarman.
Hendarman pada prinsipnya setuju penanganan anak-anak pecandu narkoba diselesaikan melalui terapi. Penegak hukum memang harus melibatkan pihak lain, seperti psikiater, untuk membebaskan sekaligus menyembuhkan anak-anak dari ketergantungan terhadap pemakaian narkoba.
“Kasus-kasus seperti ini memang perlu dibahas secara komprehensif. Jadi, di sinilah perlunya diskresi,” terang alumnus hukum Universitas Diponegoro (Undip), Semarang, itu.
Itu berarti kejaksaan juga akan menerapkan kebijakan yang sama dengan kepolisian terhadap pemakai narkoba dari kalangan anak-anak? Menurut Hendarman, kejaksaan perlu mendalami perundang-undangan, apakah peluang diskresi dapat diterapkan dalam tahap penuntutan kasus narkoba atau tidak.
“Saya kira, bagaimana sikap kejaksaan perlu didalami secara detail. Saya sendiri belum menerima konsep dari Kapolri,” jelas mantan jaksa agung muda pidana khusus (JAM Pidsus) tersebut.
Selain jaksa agung, diskresi Kapolri tersebut mendapat dukungan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Sebab, langkah itu dinilai sebagai bentuk tanggung jawab yang diberikan negara terhadap anak-anak, terutama menyangkut masa depannya.
Komnas HAM menilai keputusan tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. “Anak-anak memang berhak mendapatkan peraturan yang dapat melindunginya, ” ujar Wakil Ketua Komnas HAM Hesti Armiwulan kemarin.
Pemberian perlindungan itu juga sesuai dengan konvensi internasional tentang hak-hak sipil dan politik serta konvensi hak ekonomi sosial budaya yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia. “Di sana diatur pemberian perlindungan terhadap anak-anak,” kata dosen Fakultas Hukum Universitas Surabaya (Ubaya) itu.
Hesti menjelaskan, anak-anak yang menjadi pemakai narkoba adalah korban perilaku orang dewasa yang berperan sebagai pengedar. Karena itu, pembinaan yang diterapkan terhadapnya tidak bisa disamakan dengan orang dewasa yang juga tersangkut masalah narkoba. Jika dilakukan bersama dengan orang dewasa, Hesti khawatir justru akan berdampak negatif terhadap anak-anak.
Ungkapan senada dilontarkan Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA). Sekjen Komnas PA Arist Merdeka mengatakan, pemidanaan terhadap anak-anak korban narkoba bukan merupakan jalan terbaik. “Yang lebih penting adalah rehabilitasi dan pemulihan. Mereka adalah masa depan bangsa,” tegas Arist.
Dia mengatakan, enam bulan lalu Komnas PA pernah memberikan rekomendasi kepada Kapolri tentang diskresi tersebut. Saat itu BNN melansir data pemakai narkoba yang kebanyakan anak-anak. “Jadi, kami merasa perlu ada perlakuan khusus, terutama mereka yang berusia di bawah 18 tahun. Keputusan (Kapolri) itu perlu diapresiasi, ” jelasnya.
Dihubungi terpisah, aktivis hukum dan pengacara PBHI Hendardi menilai langkah Kapolri tersebut harus dibarengi komitmen hukum yang tegas. “Instruksi ke Kapolda, misalnya, harus spesifik dan merata,” sarannya. Jika tidak, lanjut dia, kebijakan itu bisa timpang di lapangan. Masyarakat juga harus diberi tahu soal kebijakan baru tersebut. “Sosialisasi yang meluas ke seluruh struktur mendesak dilakukan,” sambungnya.
Wakil Ketua Komisi III (bidang hukum) Soeripto menambahkan, meski anak-anak dipersepsi sebagai korban, tindakan tegas terhadap pelaku yang menjerumuskan anak harus menjadi prioritas kepolisian. “Terutama yang membuat mereka sampai memakai narkoba harus ditindak sekeras-kerasnya, ” paparnya.
Jaringan pengedar, kata mantan praktisi Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) itu, mempunyai sistem sel yang selalu tumbuh. “Artinya, digerebek satu kelompok, muncul lagi kelompok lain,” tuturnya.
Menurut dia, perlakuan terhadap anak yang menjadi korban narkoba harus berorientasi pengasuhan. “Jangan sampai seorang anak justru dendam kepada aparat yang efeknya menambah kecanduan,” ujarnya.
Selain peran kepolisian, Soeripto menilai pemberdayaan keluarga juga penting. “Kesadaran orang tua agar narkoba dijadikan sebagai musuh yang sangat berbahaya harus selalu disegarkan, misalnya dengan media massa,” katanya.
Sementara itu, Kapolda Jatim Irjen Pol Herman Surjadi Soemawiredja langsung menindaklanjuti diskresi Kapolri. Kemarin (11/11) Polda Jatim sudah menemukan tiga tahanan kasus narkoba yang akan dilepas untuk menjalani proses rehabilitasi. “Setelah kami cek latar belakangnya, mereka betul-betul menjadi korban narkoba,” kata Kapolda saat dikonfirmasi melalui Kabid Humas Polda Jatim Kombespol Pudji Astuti. Kapolda juga berjanji memecat anak buahnya yang main-main dengan diskresi Kapolri itu. (selengkapnya baca Metropolis). (agm/fal/rdl)
Trackback URI Comments RSS
One Response to “ Diskresi Kapolri Sesuai HAM ”
# 1 Hedwig Inggrid Wattimena Says:
January 29th, 2008 at 10:33 pm
Diskresi kapolri dalam hal ini dikeluarkan dengan tujuan semata-mata demi kepentingan terbaik bagi anak, dan penahanan atau proses peradilan dan memasukkan anak ke penjara adalah menjadi upaya terakhir. saya setuju dengan pemberian diskresi ini, karena begitu banyak faktor yang menyababkan seorang anak menjadi pecandu (pemakai). Kemiskinan, Pendidikan, Keluaraga, lingkungan dsb merupakan faktor pendukung yang menyebabkan seorang anak menjadi pecandu bahkan mungkin sebagai pengedar. Penjara bukan tempat yang baik bagi anak-anak yang berhadapan dengan hukum. Diskresi ini harus dijalankan dengan sebaik-baiknya dengan komitmen yang kuat dari semua pihak, terutama kepolisian yang memiliki wewenang ini, kejaksaanpun dapat melakukan hal ini, kalau mereka mau berpikir tentang nasib anak-anak dibangsa ini…..UU no 23 tahun 2002 dalam pasal 66 menjelaskan tentang perlindungan khusus bagi anak-anak yang berhadapan dengan hukum, diskresi yang dikeluarkan oleh Kapolri merupakan salah satu perwujudan pasal ini. Masukan buat Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebaiknya diberikan pendidikan khusus bagi Penyidik / penyidik pembantu dalam hal penanganan kasus pidana anak. Karena rata-rata setiap anak yang berhadapan dengan hukum, selalu mendapat perlakuan kasar dan tidak manusiawi dari polisi yang melakukan penyidikan….mereka (anak-anak) selalu menggunakan istilah “diverbal”, “diGulung”, untuk setiap penyiksaan oleh Penyidik yang memriksa mereka dalam proses pembuatan Berkasa Acara Pemeriksaan.
Diskresi Kaolri Sesuai HAM
November 21, 2007 By: Tukang Kompor Category: Advokasi, Dokumentasi, Kampanye, Penyadaran, Provokasi!
Sumber Jawa Pos
Pemidanaan Anak Pemakai Narkoba Bukan Jalan Terbaik
JAKARTA - Diskresi yang dikeluarkan Kapolri Jenderal Pol Sutanto agar pengusutan anak-anak korban narkoba tidak diperlakukan seperti tersangka disambut positif Jaksa Agung Hendarman Supandji. Dia menegaskan, selaku penyidik, polisi memang memiliki kewenangan diskresi yang bisa menjadi alasan pemaaf dalam penanganan kasus pidana.
Sebagaimana diberitakan kemarin (11/11), sebuah terobosan hukum di bidang pemberantasan narkoba lahir di Gedung Graha Pena Jawa Pos, Surabaya . Sabtu lalu, saat penandatanganan MoU kerja sama antara Grup Jawa Pos dengan Badan Narkotika Nasional (BNN), Sutanto menginstruksikan agar seluruh jajaran kepolisian tidak serta merta menjadikan anak di bawah umur sebagai tersangka narkoba.
“Saat ini, saya membuat diskresi bahwa para pemakai narkoba, terutama anak-anak, jangan diperlakukan seperti tersangka. Mereka lebih layak disebut korban,” kata Sutanto yang juga kepala BNN tersebut kala itu.
Meski merespons baik langkah Kapolri, Hendarman menyatakan bahwa diskresi kasus narkoba harus diterapkan secara selektif dan hati-hati. Aparat harus bisa memastikan bahwa pelaku yang mendapat diskresi benar-benar seorang pemakai yang menjadi korban peredaran narkoba.
“Misalnya, ada anak-anak ditangkap dalam kasus narkoba. Dia belum tentu dianggap hanya pemakai. Bisa saja dia justru menjadi pengedar. Untuk kasus itu, diskresi tidak bisa diterapkan,” jelas Hendarman ketika dihubungi tadi malam.
Karena itu, kata dia, jika kelak disepakati, pemberian diskresi harus disesuaikan dengan kualitas keterlibatan mereka dalam kasus narkoba. “Tidak bisa diterapkan seratus persen,” tegasnya.
Hendarman mencontohkan, bila ada penangkapan 1.000 pecandu, semuanya tidak bisa dikasih diskresi. Namun, harus dilihat kasus per kasus. “Sebagian ada yang langsung diproses (hukum). Pelaku yang lain bisa menjalani (terapi) perawatan,” ujar Hendarman.
Hendarman pada prinsipnya setuju penanganan anak-anak pecandu narkoba diselesaikan melalui terapi. Penegak hukum memang harus melibatkan pihak lain, seperti psikiater, untuk membebaskan sekaligus menyembuhkan anak-anak dari ketergantungan terhadap pemakaian narkoba.
“Kasus-kasus seperti ini memang perlu dibahas secara komprehensif. Jadi, di sinilah perlunya diskresi,” terang alumnus hukum Universitas Diponegoro (Undip), Semarang, itu.
Itu berarti kejaksaan juga akan menerapkan kebijakan yang sama dengan kepolisian terhadap pemakai narkoba dari kalangan anak-anak? Menurut Hendarman, kejaksaan perlu mendalami perundang-undangan, apakah peluang diskresi dapat diterapkan dalam tahap penuntutan kasus narkoba atau tidak.
“Saya kira, bagaimana sikap kejaksaan perlu didalami secara detail. Saya sendiri belum menerima konsep dari Kapolri,” jelas mantan jaksa agung muda pidana khusus (JAM Pidsus) tersebut.
Selain jaksa agung, diskresi Kapolri tersebut mendapat dukungan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Sebab, langkah itu dinilai sebagai bentuk tanggung jawab yang diberikan negara terhadap anak-anak, terutama menyangkut masa depannya.
Komnas HAM menilai keputusan tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. “Anak-anak memang berhak mendapatkan peraturan yang dapat melindunginya, ” ujar Wakil Ketua Komnas HAM Hesti Armiwulan kemarin.
Pemberian perlindungan itu juga sesuai dengan konvensi internasional tentang hak-hak sipil dan politik serta konvensi hak ekonomi sosial budaya yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia. “Di sana diatur pemberian perlindungan terhadap anak-anak,” kata dosen Fakultas Hukum Universitas Surabaya (Ubaya) itu.
Hesti menjelaskan, anak-anak yang menjadi pemakai narkoba adalah korban perilaku orang dewasa yang berperan sebagai pengedar. Karena itu, pembinaan yang diterapkan terhadapnya tidak bisa disamakan dengan orang dewasa yang juga tersangkut masalah narkoba. Jika dilakukan bersama dengan orang dewasa, Hesti khawatir justru akan berdampak negatif terhadap anak-anak.
Ungkapan senada dilontarkan Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA). Sekjen Komnas PA Arist Merdeka mengatakan, pemidanaan terhadap anak-anak korban narkoba bukan merupakan jalan terbaik. “Yang lebih penting adalah rehabilitasi dan pemulihan. Mereka adalah masa depan bangsa,” tegas Arist.
Dia mengatakan, enam bulan lalu Komnas PA pernah memberikan rekomendasi kepada Kapolri tentang diskresi tersebut. Saat itu BNN melansir data pemakai narkoba yang kebanyakan anak-anak. “Jadi, kami merasa perlu ada perlakuan khusus, terutama mereka yang berusia di bawah 18 tahun. Keputusan (Kapolri) itu perlu diapresiasi, ” jelasnya.
Dihubungi terpisah, aktivis hukum dan pengacara PBHI Hendardi menilai langkah Kapolri tersebut harus dibarengi komitmen hukum yang tegas. “Instruksi ke Kapolda, misalnya, harus spesifik dan merata,” sarannya. Jika tidak, lanjut dia, kebijakan itu bisa timpang di lapangan. Masyarakat juga harus diberi tahu soal kebijakan baru tersebut. “Sosialisasi yang meluas ke seluruh struktur mendesak dilakukan,” sambungnya.
Wakil Ketua Komisi III (bidang hukum) Soeripto menambahkan, meski anak-anak dipersepsi sebagai korban, tindakan tegas terhadap pelaku yang menjerumuskan anak harus menjadi prioritas kepolisian. “Terutama yang membuat mereka sampai memakai narkoba harus ditindak sekeras-kerasnya, ” paparnya.
Jaringan pengedar, kata mantan praktisi Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) itu, mempunyai sistem sel yang selalu tumbuh. “Artinya, digerebek satu kelompok, muncul lagi kelompok lain,” tuturnya.
Menurut dia, perlakuan terhadap anak yang menjadi korban narkoba harus berorientasi pengasuhan. “Jangan sampai seorang anak justru dendam kepada aparat yang efeknya menambah kecanduan,” ujarnya.
Selain peran kepolisian, Soeripto menilai pemberdayaan keluarga juga penting. “Kesadaran orang tua agar narkoba dijadikan sebagai musuh yang sangat berbahaya harus selalu disegarkan, misalnya dengan media massa,” katanya.
Sementara itu, Kapolda Jatim Irjen Pol Herman Surjadi Soemawiredja langsung menindaklanjuti diskresi Kapolri. Kemarin (11/11) Polda Jatim sudah menemukan tiga tahanan kasus narkoba yang akan dilepas untuk menjalani proses rehabilitasi. “Setelah kami cek latar belakangnya, mereka betul-betul menjadi korban narkoba,” kata Kapolda saat dikonfirmasi melalui Kabid Humas Polda Jatim Kombespol Pudji Astuti. Kapolda juga berjanji memecat anak buahnya yang main-main dengan diskresi Kapolri itu. (selengkapnya baca Metropolis). (agm/fal/rdl)
Trackback URI Comments RSS
One Response to “ Diskresi Kapolri Sesuai HAM ”
# 1 Hedwig Inggrid Wattimena Says:
January 29th, 2008 at 10:33 pm
Diskresi kapolri dalam hal ini dikeluarkan dengan tujuan semata-mata demi kepentingan terbaik bagi anak, dan penahanan atau proses peradilan dan memasukkan anak ke penjara adalah menjadi upaya terakhir. saya setuju dengan pemberian diskresi ini, karena begitu banyak faktor yang menyababkan seorang anak menjadi pecandu (pemakai). Kemiskinan, Pendidikan, Keluaraga, lingkungan dsb merupakan faktor pendukung yang menyebabkan seorang anak menjadi pecandu bahkan mungkin sebagai pengedar. Penjara bukan tempat yang baik bagi anak-anak yang berhadapan dengan hukum. Diskresi ini harus dijalankan dengan sebaik-baiknya dengan komitmen yang kuat dari semua pihak, terutama kepolisian yang memiliki wewenang ini, kejaksaanpun dapat melakukan hal ini, kalau mereka mau berpikir tentang nasib anak-anak dibangsa ini…..UU no 23 tahun 2002 dalam pasal 66 menjelaskan tentang perlindungan khusus bagi anak-anak yang berhadapan dengan hukum, diskresi yang dikeluarkan oleh Kapolri merupakan salah satu perwujudan pasal ini. Masukan buat Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebaiknya diberikan pendidikan khusus bagi Penyidik / penyidik pembantu dalam hal penanganan kasus pidana anak. Karena rata-rata setiap anak yang berhadapan dengan hukum, selalu mendapat perlakuan kasar dan tidak manusiawi dari polisi yang melakukan penyidikan….mereka (anak-anak) selalu menggunakan istilah “diverbal”, “diGulung”, untuk setiap penyiksaan oleh Penyidik yang memriksa mereka dalam proses pembuatan Berkasa Acara Pemeriksaan.
Sumber Jawa Pos
Pemidanaan Anak Pemakai Narkoba Bukan Jalan Terbaik
JAKARTA - Diskresi yang dikeluarkan Kapolri Jenderal Pol Sutanto agar pengusutan anak-anak korban narkoba tidak diperlakukan seperti tersangka disambut positif Jaksa Agung Hendarman Supandji. Dia menegaskan, selaku penyidik, polisi memang memiliki kewenangan diskresi yang bisa menjadi alasan pemaaf dalam penanganan kasus pidana.
Sebagaimana diberitakan kemarin (11/11), sebuah terobosan hukum di bidang pemberantasan narkoba lahir di Gedung Graha Pena Jawa Pos, Surabaya . Sabtu lalu, saat penandatanganan MoU kerja sama antara Grup Jawa Pos dengan Badan Narkotika Nasional (BNN), Sutanto menginstruksikan agar seluruh jajaran kepolisian tidak serta merta menjadikan anak di bawah umur sebagai tersangka narkoba.
“Saat ini, saya membuat diskresi bahwa para pemakai narkoba, terutama anak-anak, jangan diperlakukan seperti tersangka. Mereka lebih layak disebut korban,” kata Sutanto yang juga kepala BNN tersebut kala itu.
Meski merespons baik langkah Kapolri, Hendarman menyatakan bahwa diskresi kasus narkoba harus diterapkan secara selektif dan hati-hati. Aparat harus bisa memastikan bahwa pelaku yang mendapat diskresi benar-benar seorang pemakai yang menjadi korban peredaran narkoba.
“Misalnya, ada anak-anak ditangkap dalam kasus narkoba. Dia belum tentu dianggap hanya pemakai. Bisa saja dia justru menjadi pengedar. Untuk kasus itu, diskresi tidak bisa diterapkan,” jelas Hendarman ketika dihubungi tadi malam.
Karena itu, kata dia, jika kelak disepakati, pemberian diskresi harus disesuaikan dengan kualitas keterlibatan mereka dalam kasus narkoba. “Tidak bisa diterapkan seratus persen,” tegasnya.
Hendarman mencontohkan, bila ada penangkapan 1.000 pecandu, semuanya tidak bisa dikasih diskresi. Namun, harus dilihat kasus per kasus. “Sebagian ada yang langsung diproses (hukum). Pelaku yang lain bisa menjalani (terapi) perawatan,” ujar Hendarman.
Hendarman pada prinsipnya setuju penanganan anak-anak pecandu narkoba diselesaikan melalui terapi. Penegak hukum memang harus melibatkan pihak lain, seperti psikiater, untuk membebaskan sekaligus menyembuhkan anak-anak dari ketergantungan terhadap pemakaian narkoba.
“Kasus-kasus seperti ini memang perlu dibahas secara komprehensif. Jadi, di sinilah perlunya diskresi,” terang alumnus hukum Universitas Diponegoro (Undip), Semarang, itu.
Itu berarti kejaksaan juga akan menerapkan kebijakan yang sama dengan kepolisian terhadap pemakai narkoba dari kalangan anak-anak? Menurut Hendarman, kejaksaan perlu mendalami perundang-undangan, apakah peluang diskresi dapat diterapkan dalam tahap penuntutan kasus narkoba atau tidak.
“Saya kira, bagaimana sikap kejaksaan perlu didalami secara detail. Saya sendiri belum menerima konsep dari Kapolri,” jelas mantan jaksa agung muda pidana khusus (JAM Pidsus) tersebut.
Selain jaksa agung, diskresi Kapolri tersebut mendapat dukungan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Sebab, langkah itu dinilai sebagai bentuk tanggung jawab yang diberikan negara terhadap anak-anak, terutama menyangkut masa depannya.
Komnas HAM menilai keputusan tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. “Anak-anak memang berhak mendapatkan peraturan yang dapat melindunginya, ” ujar Wakil Ketua Komnas HAM Hesti Armiwulan kemarin.
Pemberian perlindungan itu juga sesuai dengan konvensi internasional tentang hak-hak sipil dan politik serta konvensi hak ekonomi sosial budaya yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia. “Di sana diatur pemberian perlindungan terhadap anak-anak,” kata dosen Fakultas Hukum Universitas Surabaya (Ubaya) itu.
Hesti menjelaskan, anak-anak yang menjadi pemakai narkoba adalah korban perilaku orang dewasa yang berperan sebagai pengedar. Karena itu, pembinaan yang diterapkan terhadapnya tidak bisa disamakan dengan orang dewasa yang juga tersangkut masalah narkoba. Jika dilakukan bersama dengan orang dewasa, Hesti khawatir justru akan berdampak negatif terhadap anak-anak.
Ungkapan senada dilontarkan Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA). Sekjen Komnas PA Arist Merdeka mengatakan, pemidanaan terhadap anak-anak korban narkoba bukan merupakan jalan terbaik. “Yang lebih penting adalah rehabilitasi dan pemulihan. Mereka adalah masa depan bangsa,” tegas Arist.
Dia mengatakan, enam bulan lalu Komnas PA pernah memberikan rekomendasi kepada Kapolri tentang diskresi tersebut. Saat itu BNN melansir data pemakai narkoba yang kebanyakan anak-anak. “Jadi, kami merasa perlu ada perlakuan khusus, terutama mereka yang berusia di bawah 18 tahun. Keputusan (Kapolri) itu perlu diapresiasi, ” jelasnya.
Dihubungi terpisah, aktivis hukum dan pengacara PBHI Hendardi menilai langkah Kapolri tersebut harus dibarengi komitmen hukum yang tegas. “Instruksi ke Kapolda, misalnya, harus spesifik dan merata,” sarannya. Jika tidak, lanjut dia, kebijakan itu bisa timpang di lapangan. Masyarakat juga harus diberi tahu soal kebijakan baru tersebut. “Sosialisasi yang meluas ke seluruh struktur mendesak dilakukan,” sambungnya.
Wakil Ketua Komisi III (bidang hukum) Soeripto menambahkan, meski anak-anak dipersepsi sebagai korban, tindakan tegas terhadap pelaku yang menjerumuskan anak harus menjadi prioritas kepolisian. “Terutama yang membuat mereka sampai memakai narkoba harus ditindak sekeras-kerasnya, ” paparnya.
Jaringan pengedar, kata mantan praktisi Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) itu, mempunyai sistem sel yang selalu tumbuh. “Artinya, digerebek satu kelompok, muncul lagi kelompok lain,” tuturnya.
Menurut dia, perlakuan terhadap anak yang menjadi korban narkoba harus berorientasi pengasuhan. “Jangan sampai seorang anak justru dendam kepada aparat yang efeknya menambah kecanduan,” ujarnya.
Selain peran kepolisian, Soeripto menilai pemberdayaan keluarga juga penting. “Kesadaran orang tua agar narkoba dijadikan sebagai musuh yang sangat berbahaya harus selalu disegarkan, misalnya dengan media massa,” katanya.
Sementara itu, Kapolda Jatim Irjen Pol Herman Surjadi Soemawiredja langsung menindaklanjuti diskresi Kapolri. Kemarin (11/11) Polda Jatim sudah menemukan tiga tahanan kasus narkoba yang akan dilepas untuk menjalani proses rehabilitasi. “Setelah kami cek latar belakangnya, mereka betul-betul menjadi korban narkoba,” kata Kapolda saat dikonfirmasi melalui Kabid Humas Polda Jatim Kombespol Pudji Astuti. Kapolda juga berjanji memecat anak buahnya yang main-main dengan diskresi Kapolri itu. (selengkapnya baca Metropolis). (agm/fal/rdl)
Trackback URI Comments RSS
One Response to “ Diskresi Kapolri Sesuai HAM ”
# 1 Hedwig Inggrid Wattimena Says:
January 29th, 2008 at 10:33 pm
Diskresi kapolri dalam hal ini dikeluarkan dengan tujuan semata-mata demi kepentingan terbaik bagi anak, dan penahanan atau proses peradilan dan memasukkan anak ke penjara adalah menjadi upaya terakhir. saya setuju dengan pemberian diskresi ini, karena begitu banyak faktor yang menyababkan seorang anak menjadi pecandu (pemakai). Kemiskinan, Pendidikan, Keluaraga, lingkungan dsb merupakan faktor pendukung yang menyebabkan seorang anak menjadi pecandu bahkan mungkin sebagai pengedar. Penjara bukan tempat yang baik bagi anak-anak yang berhadapan dengan hukum. Diskresi ini harus dijalankan dengan sebaik-baiknya dengan komitmen yang kuat dari semua pihak, terutama kepolisian yang memiliki wewenang ini, kejaksaanpun dapat melakukan hal ini, kalau mereka mau berpikir tentang nasib anak-anak dibangsa ini…..UU no 23 tahun 2002 dalam pasal 66 menjelaskan tentang perlindungan khusus bagi anak-anak yang berhadapan dengan hukum, diskresi yang dikeluarkan oleh Kapolri merupakan salah satu perwujudan pasal ini. Masukan buat Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebaiknya diberikan pendidikan khusus bagi Penyidik / penyidik pembantu dalam hal penanganan kasus pidana anak. Karena rata-rata setiap anak yang berhadapan dengan hukum, selalu mendapat perlakuan kasar dan tidak manusiawi dari polisi yang melakukan penyidikan….mereka (anak-anak) selalu menggunakan istilah “diverbal”, “diGulung”, untuk setiap penyiksaan oleh Penyidik yang memriksa mereka dalam proses pembuatan Berkasa Acara Pemeriksaan.
Langganan:
Postingan (Atom)