Senin, Mei 13, 2013

Panduan Reportase (3)



MELIPUT PERISTIWA TRAUMATIK
Oleh Syaefurrahman Al-Banjary
 
Pengertian
Peristiwa traumatik adalah peristiwa yang dapat menimbulkan gangguan psikologis, seperti trauma, perasaan takut dan gangguan fisik serta mental. Peristiwa ini dapat saja terjadi sesaat maupun berkelanjutan.
Contoh-contoh peristiwa traumatik adalah bencana alam, ledakan bom, perang, perkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, kecelakaan lalu lintas, pengungsian, dan sebagainya.

Dampak
Peristiwa tersebut jika tidak tepat dalam meliput dan menyiarkannya dapat membuat dampak buruk bagi korban, keluarga, bahkan bagi jurnalis sendiri. Misalnya seorang korban ledakan bom akan merasa ketakutan ketika mendengar ledakan. Ia masih trauma dengan ledakan bom yang meluluhlantakkkan gedung dan mengakibatkan puluhan orang tewas, termasuk dirinya yang menderita luka. Bahkan korban ini pun trauma ketika melihat tayangan ledakan bom diulang. Ia tidak dapat tidur ketika mengingat kasus yang dialaminya itu.

Contoh lain adalah seorang korban perkosaan, yang muak dengan wawancara televisi ketika ia menjadi saksi di pengadilan. Sudah sakit, masih ditambah sakit dengan dimunculkan gambarnya di televisi. Dan ini akan menghambat proses pemulihan psikisnya.
Di luar dampak buruk pemberitaan peristiwa traumatis tersebut, ada juga dampak positifnya. Yakni memberikan berita dan informasi kepada keluarga mengenai apa yang terjadi, siapa saja yang menjadi korban, dan apabila diperlukan, keluarga mereka pun dapat mencari tahu dimana korban di rawat. Dampak positif lainnya adalah menggalang solidaritas kemanusiaan, misalnya dalam bentuk bantuan bagi pemulihan yang bersangkutan.

Cara meliput
Menjadi pertanyaan: Jika anda menghadapai kecelakaan tragis, apakah anda akan mengutamakan liputan, misalnya mengambil gambar, ataukah menolong korban? Anda dalam posisi yang serba sulit, karena pada saat yang bersamaan kedua bidang itu secara kemanusiaan harus dilakukan. Mungkin anda sebagai jurnalis professional akan mengatakan menjalankan tugas jurnalistik lebih dahulu, sebab anda bukan petugas palang merah. Mungkin juga anda akan mengambil langkah menolong korban demi kemanusiaan, menyelamatkan nyawa, tokh berita dapat dibuat belakangan, dan gambar pun dapat saja diambil sekadarnya. Jawaban yang tepat adalah ada pada naluri kemanusiaan kitalah yang menentukan, saat mana kita mendahulukan menolong korban, dan kapan kita harus membantu korban.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika meliput peristiwa traumatik adalah:

