Sabtu, Januari 10, 2009

Diskresi Kaolri Sesuai HAM

November 21, 2007 By: Tukang Kompor Category: Advokasi, Dokumentasi, Kampanye, Penyadaran, Provokasi!

Sumber Jawa Pos

Pemidanaan Anak Pemakai Narkoba Bukan Jalan Terbaik

JAKARTA - Diskresi yang dikeluarkan Kapolri Jenderal Pol Sutanto agar pengusutan anak-anak korban narkoba tidak diperlakukan seperti tersangka disambut positif Jaksa Agung Hendarman Supandji. Dia menegaskan, selaku penyidik, polisi memang memiliki kewenangan diskresi yang bisa menjadi alasan pemaaf dalam penanganan kasus pidana.

Sebagaimana diberitakan kemarin (11/11), sebuah terobosan hukum di bidang pemberantasan narkoba lahir di Gedung Graha Pena Jawa Pos, Surabaya . Sabtu lalu, saat penandatanganan MoU kerja sama antara Grup Jawa Pos dengan Badan Narkotika Nasional (BNN), Sutanto menginstruksikan agar seluruh jajaran kepolisian tidak serta merta menjadikan anak di bawah umur sebagai tersangka narkoba.

“Saat ini, saya membuat diskresi bahwa para pemakai narkoba, terutama anak-anak, jangan diperlakukan seperti tersangka. Mereka lebih layak disebut korban,” kata Sutanto yang juga kepala BNN tersebut kala itu.

Meski merespons baik langkah Kapolri, Hendarman menyatakan bahwa diskresi kasus narkoba harus diterapkan secara selektif dan hati-hati. Aparat harus bisa memastikan bahwa pelaku yang mendapat diskresi benar-benar seorang pemakai yang menjadi korban peredaran narkoba.

“Misalnya, ada anak-anak ditangkap dalam kasus narkoba. Dia belum tentu dianggap hanya pemakai. Bisa saja dia justru menjadi pengedar. Untuk kasus itu, diskresi tidak bisa diterapkan,” jelas Hendarman ketika dihubungi tadi malam.

Karena itu, kata dia, jika kelak disepakati, pemberian diskresi harus disesuaikan dengan kualitas keterlibatan mereka dalam kasus narkoba. “Tidak bisa diterapkan seratus persen,” tegasnya.

Hendarman mencontohkan, bila ada penangkapan 1.000 pecandu, semuanya tidak bisa dikasih diskresi. Namun, harus dilihat kasus per kasus. “Sebagian ada yang langsung diproses (hukum). Pelaku yang lain bisa menjalani (terapi) perawatan,” ujar Hendarman.

Hendarman pada prinsipnya setuju penanganan anak-anak pecandu narkoba diselesaikan melalui terapi. Penegak hukum memang harus melibatkan pihak lain, seperti psikiater, untuk membebaskan sekaligus menyembuhkan anak-anak dari ketergantungan terhadap pemakaian narkoba.

“Kasus-kasus seperti ini memang perlu dibahas secara komprehensif. Jadi, di sinilah perlunya diskresi,” terang alumnus hukum Universitas Diponegoro (Undip), Semarang, itu.

Itu berarti kejaksaan juga akan menerapkan kebijakan yang sama dengan kepolisian terhadap pemakai narkoba dari kalangan anak-anak? Menurut Hendarman, kejaksaan perlu mendalami perundang-undangan, apakah peluang diskresi dapat diterapkan dalam tahap penuntutan kasus narkoba atau tidak.

“Saya kira, bagaimana sikap kejaksaan perlu didalami secara detail. Saya sendiri belum menerima konsep dari Kapolri,” jelas mantan jaksa agung muda pidana khusus (JAM Pidsus) tersebut.

Selain jaksa agung, diskresi Kapolri tersebut mendapat dukungan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Sebab, langkah itu dinilai sebagai bentuk tanggung jawab yang diberikan negara terhadap anak-anak, terutama menyangkut masa depannya.

Komnas HAM menilai keputusan tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. “Anak-anak memang berhak mendapatkan peraturan yang dapat melindunginya, ” ujar Wakil Ketua Komnas HAM Hesti Armiwulan kemarin.

Pemberian perlindungan itu juga sesuai dengan konvensi internasional tentang hak-hak sipil dan politik serta konvensi hak ekonomi sosial budaya yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia. “Di sana diatur pemberian perlindungan terhadap anak-anak,” kata dosen Fakultas Hukum Universitas Surabaya (Ubaya) itu.

Hesti menjelaskan, anak-anak yang menjadi pemakai narkoba adalah korban perilaku orang dewasa yang berperan sebagai pengedar. Karena itu, pembinaan yang diterapkan terhadapnya tidak bisa disamakan dengan orang dewasa yang juga tersangkut masalah narkoba. Jika dilakukan bersama dengan orang dewasa, Hesti khawatir justru akan berdampak negatif terhadap anak-anak.

Ungkapan senada dilontarkan Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA). Sekjen Komnas PA Arist Merdeka mengatakan, pemidanaan terhadap anak-anak korban narkoba bukan merupakan jalan terbaik. “Yang lebih penting adalah rehabilitasi dan pemulihan. Mereka adalah masa depan bangsa,” tegas Arist.

Dia mengatakan, enam bulan lalu Komnas PA pernah memberikan rekomendasi kepada Kapolri tentang diskresi tersebut. Saat itu BNN melansir data pemakai narkoba yang kebanyakan anak-anak. “Jadi, kami merasa perlu ada perlakuan khusus, terutama mereka yang berusia di bawah 18 tahun. Keputusan (Kapolri) itu perlu diapresiasi, ” jelasnya.

Dihubungi terpisah, aktivis hukum dan pengacara PBHI Hendardi menilai langkah Kapolri tersebut harus dibarengi komitmen hukum yang tegas. “Instruksi ke Kapolda, misalnya, harus spesifik dan merata,” sarannya. Jika tidak, lanjut dia, kebijakan itu bisa timpang di lapangan. Masyarakat juga harus diberi tahu soal kebijakan baru tersebut. “Sosialisasi yang meluas ke seluruh struktur mendesak dilakukan,” sambungnya.

Wakil Ketua Komisi III (bidang hukum) Soeripto menambahkan, meski anak-anak dipersepsi sebagai korban, tindakan tegas terhadap pelaku yang menjerumuskan anak harus menjadi prioritas kepolisian. “Terutama yang membuat mereka sampai memakai narkoba harus ditindak sekeras-kerasnya, ” paparnya.

Jaringan pengedar, kata mantan praktisi Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) itu, mempunyai sistem sel yang selalu tumbuh. “Artinya, digerebek satu kelompok, muncul lagi kelompok lain,” tuturnya.

Menurut dia, perlakuan terhadap anak yang menjadi korban narkoba harus berorientasi pengasuhan. “Jangan sampai seorang anak justru dendam kepada aparat yang efeknya menambah kecanduan,” ujarnya.

Selain peran kepolisian, Soeripto menilai pemberdayaan keluarga juga penting. “Kesadaran orang tua agar narkoba dijadikan sebagai musuh yang sangat berbahaya harus selalu disegarkan, misalnya dengan media massa,” katanya.

Sementara itu, Kapolda Jatim Irjen Pol Herman Surjadi Soemawiredja langsung menindaklanjuti diskresi Kapolri. Kemarin (11/11) Polda Jatim sudah menemukan tiga tahanan kasus narkoba yang akan dilepas untuk menjalani proses rehabilitasi. “Setelah kami cek latar belakangnya, mereka betul-betul menjadi korban narkoba,” kata Kapolda saat dikonfirmasi melalui Kabid Humas Polda Jatim Kombespol Pudji Astuti. Kapolda juga berjanji memecat anak buahnya yang main-main dengan diskresi Kapolri itu. (selengkapnya baca Metropolis). (agm/fal/rdl)

Trackback URI Comments RSS

One Response to “ Diskresi Kapolri Sesuai HAM ”
# 1 Hedwig Inggrid Wattimena Says:
January 29th, 2008 at 10:33 pm
Diskresi kapolri dalam hal ini dikeluarkan dengan tujuan semata-mata demi kepentingan terbaik bagi anak, dan penahanan atau proses peradilan dan memasukkan anak ke penjara adalah menjadi upaya terakhir. saya setuju dengan pemberian diskresi ini, karena begitu banyak faktor yang menyababkan seorang anak menjadi pecandu (pemakai). Kemiskinan, Pendidikan, Keluaraga, lingkungan dsb merupakan faktor pendukung yang menyebabkan seorang anak menjadi pecandu bahkan mungkin sebagai pengedar. Penjara bukan tempat yang baik bagi anak-anak yang berhadapan dengan hukum. Diskresi ini harus dijalankan dengan sebaik-baiknya dengan komitmen yang kuat dari semua pihak, terutama kepolisian yang memiliki wewenang ini, kejaksaanpun dapat melakukan hal ini, kalau mereka mau berpikir tentang nasib anak-anak dibangsa ini…..UU no 23 tahun 2002 dalam pasal 66 menjelaskan tentang perlindungan khusus bagi anak-anak yang berhadapan dengan hukum, diskresi yang dikeluarkan oleh Kapolri merupakan salah satu perwujudan pasal ini. Masukan buat Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebaiknya diberikan pendidikan khusus bagi Penyidik / penyidik pembantu dalam hal penanganan kasus pidana anak. Karena rata-rata setiap anak yang berhadapan dengan hukum, selalu mendapat perlakuan kasar dan tidak manusiawi dari polisi yang melakukan penyidikan….mereka (anak-anak) selalu menggunakan istilah “diverbal”, “diGulung”, untuk setiap penyiksaan oleh Penyidik yang memriksa mereka dalam proses pembuatan Berkasa Acara Pemeriksaan.

Tidak ada komentar: