Sabtu, Januari 10, 2009

Penyalahgunaan Diskresi pada Kebijakan Mobil Nasional

Ditulis oleh Zuryawan Isvandiar Zoebir di/pada 10 Agustus, 2008
Zuryawan Isvandiar Zoebir, Mahasiswa Magister Pembangunan Sosial Universitas Indonesia, Angkatan III, NPM. 8399040304
Tulisan ini merupakan paper dan merupakan tugas mata kuliah Hukum dan Pembangunan yang diberikan oleh Dr. Harkristuti Harkrisnowo
A. Pendahuluan
Kajian mengenai topik ini dikategorikan kedalam lingkup hukum administrasi negara, yaitu salah satu bidang hukum yang mengatur mengenai kedudukan, tugas dan fungsi pemerintah sebagai administrator negara. Pemerintah adalah “pengurus harian” negara yang terdiri dari keseluruhan jabatan/pejabat publik yang mempunyai tugas dan wewenang politik negara serta pemerintahan.
Dalam artian yang luas, hukum administrasi negara adalah hukum mengenai penyelenggaraan segala sesuatu yang mengandung aspek policy pemerintah dan hukum publik.
Apa yang dijalankan oleh pemerintah beserta aparaturnya adalah tugas-tugas pemerintah, yaitu tugas-tugas negara yang dilimpahkan atau dibebankan kepada pemerintah. Sedangkan tugas-tugas lainnya dibebankan kepada MPR (badan konstitutif), presiden dan DPR (badan legislatif), DPR (badan pengawas politik), DPA (badan konsultasi) dan BPK (badan pengawas finansial).
Pembahasan akan kami fokuskan kepada aspek tugas-tugas pemerintah, oleh karena pemerintah yang memiliki tugas dan tanggung jawab terbanyak dan kompleks pada hampir semua bidang tugas-tugas serta diprediksikan memiliki tingkat penyalahgunaan diskresi (detournement de pouvoir) tertinggi bila dibandingkan tugas-tugas yang dibebankan kepada lembaga negara lainnya.
Diskresi (freies ermessen) adalah kebebasan bertindak atau mengambil keputusan pada pejabat publik yang berwenang berdasarkan pendapat sendiri. Diskresi diperlukan sebagai pelengkap asas legalitas, yaitu asas hukum yang menyatakan bahwa setiap tindak atau perbuatan administrasi negara harus berdasarkan ketentuan undang-undang, akan tetapi tidak mungkin bagi undang-undang untuk mengatur segala macam hal dalam praktek kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu diperlukan adanya kebebasan atau diskresi pada pejabat publik dalam melaksanakan tugas, fungsi dan kewajiban yang dibebankan kepadanya.
Sehingga dapat dikatakan bahwa untuk mengatur hal-hal yang lebih rinci dari pelaksanaan suatu ketentuan undang-undang, pemerintah atau dalam hal ini pejabat publik diberikan kebebasan untuk mengambil keputusan berdasarkan pendapat sendiri, namun ini tidak berarti tidak ada rambu-rambu atau koridor-koridor hukum yang membatasinya. Pendapat pribadi pejabat publik tersebut tetap harus merupakan pengejawantahan atau sekurang-kurangnya sejiwa dengan undang-undang yang melandasinya tersebut, kemudian asas moralitas dan rasa keadilan masyarakat seharusnya tetap dijiwai diskresi tersebut.
B. Permasalahan dan Pembahasan
Dalam bagian ini kami akan mencoba untuk mengambil beberapa contoh penyalahgunaan diskresi dalam praktek penyelenggaraan negara terutama dimasa-masa lalu serta akan diperbandingkan dengan hal-hal yang seharusnya dilakukan oleh seseorang pejabat publik dalam memanfaatkan asas diskresi ini.
Proyek mobil nasional yang dicanangkan di masa rezim orde baru merupakan contoh nyata terjadinya penyalahgunaan diskresi dalam praktek penyelenggaraan negara. Dengan dalih untuk memajukan industri otomotif di Indonesia agar setaraf dengan negara maju, Soeharto sebagai seorang pejabat publik telah dengan sengaja melakukan pelanggaran beberapa asas hukum yang seharusnya tetap dipedomani, sekalipun kebijakan yang dibuatnya tersebut (jikapun bisa) dikategorikan kedalam suatu bentuk diskresi, yaitu :
Keputusan pemerintah untuk memberikan keistimewan-keistimewaan pembebasan pajak kepada PT. Timor Putra Nasional telah melanggar asas legalitas terhadap Undang-undang perpajakan yang seharusnya dikenakan secara sama pada para pengusaha;
Saat diberlakukannya keputusan pemerintah tersebut, reaksi pasar baik didalam negeri maupun diluar negeri sangat negatif tetapi pemerintah tetap memaksakan kebijakan yang menimbulkan heboh tersebut, sehingga dapat dikatakan bahwa dengan reaksi tidak diterimanya kebijaksanaan pemerintah tersebut oleh masyarakat Indonesia dan masyarakat internasional maka legitimitas keputusan pemerintah tersebut sangat kurang dan oleh karenanya sangat tidak layak untuk tetap dipertahankan;
Telah dilanggar prinsip-prinsip moralitas atau rasa keadilan masyarakat yang seharusnya senantiasa diperhatikan dan dijunjung tinggi oleh pembuat kebijakan, dengan dalih apapun atau sebodoh apapun masyarakat Indonesia pasti mengetahui bahwa kebijakan yang dibuat oleh Soeharto adalah upaya memperkaya diri sendiri, keluarga atau kroni-kroninya.
Lebih lanjut Prajudi Atmosudirdjo mengemukakan bahwa pembuatan keputusan pemerintah yang dibuat oleh pejabat publik terikat kepada 3 (tiga) asas hukum, yaitu :
Asas yuridikitas (rechtsmatigheid), artinya keputusan pemerintah tidak boleh melanggar hukum;
Asas legalitas (wetmatigheid), artinya keputusan pemerintah harus diambil berdasarkan suatu ketentuan perundang-undangan;
Asas diskresi (freies ermessen), artinya pejabat publik tidak boleh menolak mengambil keputusan dengan alasan tidak ada peraturannya, dan oleh karena itu diberi kebebasan untuk mengambil keputusan menurut pendapatnya sendiri asalkan tidak melanggar asas yuridikitas dan asas legalitas tersebut di atas.
Jika kita merujuk kepada asas-asas suatu pemerintahan yang baik dan bersih (good governance), maka dalam kasus Proyek Mobil Nasional, Soeharto sebagai seorang pejabat publik pada saat itu dinilai telah melakukan penyalahgunaan jabatan dan wewenang atau paling kurang tidak berupaya bagi pencapaian dan pemeliharaan suatu pemerintahan yang baik dan bersih, yaitu dengan ditegakkannya asas-asas :
Orang-orang yang ikut menentukan atau dapat mempengaruhi terjadinya keputusan tidak boleh mempunyai kepentingan pribadi (vested interest) di dalam keputusan tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung;
Jika kita merujuk kepada prinsip ini, maka kebijakan proyek mobil nasional harus batal demi hukum tanpa memeriksa lagi kasusnya, oleh karena bukan hanya vested interest yang telah terjadi disini melainkan hal yang lebih parah,yaitu unsur-unsur korupsi, kolusi dan nepotisme;
2. Asas Larangan Kesewenang-wenangan, dalam kasus Proyek Mobil Nasional tersebut Soeharto telah melakukan suatu kebijakan tanpa mempertimbangkan semua faktor yang relevan secara lengkap dan wajar, sehingga secara logika tampak atau terasa adanya ketimpangan. Sikap sewenang-wenang tersebut dikategorikan telah terjadi oleh karena ia menolak untuk meninjau kembali keputusannya yang oleh masyarakat yang bersangkutan dianggap tidak wajar. Keputusan tersebut dapat digugat pada pengadilan perdata sebagai perbuatan penguasa yang melawan hukum (onrechtmatige overheidsdaad);
Asas larangan penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir), yaitu Soeharto menyalahgunakan wewenang diskresi yang diberikan kepadanya, oleh karena secara substansi kebijakan diskresi tersebut dipergunakan untuk tujuan yang bertentangan dengan atau menyimpang dari yang apa-apa yang dimaksudkan oleh undang-undang yaitu memperkaya diri sendiri, keluarga dan kroninya;
Asas larangan melakukan diskriminasi hukum, dalam kasus Proyek Mobil Nasional ini Soeharto dinilai bahwa tidak mampu untuk berpikir, mempertimbangkan segala sesuatunya, dan melakukan evaluasi sedemikian rupa sehingga memperlakukan anggota masyarakat lain (dalam hal ini para pengusaha) secara sama dan sebanding. Dalam penunjukan kepada PT. Timor Putra Nasional yang nota-bene merupakan milik anak dan kroni-kroninya sendiri, maka secara jelas ia telah melakukan tindakan pandang bulu, pilih kasih. Padahal Soeharto sangat mengetahui bahwa tindakan-tindakan seperti ini sangat terlarang, karena merusak tujuan dari hukum obyektif, sehingga pada akhirnya akan merongrong hukum dan wibawa negara dengan timbulnya suatu kesan bahwa negara adalah milik dari rakyat golongan tertentu saja.
Penutup
Demikian secara singkat kami uraikan makalah tentang penyalahgunaan diskresi pada kasus Proyek Mobil Nasional yang dihubungkan dengan asas-asas hukum yang harus dipenuhi bagi pembuatan suatu kebijakan dan asas-asas mengenai penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Bilamana asas-asas hukum tersebut tidak dijunjung tinggi, maka bonafiditas dan kebersihan suatu pemerintahan tidak akan tercapai, dan keputusan-keputusannya serta tindakan-tindakannya tidak akan mempunyai wibawa serta efek yang diharapkan.
Bogor, 3 Juni 2003
Atmosudirdjo, Prajudi, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, 1988, hal. 13
Ibid, hal. 87
Ibid, hal. 87

Diskresi Kepolisian oleh Hermawan Sulistyo

Republik Damai Rabu, 23 Juli 2008
Rangkaian unjuk rasa, yang kini hampir tiap hari berlangsung, ditangani secara berbeda-beda oleh polisi. Setidaknya begitu yang tampak dari tayangan TV. Sebagian unjuk rasa itu ditangani secara persuasif, dengan barisan polisi tanpa senjata atau alat apa pun. Sebagian lagi diatasi dengan represif, malah ada yang eksesif seperti kasus di Universitas Nasional (Unas), Jakarta.
Mengapa sikap dan tindakan polisi tidak sama? Kepolisian Republik Indonesia (Polri) mengikuti salah satu norma kepolisian universal, yaitu diskresi (discretion, kebijaksanaan, keleluasaan). Pada dasarnya, setiap individu polisi adalah pemegang diskresi. Artinya, polisi boleh dan dapat mengambil keputusan secara individual. Prinsip dasar ini yang membedakan antara polisi dan militer. Kita tahu, militer menganut norma komando.
Pada prinsip komando, seorang prajurit tidak boleh mengambil keputusan untuk menembak sebelum atasan atau komandannya memberi perintah tembak. Karena itu, tanggung jawab atas suatu tindakan terletak di tangan komandan. Sebaliknya dengan norma diskresi kepolisian.
Seorang polisi boleh mengambil keputusan untuk menembak, tanpa perlu menunggu perintah atasan atau komandan. Setelah tindakan itu diambil, dia harus mempertanggungjawabkan keputusan mengapa perlu menembak.
Sebaliknya juga bisa saja terjadi. Seorang polisi tidak menembak seorang penjahat, sehingga penjahat itu memperoleh kesempatan membunuh orang. Si polisi tersebut harus mempertanggungjawabkan keputusan mengapa tidak menembak.
Diskresi kepolisian diperlukan bagi penegakan hukum, karena setiap kasus memerlukan penanganan yang berbeda-beda. Seorang polisi mungkin saja menilai suatu situasi secara berbeda dibandingkan penilaian polisi lainnya.
Karena tidak ada unsur komando, maka sering tampak tayangan TV yang "aneh." Seorang polisi memukuli demonstran, sementara temannya sesama polisi justru berusaha mencegah pemukulan itu dan menyelamatkan sang pengunjuk rasa.
Diskresi kepolisian juga memungkinkan seorang penyidik kepolisian melakukan penyelidikan (lidik) atau penyidikan (sidik) secara individual. Secara normatif, atasan sang penyidik tidak berhak untuk "ikut campur" atau intervensi terhadap penanganan suatu kasus kriminal.
Di sini sering terjadi perbedaan pandangan, karena apa yang dirasakan benar dan dijalani oleh penyidik belum tentu dianggap benar oleh atasannya. Apalagi konteks lingkungan yang belum sepenuhnya netral dan imparsial. Sering terjadi penyidik memperoleh tekanan politis bukan hanya dari sesama polisi yang berpangkat lebih tinggi, tapi bahkan juga dari politisi di luar lingkungan Polri. Masalahnya, banyak orang tidak memahami diskresi kepolisian ini.***

Kewenangan Diskresi Kepolisian dan Pertanggungjawabannya Secara Hukum

Posted February 5th, 2008 by 9tailfox

Integritas profesional polisi yang utuh dan menyeluruh merupakan prasyarat bagi suksesnya pelaksanaan tugas kepolisian. Sebab tanpa integritas profesionalnya, dapat saja sikap dan tindakan polisi hanya dilandasi oleh persepsi dan motivasi kepentingan subyektif pribadi yang memungkinkan pelanggaran kode etik dan standard moralitas polisi sebagaimana berlaku secara universal.Pada makalah yang di sampaikan oleh Prof. Mardjono Reksodiputro dengan judul “Ilmu Kepolisian dan Profesionalisme Polri” dalam rangka sewindu Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia (KIK-UI), dinyatakan sebagai berikut :“Profesionalisme Polisi mengacu pada adanya sejumlah kemahiran dan pengetahuan khusus yang menjadi ciri pelaku, tujuan dan kualitas (conduct, aims and qualities) pekerjaan polisi. Sebagai seorang profesional, maka seorang anggota Polri adalah otonom, netral dan independen. Dalam kaitannya tentang kedudukan organisasi kepolisian dalam bidang kekuasaan eksekutif (yang mencerminkan kekuasaan partai politik), maka profesionalisme Polri akan berarti dicegahnya campur tangan kalangan politisi dalam kaitan kepolisian melakukan tugas pokoknya secara profesional sesuai pasal 13 UU Kepolisian 2002. Terkait dengan profesionalisme ini adalah juga adanya diskresi suatu profesi melakukan pekerjaannya. Diskresi ini juga ada pada setiap anggota kepolisian dalam melakukan profesinya. Namun harus diingat dan di jaga secara terus menerus, bahwa “kewenangan atau kekuasaan profesi” melaksanakan diskresi (terdapat juga pada profesi penuntut uumum, profesi hakim dan profesi advokat) selalu mempunyai rambu-rambu pembatas. Penggunaan diskresi secara yang tidak disalahgunakan harus dapat dikendalikan secara internal melalui kode etik dan disiplin profesi. Tetapi juga harus disediakan mekanisme pengawasan eksternal berupa pertanggungjawaban secara hukum yang berlaku bagi semua warga sipil (dimana polisi tidak dikecualikan – legal accountability). Penjabaran lebih rinci tentang yang dimaksud oleh pasal 16 (2) dan pasal 18 (1) UU Kepolisian 2002 merupakan pula tugas ilmu kepolisian”.

Diskresi Kapolri Sesuai HAM

November 21, 2007 By: Tukang Kompor Category: Advokasi, Dokumentasi, Kampanye, Penyadaran, Provokasi!

Sumber Jawa Pos

Pemidanaan Anak Pemakai Narkoba Bukan Jalan Terbaik

JAKARTA - Diskresi yang dikeluarkan Kapolri Jenderal Pol Sutanto agar pengusutan anak-anak korban narkoba tidak diperlakukan seperti tersangka disambut positif Jaksa Agung Hendarman Supandji. Dia menegaskan, selaku penyidik, polisi memang memiliki kewenangan diskresi yang bisa menjadi alasan pemaaf dalam penanganan kasus pidana.

Sebagaimana diberitakan kemarin (11/11), sebuah terobosan hukum di bidang pemberantasan narkoba lahir di Gedung Graha Pena Jawa Pos, Surabaya . Sabtu lalu, saat penandatanganan MoU kerja sama antara Grup Jawa Pos dengan Badan Narkotika Nasional (BNN), Sutanto menginstruksikan agar seluruh jajaran kepolisian tidak serta merta menjadikan anak di bawah umur sebagai tersangka narkoba.

“Saat ini, saya membuat diskresi bahwa para pemakai narkoba, terutama anak-anak, jangan diperlakukan seperti tersangka. Mereka lebih layak disebut korban,” kata Sutanto yang juga kepala BNN tersebut kala itu.

Meski merespons baik langkah Kapolri, Hendarman menyatakan bahwa diskresi kasus narkoba harus diterapkan secara selektif dan hati-hati. Aparat harus bisa memastikan bahwa pelaku yang mendapat diskresi benar-benar seorang pemakai yang menjadi korban peredaran narkoba.

“Misalnya, ada anak-anak ditangkap dalam kasus narkoba. Dia belum tentu dianggap hanya pemakai. Bisa saja dia justru menjadi pengedar. Untuk kasus itu, diskresi tidak bisa diterapkan,” jelas Hendarman ketika dihubungi tadi malam.

Karena itu, kata dia, jika kelak disepakati, pemberian diskresi harus disesuaikan dengan kualitas keterlibatan mereka dalam kasus narkoba. “Tidak bisa diterapkan seratus persen,” tegasnya.

Hendarman mencontohkan, bila ada penangkapan 1.000 pecandu, semuanya tidak bisa dikasih diskresi. Namun, harus dilihat kasus per kasus. “Sebagian ada yang langsung diproses (hukum). Pelaku yang lain bisa menjalani (terapi) perawatan,” ujar Hendarman.

Hendarman pada prinsipnya setuju penanganan anak-anak pecandu narkoba diselesaikan melalui terapi. Penegak hukum memang harus melibatkan pihak lain, seperti psikiater, untuk membebaskan sekaligus menyembuhkan anak-anak dari ketergantungan terhadap pemakaian narkoba.

“Kasus-kasus seperti ini memang perlu dibahas secara komprehensif. Jadi, di sinilah perlunya diskresi,” terang alumnus hukum Universitas Diponegoro (Undip), Semarang, itu.

Itu berarti kejaksaan juga akan menerapkan kebijakan yang sama dengan kepolisian terhadap pemakai narkoba dari kalangan anak-anak? Menurut Hendarman, kejaksaan perlu mendalami perundang-undangan, apakah peluang diskresi dapat diterapkan dalam tahap penuntutan kasus narkoba atau tidak.

“Saya kira, bagaimana sikap kejaksaan perlu didalami secara detail. Saya sendiri belum menerima konsep dari Kapolri,” jelas mantan jaksa agung muda pidana khusus (JAM Pidsus) tersebut.

Selain jaksa agung, diskresi Kapolri tersebut mendapat dukungan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Sebab, langkah itu dinilai sebagai bentuk tanggung jawab yang diberikan negara terhadap anak-anak, terutama menyangkut masa depannya.

Komnas HAM menilai keputusan tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. “Anak-anak memang berhak mendapatkan peraturan yang dapat melindunginya, ” ujar Wakil Ketua Komnas HAM Hesti Armiwulan kemarin.

Pemberian perlindungan itu juga sesuai dengan konvensi internasional tentang hak-hak sipil dan politik serta konvensi hak ekonomi sosial budaya yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia. “Di sana diatur pemberian perlindungan terhadap anak-anak,” kata dosen Fakultas Hukum Universitas Surabaya (Ubaya) itu.

Hesti menjelaskan, anak-anak yang menjadi pemakai narkoba adalah korban perilaku orang dewasa yang berperan sebagai pengedar. Karena itu, pembinaan yang diterapkan terhadapnya tidak bisa disamakan dengan orang dewasa yang juga tersangkut masalah narkoba. Jika dilakukan bersama dengan orang dewasa, Hesti khawatir justru akan berdampak negatif terhadap anak-anak.

Ungkapan senada dilontarkan Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA). Sekjen Komnas PA Arist Merdeka mengatakan, pemidanaan terhadap anak-anak korban narkoba bukan merupakan jalan terbaik. “Yang lebih penting adalah rehabilitasi dan pemulihan. Mereka adalah masa depan bangsa,” tegas Arist.

Dia mengatakan, enam bulan lalu Komnas PA pernah memberikan rekomendasi kepada Kapolri tentang diskresi tersebut. Saat itu BNN melansir data pemakai narkoba yang kebanyakan anak-anak. “Jadi, kami merasa perlu ada perlakuan khusus, terutama mereka yang berusia di bawah 18 tahun. Keputusan (Kapolri) itu perlu diapresiasi, ” jelasnya.

Dihubungi terpisah, aktivis hukum dan pengacara PBHI Hendardi menilai langkah Kapolri tersebut harus dibarengi komitmen hukum yang tegas. “Instruksi ke Kapolda, misalnya, harus spesifik dan merata,” sarannya. Jika tidak, lanjut dia, kebijakan itu bisa timpang di lapangan. Masyarakat juga harus diberi tahu soal kebijakan baru tersebut. “Sosialisasi yang meluas ke seluruh struktur mendesak dilakukan,” sambungnya.

Wakil Ketua Komisi III (bidang hukum) Soeripto menambahkan, meski anak-anak dipersepsi sebagai korban, tindakan tegas terhadap pelaku yang menjerumuskan anak harus menjadi prioritas kepolisian. “Terutama yang membuat mereka sampai memakai narkoba harus ditindak sekeras-kerasnya, ” paparnya.

Jaringan pengedar, kata mantan praktisi Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) itu, mempunyai sistem sel yang selalu tumbuh. “Artinya, digerebek satu kelompok, muncul lagi kelompok lain,” tuturnya.

Menurut dia, perlakuan terhadap anak yang menjadi korban narkoba harus berorientasi pengasuhan. “Jangan sampai seorang anak justru dendam kepada aparat yang efeknya menambah kecanduan,” ujarnya.

Selain peran kepolisian, Soeripto menilai pemberdayaan keluarga juga penting. “Kesadaran orang tua agar narkoba dijadikan sebagai musuh yang sangat berbahaya harus selalu disegarkan, misalnya dengan media massa,” katanya.

Sementara itu, Kapolda Jatim Irjen Pol Herman Surjadi Soemawiredja langsung menindaklanjuti diskresi Kapolri. Kemarin (11/11) Polda Jatim sudah menemukan tiga tahanan kasus narkoba yang akan dilepas untuk menjalani proses rehabilitasi. “Setelah kami cek latar belakangnya, mereka betul-betul menjadi korban narkoba,” kata Kapolda saat dikonfirmasi melalui Kabid Humas Polda Jatim Kombespol Pudji Astuti. Kapolda juga berjanji memecat anak buahnya yang main-main dengan diskresi Kapolri itu. (selengkapnya baca Metropolis). (agm/fal/rdl)

Trackback URI Comments RSS

One Response to “ Diskresi Kapolri Sesuai HAM ”
# 1 Hedwig Inggrid Wattimena Says:
January 29th, 2008 at 10:33 pm
Diskresi kapolri dalam hal ini dikeluarkan dengan tujuan semata-mata demi kepentingan terbaik bagi anak, dan penahanan atau proses peradilan dan memasukkan anak ke penjara adalah menjadi upaya terakhir. saya setuju dengan pemberian diskresi ini, karena begitu banyak faktor yang menyababkan seorang anak menjadi pecandu (pemakai). Kemiskinan, Pendidikan, Keluaraga, lingkungan dsb merupakan faktor pendukung yang menyebabkan seorang anak menjadi pecandu bahkan mungkin sebagai pengedar. Penjara bukan tempat yang baik bagi anak-anak yang berhadapan dengan hukum. Diskresi ini harus dijalankan dengan sebaik-baiknya dengan komitmen yang kuat dari semua pihak, terutama kepolisian yang memiliki wewenang ini, kejaksaanpun dapat melakukan hal ini, kalau mereka mau berpikir tentang nasib anak-anak dibangsa ini…..UU no 23 tahun 2002 dalam pasal 66 menjelaskan tentang perlindungan khusus bagi anak-anak yang berhadapan dengan hukum, diskresi yang dikeluarkan oleh Kapolri merupakan salah satu perwujudan pasal ini. Masukan buat Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebaiknya diberikan pendidikan khusus bagi Penyidik / penyidik pembantu dalam hal penanganan kasus pidana anak. Karena rata-rata setiap anak yang berhadapan dengan hukum, selalu mendapat perlakuan kasar dan tidak manusiawi dari polisi yang melakukan penyidikan….mereka (anak-anak) selalu menggunakan istilah “diverbal”, “diGulung”, untuk setiap penyiksaan oleh Penyidik yang memriksa mereka dalam proses pembuatan Berkasa Acara Pemeriksaan.

Diskresi Kaolri Sesuai HAM

November 21, 2007 By: Tukang Kompor Category: Advokasi, Dokumentasi, Kampanye, Penyadaran, Provokasi!

Sumber Jawa Pos

Pemidanaan Anak Pemakai Narkoba Bukan Jalan Terbaik

JAKARTA - Diskresi yang dikeluarkan Kapolri Jenderal Pol Sutanto agar pengusutan anak-anak korban narkoba tidak diperlakukan seperti tersangka disambut positif Jaksa Agung Hendarman Supandji. Dia menegaskan, selaku penyidik, polisi memang memiliki kewenangan diskresi yang bisa menjadi alasan pemaaf dalam penanganan kasus pidana.

Sebagaimana diberitakan kemarin (11/11), sebuah terobosan hukum di bidang pemberantasan narkoba lahir di Gedung Graha Pena Jawa Pos, Surabaya . Sabtu lalu, saat penandatanganan MoU kerja sama antara Grup Jawa Pos dengan Badan Narkotika Nasional (BNN), Sutanto menginstruksikan agar seluruh jajaran kepolisian tidak serta merta menjadikan anak di bawah umur sebagai tersangka narkoba.

“Saat ini, saya membuat diskresi bahwa para pemakai narkoba, terutama anak-anak, jangan diperlakukan seperti tersangka. Mereka lebih layak disebut korban,” kata Sutanto yang juga kepala BNN tersebut kala itu.

Meski merespons baik langkah Kapolri, Hendarman menyatakan bahwa diskresi kasus narkoba harus diterapkan secara selektif dan hati-hati. Aparat harus bisa memastikan bahwa pelaku yang mendapat diskresi benar-benar seorang pemakai yang menjadi korban peredaran narkoba.

“Misalnya, ada anak-anak ditangkap dalam kasus narkoba. Dia belum tentu dianggap hanya pemakai. Bisa saja dia justru menjadi pengedar. Untuk kasus itu, diskresi tidak bisa diterapkan,” jelas Hendarman ketika dihubungi tadi malam.

Karena itu, kata dia, jika kelak disepakati, pemberian diskresi harus disesuaikan dengan kualitas keterlibatan mereka dalam kasus narkoba. “Tidak bisa diterapkan seratus persen,” tegasnya.

Hendarman mencontohkan, bila ada penangkapan 1.000 pecandu, semuanya tidak bisa dikasih diskresi. Namun, harus dilihat kasus per kasus. “Sebagian ada yang langsung diproses (hukum). Pelaku yang lain bisa menjalani (terapi) perawatan,” ujar Hendarman.

Hendarman pada prinsipnya setuju penanganan anak-anak pecandu narkoba diselesaikan melalui terapi. Penegak hukum memang harus melibatkan pihak lain, seperti psikiater, untuk membebaskan sekaligus menyembuhkan anak-anak dari ketergantungan terhadap pemakaian narkoba.

“Kasus-kasus seperti ini memang perlu dibahas secara komprehensif. Jadi, di sinilah perlunya diskresi,” terang alumnus hukum Universitas Diponegoro (Undip), Semarang, itu.

Itu berarti kejaksaan juga akan menerapkan kebijakan yang sama dengan kepolisian terhadap pemakai narkoba dari kalangan anak-anak? Menurut Hendarman, kejaksaan perlu mendalami perundang-undangan, apakah peluang diskresi dapat diterapkan dalam tahap penuntutan kasus narkoba atau tidak.

“Saya kira, bagaimana sikap kejaksaan perlu didalami secara detail. Saya sendiri belum menerima konsep dari Kapolri,” jelas mantan jaksa agung muda pidana khusus (JAM Pidsus) tersebut.

Selain jaksa agung, diskresi Kapolri tersebut mendapat dukungan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Sebab, langkah itu dinilai sebagai bentuk tanggung jawab yang diberikan negara terhadap anak-anak, terutama menyangkut masa depannya.

Komnas HAM menilai keputusan tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. “Anak-anak memang berhak mendapatkan peraturan yang dapat melindunginya, ” ujar Wakil Ketua Komnas HAM Hesti Armiwulan kemarin.

Pemberian perlindungan itu juga sesuai dengan konvensi internasional tentang hak-hak sipil dan politik serta konvensi hak ekonomi sosial budaya yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia. “Di sana diatur pemberian perlindungan terhadap anak-anak,” kata dosen Fakultas Hukum Universitas Surabaya (Ubaya) itu.

Hesti menjelaskan, anak-anak yang menjadi pemakai narkoba adalah korban perilaku orang dewasa yang berperan sebagai pengedar. Karena itu, pembinaan yang diterapkan terhadapnya tidak bisa disamakan dengan orang dewasa yang juga tersangkut masalah narkoba. Jika dilakukan bersama dengan orang dewasa, Hesti khawatir justru akan berdampak negatif terhadap anak-anak.

Ungkapan senada dilontarkan Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA). Sekjen Komnas PA Arist Merdeka mengatakan, pemidanaan terhadap anak-anak korban narkoba bukan merupakan jalan terbaik. “Yang lebih penting adalah rehabilitasi dan pemulihan. Mereka adalah masa depan bangsa,” tegas Arist.

Dia mengatakan, enam bulan lalu Komnas PA pernah memberikan rekomendasi kepada Kapolri tentang diskresi tersebut. Saat itu BNN melansir data pemakai narkoba yang kebanyakan anak-anak. “Jadi, kami merasa perlu ada perlakuan khusus, terutama mereka yang berusia di bawah 18 tahun. Keputusan (Kapolri) itu perlu diapresiasi, ” jelasnya.

Dihubungi terpisah, aktivis hukum dan pengacara PBHI Hendardi menilai langkah Kapolri tersebut harus dibarengi komitmen hukum yang tegas. “Instruksi ke Kapolda, misalnya, harus spesifik dan merata,” sarannya. Jika tidak, lanjut dia, kebijakan itu bisa timpang di lapangan. Masyarakat juga harus diberi tahu soal kebijakan baru tersebut. “Sosialisasi yang meluas ke seluruh struktur mendesak dilakukan,” sambungnya.

Wakil Ketua Komisi III (bidang hukum) Soeripto menambahkan, meski anak-anak dipersepsi sebagai korban, tindakan tegas terhadap pelaku yang menjerumuskan anak harus menjadi prioritas kepolisian. “Terutama yang membuat mereka sampai memakai narkoba harus ditindak sekeras-kerasnya, ” paparnya.

Jaringan pengedar, kata mantan praktisi Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) itu, mempunyai sistem sel yang selalu tumbuh. “Artinya, digerebek satu kelompok, muncul lagi kelompok lain,” tuturnya.

Menurut dia, perlakuan terhadap anak yang menjadi korban narkoba harus berorientasi pengasuhan. “Jangan sampai seorang anak justru dendam kepada aparat yang efeknya menambah kecanduan,” ujarnya.

Selain peran kepolisian, Soeripto menilai pemberdayaan keluarga juga penting. “Kesadaran orang tua agar narkoba dijadikan sebagai musuh yang sangat berbahaya harus selalu disegarkan, misalnya dengan media massa,” katanya.

Sementara itu, Kapolda Jatim Irjen Pol Herman Surjadi Soemawiredja langsung menindaklanjuti diskresi Kapolri. Kemarin (11/11) Polda Jatim sudah menemukan tiga tahanan kasus narkoba yang akan dilepas untuk menjalani proses rehabilitasi. “Setelah kami cek latar belakangnya, mereka betul-betul menjadi korban narkoba,” kata Kapolda saat dikonfirmasi melalui Kabid Humas Polda Jatim Kombespol Pudji Astuti. Kapolda juga berjanji memecat anak buahnya yang main-main dengan diskresi Kapolri itu. (selengkapnya baca Metropolis). (agm/fal/rdl)

Trackback URI Comments RSS

One Response to “ Diskresi Kapolri Sesuai HAM ”
# 1 Hedwig Inggrid Wattimena Says:
January 29th, 2008 at 10:33 pm
Diskresi kapolri dalam hal ini dikeluarkan dengan tujuan semata-mata demi kepentingan terbaik bagi anak, dan penahanan atau proses peradilan dan memasukkan anak ke penjara adalah menjadi upaya terakhir. saya setuju dengan pemberian diskresi ini, karena begitu banyak faktor yang menyababkan seorang anak menjadi pecandu (pemakai). Kemiskinan, Pendidikan, Keluaraga, lingkungan dsb merupakan faktor pendukung yang menyebabkan seorang anak menjadi pecandu bahkan mungkin sebagai pengedar. Penjara bukan tempat yang baik bagi anak-anak yang berhadapan dengan hukum. Diskresi ini harus dijalankan dengan sebaik-baiknya dengan komitmen yang kuat dari semua pihak, terutama kepolisian yang memiliki wewenang ini, kejaksaanpun dapat melakukan hal ini, kalau mereka mau berpikir tentang nasib anak-anak dibangsa ini…..UU no 23 tahun 2002 dalam pasal 66 menjelaskan tentang perlindungan khusus bagi anak-anak yang berhadapan dengan hukum, diskresi yang dikeluarkan oleh Kapolri merupakan salah satu perwujudan pasal ini. Masukan buat Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebaiknya diberikan pendidikan khusus bagi Penyidik / penyidik pembantu dalam hal penanganan kasus pidana anak. Karena rata-rata setiap anak yang berhadapan dengan hukum, selalu mendapat perlakuan kasar dan tidak manusiawi dari polisi yang melakukan penyidikan….mereka (anak-anak) selalu menggunakan istilah “diverbal”, “diGulung”, untuk setiap penyiksaan oleh Penyidik yang memriksa mereka dalam proses pembuatan Berkasa Acara Pemeriksaan.