  1. Megutamakan keselamatan. Tidaklah ada artinya mengejar berita tapi mengorbankan keselamatan. Berita terbaik adalah keselamatan itu sendiri. Jadi meskipun kita mendapatkan berita eksklusif, keselamatan jurnalis harus tetap menjadi perhatian utama.
  2. Perhatian dan peka terhadap kondisi psikologis sumber berita. Jurnalis harus tahu diri terhadap korban sehingga jangan sampai menghadapi korban membuat mereka makin tertekan. Situasi akan menentukan cara jurnalis menghadapi nara sumber.
  3. Menghargai sikap korban. Korban yang menolak diwawancarai harus dihormati. Kalaupun harus ada keterangan korban, maka harus diacari cara lain, misalnya melalui keterangan tetangganya atau perlu kita cari dokter atau psikolog untuk mendampinginya.
  4. Memperkenalkan diri dengan jelas
  5. Memberikan pengertian kepada korban. Dalam hal ini mungkin korban khawatir terhadap wartawan jika namanya disebut. Berilah pengertian bahwa jurnalis dapat merahasiakan nara sumber jika diperlukan untuk melindungi nara sumber.
  6. Memulai dengan ungkapan simpatik. Misalnya dengan mengatakan, “ saya ikut prihatin dengan kejadian yang Ibu alami.”
  7. Tidak dimulai dengan pertanyaan sulit. Mulailah dengan pertanyaan ringan seperti menanyakan kesehatan, kondisi korban.
  8. Menghindari pertanyaan mencecar. Pertanyaan yang menginterogasi seperti terhadap tersangka, biasanya tidak disukai oleh nara sumber/korban. Tanyakan dengan cara sopan, misalnya: di mana anda saat terjadinya kecelakan itu?” Pertanyaan ini akan memberikan kesan seolah korban dijadikan saksi mata dan bukan tersangka.
  9. Banyak mendengar dan bukan berbicara. Harus selalu diingat bahwa wawancara diperlukan untuk menggali sedalam mungkin informasi dari nara sumber, bukan sebaliknya.
  10. Berhati-hati menyela pembicaraan
  11. Mengetahui saat mulai dan berhenti
  12. Menyampaikan terima kasih


Pengambilan dan Penayangan gambar

  1. Hati-hati dengan lampu kamera, mungkin akan menjadikan nara sumber trauma.
  2. Hati-hati ketika merekam korban dengan kamera besar. Jika diperlukan dengan kamera kecil saja.
  3. Tayangkan gambar yang benar-benar mencerminkan berita yang dimaksud, memiliki relasi kuat dengan naskah berita.
  4. Penayangan gambar-gambar luka korban tidak terlalu detil, close up maupun big close up.
  5. Pilih gambar korban kekerasan yang tidak vulgar.
  6. Hindari penayangan berulang-ulang
  7. Periksalah ketepatan gambar dan akurasi data (caption atau telop)

Kiat menghadapai nara sumber

  1. Memperkenalkan diri dengan sopan
  2. Berpakaianlah dengan sopan
  3. Hindari “jurnalisme keroyokan” dalam melakukan wawancara
  4. Jika nara sumber masih trauma menolak wawancara, bersikaplah arif.
  5. Bila diperlukan, ajaklah dokter atau psikolog untuk menemani wawancara
  6. Hati-hati menggunakan istilah “korban”, “tragedi”, “cobaan”, “ujian hidup”. Pilih kata yang menenangkan.

Aturan KPI

Komisi Penyairan Indonesia (KPI) telah menggariskan bagaimana menyiarkan peristiwa traumatik dilakukan. Dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (Keputusan KPI Nomor 009/SK/KPI/8/2004, antara lain dinyatakan:

Pasal 23
Dalam meliput dan/atau menyiarkan program yang melibatkan pihak-pihak yang terkena musibah, lembaga penyiaran harus mengikuti ketentuan sebagai berikut;

a.      Peliputan subyek yang tertimpa musibah harus dilakukan dengan mempertimbangkan proses pemulihan korban dan keluarganya.
b.      Lembaga penyiaran tidak boleh menambah penderitaan orang yang sedang dalam kondisi gawat darurat, korban kecelakaan atau korban kejahatan atau orang yang sedang berduka dengan cara memaksa, menekan, mengintimidasi orang bersangkutan untuk diwawancarai atau diambil gambarnya.
c.      Penyajian gambar korban yang sedang dalam kondisi menderita hanya diperbolehkan dalam konteks yang dapat mendukung tayangan.
d.      Terhadap korban kejahatan seksual, lembaga penyairan tidak boleh mewawancarai korban mengenai proses tindak asusila tersebut secara terperinci.

Pelaporan peristiwa traumatik

Pasal 25
Dalam mengulas atau merekonstruksi peristiwa traumatik (misalnya pembantaian, kerusuhan social, bencana alam), lembaga penyiaran harus mempertimbangkan perasaan korban, keluarga korban, maupun pihak terkait dengan peristiwa traumatik tersebut.


Pasal 33
Kekerasan, Kecelakaan dan Bencana dalam Program Faktual

Lembaga penyiaran  harus memperhatikan keseimbangan antara kebutuhan untuk memperlihatkan realitas dan mempertimbangkan tentang efek negatif yang dapat ditimbulkan. Karena itu, penyiaran adegan kekerasan, kecelakaan dan bencana dalam program faktual harus mengikuti ketentuan sebagai berikut:
a.        Gambar luka-luka yang diderita korban kekerasan, kecelakaan dan bencana tidak boleh disorot secara close up (big close up, medium close up, ekstrim close up).
b.        Gambar korban kekerasan tingkat berat, serta potongan organ tubuh korban dan genangan darah yang diakibatkan tindak kekerasan, kecelakaan dan bencana harus disamarkan.
c.        Durasi dan frekuensi penyorotan korban yang eksplisit harus dibatasi
d.        Saat-saat kematian tidak boleh disiarkan.

------------------00000----------------

Panduan Reportase (2)



MELIPUT KONFLIK DAN JURNALISME DAMAI
Oleh Syaefurrahman Al-Banjary

Pengertian konflik

Konflik adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih mengenai nilai atau anggapan yang dianggap tinggi[1]. Contoh hak hidup adalah nilai kemanusiaan yang paling tinggi, sehingga tidak ada hak manusia untuk mengakhiri hidup manusia. Karena itu pembunuh akan dikecam bahkan dihukum karena perbuatannya bertentangan dengan hak hidup orang lain. Sama juga dengan hak akan berusaha, setiap orang boleh berdagang tapi ketika orang berdagang di jalan umum dan mengganggu ketertiban maka ia mengundang konflik dengan pemerintah setempat. Pertentangan nilai ini biasanya melibatkan status, kekuasaan dan sumber daya yang langka.
Konflik juga dapat dikatakan sebagai sebuah proses di mana dua atau lebih pelaku mencoba untuk mencapai tujuan yang saling berlawanan dengan mengabaikan proses pencapaian tujuan dari pihak (-pihak) lain.[2] Karena sifatnya yang mengabaikan proses inilah seringkali konflik menjadi destruktif. Padahal sebenarnya konflik juga dapat dikelola menjadi sesuatu yang produktif asalkan ada proses pencerahan, komunikasi yang baik, informasi yang cukup dan beragam.

Macam-macam Konflik

Menarik kembali dikemukakan di sini tentang macam-macam konflik yang telah disampaikan LSPP dalam buku Konflik Multi Kultur, Panduan Meliput Bagi Jurnalis.[3]

1. Konflik data, yakni konflik yang terjadi ketika orang kekurangan informasi yang dibutuhkan untuk mengambil keputusan yang bijaksana mendapat informasi yang salah, tidak sepakat mengenai apa saja data yang relevan, menterjemahkan informasi dengan cara yang berbeda, atau memakai tata cara pengkajian yang berbeda.

2. Konflik kepentingan, yakni konflik yang disebabkan oleh persaingan kepentingan yang dirasakan atau yang secara nyata memang tidak bersesuaian. Konflik ini dapat terjadi karena masalah mendasar (uang, sumber daya, fisik, waktu dll). Juga dapat bersumber pada masalah tata cara (sikap dalam menangani masalah). Atau masalah psikologis (persepsi atau rasa percaya, keadilan, rasa hormat, dll).

3. Konflik hubungan antar manusia, yakni konflik yang terjadi karena adanya emosi-emosi negatif yang kuat, salah persepsi atau stereotif, salah komunikasi atau tingkah laku negatif yang berulang (repetitive).

4. Konflik nilai, yakni konflik yang terjadi karena system kepercayaan yang tidak bersesuaian. Perbedaan kepercayaan tidak harus mnyebabkan konflik, bahkan dapat hidup berdampingan secara damai. Konflik baru dapat timbul ketika satu pihak memaksakan kepercayaan kepada pihak lain.

5. Konflik struktural. Konflik ini terjadi ketika terdapat ketimpangan untuk melakukan akses dan kontrol terhadap sumber daya. Pihak yang berkuasa memiliki kewenangan formal untuk menguasai sumber alam, juga mengontrol pihak lain. Perebutan pembagian hasil sumber alam antara pemerintah pusat dan daerah adalah salah contohnya.

Tahapan konflik


Konflik akan meletus atau bahkan meluas kalau ada percikan api, dan api bisa menyala kalau ada penyulutnya. Awalnya mungkin hanya ada orang menjelek-jelekkan suku A sebagai bengis dan haus darah, kemudian dibalas melalui media pula, lalu konflik mulai muncul ke permukaan dengan unjuk rasa, diberitakan lagi, hingga pecah menjadi eskalasi yang tadinya hanya tembak-tembakan dengan peluru tumpul berubah menjadi senjata tajam. Begitu seterusnya, seperti yang dijelasakan dalam buku Konflik Multi Kultur, tahapan konflik dimulai dari yang tersembunyi (laten), mencuat (emerging), terbuka (manifest), dan meningkat (eskalasi). Di sini pers memegang peranan penting apakah akan meredakan konflik atau ikut menyulut konflik, ataukah memberikan peta jalan damai agar keluar dari konflik?

Analisis Stakeholder

Sebuah konflik sering cepat diselesaikan, dapat pula berlarut-larut, tergantung kepentingan yang terlibat di dalamnya. Sebagai ilustrasi, dalam sebuah diskusi dianalisis siapa saja yang berkepentingan terhadap konflik, yakni masyarakat, LSM, Pemda, pemerintah Pusat, Militer, pemerintah Asing , dan sebagainya. Pemahaman terhadap kepentingan para stakeholder ini menjadi penting supaya peliputan tidak terjebak pada kepentingan tertentu saja, dan media menjadi alat propaganda, tanpa menghiraukan korban yang menjadi obyek konflik. [4]

Stakeholder
Kepentingan


Militer
Karir/kekuasaan ekonomi
Sipil
Karir
Agama
Fanatisme
Masyarakat
Popularitas egoisme kelompok/individu
Media
Peluang pasar/perbanyak oplah
LSM
Peluang dana
Pemerintah Asing
Intervensi – supremasi asing/Barat


Peran media dalam konflik


Fungsi utama media adalah menyebarkan informasi. Dengan demikian media dapat menyebarkan berita konflik. Media dapat mempertajam dan memperluas konflik, dapat pula menyadarkan kepada pihak-pihak yang bertikai. Media dapat menyulut perang, dapat pula memadamkan perang.
Kita ingat kata-kata  Bertolt Brecht dalam kumpulan Cerita tentang Tuan Keuner (Geschicten vom Herrn Keuner) yang menyatakan: “Jika Koran dipandang sebagai sarana membuat kekacauan, koran pun dapat digunakan sebagai sarana untuk menciptakan ketertiban.” [5]
Kata-kata ini persis seperti yang sering kita alami di lingkungan kita. Ada konflik lokal yang lingkupnya sangat kecil, tapi diberitakan oleh media, maka seluruh penjuru tanah air bahkan dunia tahu semua. Jadilah media menjadi sarana untuk melegitimasi konflik. Sebaliknya jika tidak diberitakan, media pun dapat saja melakukannya. Tapi media telah menyembunyikan fakta, sesuatu yang tidak seharusnya dilakukan sebagai bagian dari kewajiban menjamin hak publik untuk tahu (rights to know). Dengan demikian persoalannya terpulang kepada politik media yang bersangkutan, karena di dalamnya terdapat kepentingan bisnis, di samping kepentingan ideal misi jurnalistik.
Perlu diingat bahwa bukanlah peran wartawan untuk menyelesaikn konflik, melainkan mencari dan melaporkan kebenaran, melaporkan kedua pihak yang konflik namun tidak memihak. “Bukan tugas wartawan untuk mengarahkn apa yang sebaiknya dilakukan. Menyebarkan informasi dengan benar, sedikitnya bisa menggerakkan untuk membuat keputusan, melakukan tindakan dan pertolongan.”[6]

Jurnalisme perang


Untuk memberikan pemahan apa itu jurnalisme damai, maka ada baiknya kita ketahui dahulu apa itu jurnalisme perang. Sebab jurnalisme perang selalu dikaitkan dengan siapa kawan dan siapa lawan, siapa salah dan siapa benar, siapa saya dan siapa mereka. Hanya pihak “kita” yang benar dan mereka salah, sehingga sering disebut separatis, ekstremis, dan sebagainya.
Menurut Johan Galtung, professor kajian jurnalisme perdamain dalam bukunya Global Glasnot (1992),  jurnalisme perang adalah praktek jurnalisme yang cenderung terfokus pada kekerasan sebagai penyebabnya dan enggan untuk menggali asal-usul struktural sebuah konflik secara mendalam.[7]
Dalam jurnalisme perang, jurnalis terlampau terkonsesntrasi pada efek-efek yang terlihat, seperti korban tewas atau terluka, kerusakan material yang kelihatan, bukan kerusakan psikologis, struktur atau budaya.
Jurnalisme perang mereduksi pihak-pihak yang bertikai menjadi dua, kalau bukan teman pastilah lawan. Sikap Sadam Husein dalam krisis inspeksi senjata di Irak, dinilai telah melawan dunia internasional. Tapi media Amerika dan Inggris tidak kritis soal ini.
Jurnalisme perang menggambarkan polarisasi “kami-mereka”. Lihatlah apa yang sering digembar-gemborkan oleh TNI terhadap GAM beberapa tahun silam, sikap Amerika terhadap Irak, atau bahkan sekarang Amerika terhadap Iran dalam kasus nuklir. Semua menganggap bahwa Amerikalah yang benar dan pihak mereka (Irak dan Iran) adalah pihak yang salah.
Jurnalisme perang membutuhkan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Ia menyembunyikan inisiatif perdamaian pihak lain atau pihak ketiga, khususnya beberapa opsi untuk solusi tanpa kekerasan yang tidak memberikan kemenangn utuh buat pihak “kita”.
Jurnalisme perang akhirnya terfokus pada peran kalangan elit sebagai juru damai dengan menonjolkan kemenangan. Perdamaian didefinisikan sebagai kemenangan plus genjatan senjata. Mereka lupa bahwa akibat sebuah kejahatan akan meninggalkan konflik yang tak terselesaikan, yang dapat meletus di kemudian hari (lihat penjelasan soal ini dalam buku  Konflik Multi Kultur, Panduan Meliput bagi Jurnalis, LSPP 2000).


Jurnalisme damai

Tidak ada definisi baku apa yang dimaksud dengan jurnalisme damai. Dari sejumlah referensi dan bacaan tentang jurnalisme damai dapatlah dikatakan bahwa junalisme damai adalah lawan dari jurnalisme perang seperti dijelaskan di atas. Karena itu pada dasarnya jurnalisme damai adalah teknik jurnalisme yang menempatkan  sumber daya manusia pada posisi yang tinggi, yang harus dihormati, yang potensial mencegah dan menurunkan kejahatan. Karena itu jurnalisme damai tidak berakhir pada soal kalah-menang, atau salah – benar, tetapi membuka jalan bagi pihak yang bertikai untuk mencari solusi. Di dalamnya diperlukan dialog dan menghargai hak-hak yang melekat pada sisi kemanusiaan.
Definisi umum yang ditulis LSPP dalam buku  Jurnalisme Damai, Bagaimana Melakukannya[8] menyatakan: “Jurnalisme Damai (JD) melaporkan suatu kejadian dengan bingkai (frame) yang lebih luas, yang lebih berimbang dan lebih akurat, yang didasarkan pada informasi tentang konflik dan perubahan-perubahan yang terjadi.”
Pendekatan jurnalisme damai memberikan semacam peta jalan baru yang menghubungkan para jurnalis dengan sumber-sumber informasi mereka, liputan yang mereka kerjakan dan konsekuensi etis dari liputan tersebut – etika intervensi jurnalistik.
Jurnalisme damai membuka peluang pada pemahaman “non-kekerasan” (non-violence) dan kreativitas seperti yang diaplikasikan sehari-hari oleh para jurnalis dalam membuat liputan.
Perbedaan antara jurnalisme damai dengan jurnalisme perang, dapat dipahami dari tabel yang dibuat oleh professor Galtung sebagai berikut:

Tabel 1. Perbedaan Jurnalisme Damai dan Jurnalisme Perang[9]


Jurnalisme Damai

Jurnalisme Perang







Penentuan Angle dan Fokus


1.     Fokus pada proses terjadinya konflik: pihak-pihak yang terlibat, penyebab pertikaian, permasalahan yang menyertai, berorientasi pada opsi “memang-menang”
2.     Ruang dan waktu yang terbuka; sebab-akibat dalam perspektif sejarah

3.     Memberitakan konflik apa adanya
4.     Memberi ruang pada semua suara/versi; menampilkan empati dan pengertian
5.     Melihat konflik atau perang sebagai sebuah masalah, fokus pada hikmah konflik
6.     Melihat aspek humanisasi di semua sisi/pihak

7.     Pro-aktif: pencegahan sebelum konflik/perang terjadi

1.     Fokus pada arena konflik: dua kubu bertikai, hanya satu tujuan (kemenangan), situasi peperangan, orientasi “memang-kalah”

2.     Ruang dan waktutertutup; sebab-akibat terbatas arena konflik, mencari siapa yang menyerang duluan
3.     Ada fakta yang sengaja disembunyikan
4.     Berita memilahkan “kita-mereka”, nuansa propaganda, suara dari dan untuk “kita”
5.     Melihat “mereka” sebagai masalah, fokus pada siapa yang menang perang

6.     Dehumanisasi di pihak “mereka”, humanisasi di pihak “kita”
7.     Reaktif: Menunggu terjadi konflik, baru buat reportase


Orientasi Liputan

      Ketidak-benaran di kedua-
      belah pihak, membongkar
      “cover up”
      Hanya mengungkap
      ketidak-benaran “mereka”
      dan menutup-nutupi
      ketidak-benaran “kita”


Cara Pandang Terhadap Akhir Konflik
1.     Fokus pada penderitaan semua: perempuan, anak-anak, orang tua; memberi suara pada korban
2.     Menyebut nama pelaku kejahatan di kedua-belah pihak
3.     Fokus pada para penggiat perdamaian di tingkat akar rumput
1.     Fokus pada penderitaan “kita”; memberi suara hanya pada panglima perang

2.     Menyebut nama pelaku kejahatan di pihak “mereka”

3.     Fokus pada penggiat perdamaian di tingkat elit

Pandangan Terhadap “Akhir” Konflik
1.     Perdamaian = anti-kekerasan + hikmah
2.     Mengangkat inisiatif perdamaian dan mencegah perang lanjutan
3.     Fokus pada struktur dan budaya masyarakat yang damai
4.     Usai konflik: resolusi, rekonstruksi dan rekonsiliasi
1.     Perdamaian = kemenangan + gencatan senjata
2.     Menyembunyikan inisiatif perdamaian, sebelum kemenangan diraih
3.     Fokus pada pakta dan institusi masyarakat yang terkendali
4.     Usai konflik: siap bertempur lagi bila “luka lama kambuh”


Bagaimana meliput konflik


Robert Karl Manoof, dalam buku Konflik Multikultur: Panduan Meliput bagi Jurnalis halaman 62, mengisyaratkan bahwa jurnalisme damai membawa peran kenabian dalam kerjanya. “Media mengangkat sumber daya manusia terbesar, yang potensial mencegah dan menurunkan kejahatan sosial, memintanya untuk didiskusikan, dinilai, dan bila perlu dimobilisasi.
Menurutnya pula, jurnlisme damai mempunyai tugas utama yaitu memetakan konflik, mengidentifikasikan pihak-pihak yang terlibat, dan menganalisis tujuan-tujuan mereka, dan membicarkan informasi yang mereka sediakan dalam agenda khusus mereka.
Dalam jurnalisme damai, jurnalis harus mencari tahu suara yang berbeda dan mengartikulasikan luasnya kepentingan dalam situasi sebelumnya. Hal ini untuk menangkal polarisasi penjelek-jelekan dan pembagusan dalam jurnalisme perang.

Sebelum memasuki daerah konflik.

Banyak saran yang dikemukakan oleh sejumlah wartawan senior dalam meliput konflik. Wartawan perang Hendro Subroto, misalnya menyarankan agar ketika memasuki daerah konflik, wartawan haruslah memahmi kultur masyarakat tersebut. Ketika memasuki daerah konflik, wartawan juga harus menjaga keselamatan diri. Di luar itu, wartawan juga harus:
-          Memiliki pengetahuan umum tentang pihak yang bertikai
-          Mengenal geografi, demografi dan sifat-sifat masyarakat setempat
-          Membangun hubungan dengan pihk-pihak yang bertikai.

Sementara itu Johan Galtung menyarankan jurnalis dalam meliput konflik perlu:
-          memahami apa konflik yang terjadi? Siapa yang terlibat? Apa tujuan mereka, termasuk kepentingan pihak-pihak di luar aren konflik
-          apa penyebab konflik yang sesungguhnya, dampak pada struktur dan budaya, termasuk akar histories dari struktur dan budaya
-          gagasan pemecahan apa yang muncul oleh pihak-pihak yang bertikai, adakah gagasan kreatif dan baru? Cukup kuatkah gagasan itu untuk menghindari kekerasan?
-          Jika kekerasan terjadi, bagimana dampak yang tak terlihat seperti trauma dan kebencin? Bagiamana pula keinginan untuk membalas dendam dan kinginan untuk menang?
-          Siapa saja yang bekerja untuk menghindari kekerasan, pandangan yang mereka miliki untuk mengatasi konflik, metodanya, bagaamana mereka dapat didukung?
-          Siapa yang memulai rekonstruksi, rekonsiliasi dan resolusi, dan siapa yang menangguk untung seperti kontrak-kontrak rekonsiliasi?

Melaporkan berita konflik

Banyak hal yang dapat dilakukan untuk melaporkan berita konflik, beberapa di antaranya adalah;

  1. Menghindari penggambaran bahwa konflik hanya terdiri dari dua pihak yang bertikai atas satu isu tertentu. Konsekuensi dari penggambaran ini adalah ada satu pihak yang menang dan ada satu pihak yang kalah. Lebih baik menggambarkan ada banyak kelompok kecil yang terlibat mengejar berbagai tujuan, dengan membuka lebih banyak kemungkinan kreatif yang akan terjadi.
  2. Hindari peneriman perbedaan tajam antara “aku” dan “yang lain”, sebab ini dapat digunakan untuk membuat perasaan bahwa pihak lain adalah “ancamn” atau “tidak bisa diterima” tingkah laku yang beradab. Bila satu kelompok menampilkan dirinya sebagai “pihak yang benar”, tanyakan bagaimana perbedaan perilaku yang sesungguhnya dari “pihak yang salah” dari mereka –apakah ini tidak mebuat mereka malu?
  3. Hindari memperlakukan konflik seolah-olah ia hanya terjadi pada satu tempat kekerasan terjadi. Lebih baik mencoba menelusuri hubungan dan akibat-akibat yang terjadi bagi masyarakat di tempt lain pada saat ini dan mendatang.
  4. Hindari pemberian penghargaan kepada tindakan ataupun kebijakan dengan menggunakan kekerasan hanya karena dampak yang terlihat.  Lebih baik mencari cara untuk melaporkan dampak yang justru tidak terlihat, misalnya kerusakan psikis dan trauma.
  5. Hindari pengidentifikasian suatu kelompok hanya dengan mengulang ucapan para pemimpin mereka ataupun tuntutan yang telah dikemukakan.
  6. Hindari pemusatan perhatian hanya pada pihak yang bertikai. Lebih baik mencoba bertanya yang bisa memunculkan kesaman-kesamaan.
  7. Hindari pelaporan yang hanya menonjolkan unsur kekerasan dan mendeskrepsikan tentang “horror”. Lebih baik menunjukkan bagaimana orang-orang telah menjadi buntu dan frustasi atau mengalami kerugian dalam kehidupan sehari-hari sebagai hasil dari tindak kekerasan.
  8. Hindari menyalahkan salah satu pihak karena memulai perselishin. Lebih baik menunjukkan bagmana problem dan isu bersama bisa menimbulkan dampak yang tidak diinginkan oleh kedua belah pihak.
  9. Hindari laporan yang hanya berfokus pada penderitaan, ketakutan, dan keluhan hanya dari satu sisi. Lebih bik memperlakukan kedua belah pihak mengalami kesengsaraan, ketakutan dan keluhan yang sama.
  10. Hindari penggunaan bahasa yang menonjolkan sosok korban seperti kata “miskin”, “hancur”, “tak berdaya”, memelas”,  “tragedi”. Lebih baik melaporkan apa yang telah dan mungkin dilakukan oleh masyarakat.
  11. Hindari pengunan kata-kata emosional, seperti “genocide” atau genosida, yang berarti menyingkirkan seluruh manusia (pembasmian).; “pembersihan” atau decimated, pembunuhan karakter atau assassination, massacre atau pembantaian, dan kejahatan “sistematis” seperti perkosaan dan pemaksaan orang meninggalkan rumah mereka.
  12. Hindari kata sifat seperti “kejam”, “barbar”, “brutal”.
  13. Hindari penggunan label kata seperti “teroris”, ekstremis” “kelompok fanatik”, atau juga “fundamentalis”[10]



[1] Konflik Multi Kultur Panduan Meliput bagi Jurnalis, LSPP halaman17
[2] Annabel McGoldrick, Jake Lynch: Jurnalisme Damai Bagaimana Melakukannya? LSPP, hal 2
[3] Konflik Multi Kultur, Panduan Meliput bagi Jurnalis, LSPP halaman 20, mengutip dari Tim BSP Kemala
[4] Lihat Konflik Multi Kultur, Panduan Melipu bagi Jurnalis  halaman 27-28
[5] Dikutip dari buku Konflik Multi Kultur Panduan Meliput bagi Jurnalis, LSPP halaman 31
[6] Lukas Luwarso dan Solahudin, Meliput Pertikaian: Pegangan buat Wartawan, SEAPA November 2000, halaman 13
[7] Pakar Jurnalisme Damai. Gagasannya pertama kali disampaikan pada ceramah  pakar dalam sebuah kulaih sekolah musim panas di Taplow Court, Buckinghamshire, Inggris pada Agustus 1997. Dalam perkuliahan yang dihadiri para wartawan, ilmuwan dan mahasiswa media dari Eropa, Afrika, Asia dan Amerika tersebut berhasil dirumuskan antara lain pembedaan antara “ideologi” jurnalisme perang dan jurnalisme damai.


[8] Annabel McGoldrick dan jake Lynch: Jurnalisme Damai, Bgaiamana melakukannya, terbitan LSPP bekerjasama dengan Kedutaan Inggris dan British Council, Jakarta 2001 halaman 1.
[9] Bahan ini diadaptasi dari lampiran pada The Peace Jurnalism Option, Transcend Peace and Development Network, 1998, hal. 44.
[10] Selanjutnya dapat dipahami dalam buku: Jurnalisme Damai, Bagaimana Melakukannya, halaman 27 hingga 35. Masalah yang sama juga dapat dipahami lebih jauh pada buku: :Jadi, bagaiman menurut pendapat anda? Buku paduan praktis bagi wartawan, terbitan BBC dan British Council, tahun 2003, halaman 22 – 31 pada bab tentang Meliput perang dan kerusuhan .