Republik Damai Rabu, 23 Juli 2008
Rangkaian unjuk rasa, yang kini hampir tiap hari berlangsung, ditangani secara berbeda-beda oleh polisi. Setidaknya begitu yang tampak dari tayangan TV. Sebagian unjuk rasa itu ditangani secara persuasif, dengan barisan polisi tanpa senjata atau alat apa pun. Sebagian lagi diatasi dengan represif, malah ada yang eksesif seperti kasus di Universitas Nasional (Unas), Jakarta.
Mengapa sikap dan tindakan polisi tidak sama? Kepolisian Republik Indonesia (Polri) mengikuti salah satu norma kepolisian universal, yaitu diskresi (discretion, kebijaksanaan, keleluasaan). Pada dasarnya, setiap individu polisi adalah pemegang diskresi. Artinya, polisi boleh dan dapat mengambil keputusan secara individual. Prinsip dasar ini yang membedakan antara polisi dan militer. Kita tahu, militer menganut norma komando.
Pada prinsip komando, seorang prajurit tidak boleh mengambil keputusan untuk menembak sebelum atasan atau komandannya memberi perintah tembak. Karena itu, tanggung jawab atas suatu tindakan terletak di tangan komandan. Sebaliknya dengan norma diskresi kepolisian.
Seorang polisi boleh mengambil keputusan untuk menembak, tanpa perlu menunggu perintah atasan atau komandan. Setelah tindakan itu diambil, dia harus mempertanggungjawabkan keputusan mengapa perlu menembak.
Sebaliknya juga bisa saja terjadi. Seorang polisi tidak menembak seorang penjahat, sehingga penjahat itu memperoleh kesempatan membunuh orang. Si polisi tersebut harus mempertanggungjawabkan keputusan mengapa tidak menembak.
Diskresi kepolisian diperlukan bagi penegakan hukum, karena setiap kasus memerlukan penanganan yang berbeda-beda. Seorang polisi mungkin saja menilai suatu situasi secara berbeda dibandingkan penilaian polisi lainnya.
Karena tidak ada unsur komando, maka sering tampak tayangan TV yang "aneh." Seorang polisi memukuli demonstran, sementara temannya sesama polisi justru berusaha mencegah pemukulan itu dan menyelamatkan sang pengunjuk rasa.
Diskresi kepolisian juga memungkinkan seorang penyidik kepolisian melakukan penyelidikan (lidik) atau penyidikan (sidik) secara individual. Secara normatif, atasan sang penyidik tidak berhak untuk "ikut campur" atau intervensi terhadap penanganan suatu kasus kriminal.
Di sini sering terjadi perbedaan pandangan, karena apa yang dirasakan benar dan dijalani oleh penyidik belum tentu dianggap benar oleh atasannya. Apalagi konteks lingkungan yang belum sepenuhnya netral dan imparsial. Sering terjadi penyidik memperoleh tekanan politis bukan hanya dari sesama polisi yang berpangkat lebih tinggi, tapi bahkan juga dari politisi di luar lingkungan Polri. Masalahnya, banyak orang tidak memahami diskresi kepolisian ini.***
Sabtu, Januari 10, 2009
Diskresi Kepolisian oleh Hermawan Sulistyo
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar