Rabu, Juni 18, 2008

Menyongsong Bensin Cap Singkong

Teropong » Edisi 98 / Tahun II / Tanggal 5 Mei - 11 Mei 2008

Syaefurrahman Al-Banjary
Direktur Yayasan Masyarakat Peduli Energi

Harga minyak dunia mencapai 120 dolar Amerika Serikat per barel. Harga bensin juga bakal naik. Sementara cadangan minyak dalam negeri tinggal 23 tahun saja!Menurut skenario yang mengemuka, harga BBM jenis premium akan naik dari Rp 4.500 menjadi Rp 6.000 per liter, solar naik dari Rp 4.300 menjadi Rp 5.500 per liter, dan minyak tanah naik dari Rp 2.000 menjadi Rp 2.300 per liter. Kenaikan sebesar itu, akan memberi ruang fiskal yang cukup longgar bagi APBN sebesar Rp 21,491 trilyun serta menambah penghematan anggaran menjadi Rp 25,877 trilyun.Inilah nasib kita kalau masih bergantung pada BBM fosil, yang 30 persen dari 33 juta kiloliter per tahun masih mengimpor. Bahkan tahun 2005, impor minyak kita mencapai 50 persen! (Kurtubi, 2005).Bensin Cap SingkongMenghadapi gejolak minyak dunia, sebenarnya kita tidak perlu khawatir, tetapi memang perlu kesabaran dan sedikit kreatif. Jadikan kenaikan harga minyak dunia sebagai peluang untuk mengembangkan energi alternatif. Yang saya maksudkan di sini adalah energi hijau yang berbahan bakar nabati (BBN). Bahkan bakunya bisa singkong, jagung, sorgum, tebu, bahkan alang-alang dan batang padi pun dapat diolah jadi etanol yang menjadi campuran bensin. Berdasarkan penelitian dan praktek di lapangan, sebagaimana terekam dalam workshop Bisnis Bioetanol Singkong di IPB Bogor 29 April 2008, bahan baku singkong dipandang lebi efisien karena memiliki kandungan gula atau pati lebih baik di bawah jagung. Untuk satu liter bioetanol dapat diperoleh dari 6,5 kg singkong, sedangkan jagung 2,5 kg dapat satu liter bioetanol. Harga roduksi etanol singkong hanya Rp 4.000, dan harga jualnya untuk campuran bensin di pasaran mencapai Rp 8.000 hingga 10.000 per liter. Sedangkan untuk jumlah besar, Pertamina membeli Rp 5.500 per liter.Nilai ekonomis singkong juga bisa dilihat dari lahan yang masih terbuka luas dan membudidayakannya mudah. Kalau budidaya konvensional satu hektar dapat menghasilkan singkong antara 10 hingga 15 ton, kini dengan teknologi dan pupuk organik serta bibit unggul, dapat menghasilkan singkong sampai 100 hingga 150 ton per hektar. Luar biasa!Produksi etanol juga mudah, dari skala rumah tangga yang hanya memproduksi 70 hingga 2000 liter etanol per hari, industri kecil 2000 – 5000 liter perhari, sampai industri besar seperti Medco Energi dan Malindo Raya dan Sampurna Grup yang akan memproduksi di atas 60 juta liter per tahun.Saat ini, produksi etanol di Indonesia baru sekitar 177,500 kiloliter per tahun. Dari jumlah itu dibutuhkan untuk keperluan domestik 62,500 kiloliter per tahun dan 115,000 kiloliter diekspor. Untuk keperluan domestik, bukan hanya untuk campuran bensin, tetapi juga untuk kebutuhan perusahaan farmasi dan kosmetika. Bahkan untuk farmasi, sebagian masih impor.Sesuai dengan kebijakan pemerintah, tiap tahun akan menaikkan substitusi etanol untuk bensin. Tahun 2008 ini saja dari kebutuhan 17,81 juta kiloliter bensin, jika substitusi bensin mencapai 2% maka diperlukan etanol 356,200 kl dari 2,3 juta ton singkong. Itu baru 2% untuk substitusi premium. Coba kalau substitusinya mencapai 10%, etanol yang dibutuhkan adalah 1,7 juta kiloliter.Pendek kata, kebutuhan etanol untuk campuran premium tidak ada batasnya. Ini belum termasuk kebutuhan untuk kosmetika dan farmasi juga masih impor, yang harganya mencapai Rp 25 ribu per liternya. Peluang ini sudah ditangkap oleh sebagian warga. Mislanya di Sukabumi ada Pak Wien Iskandar dan Pak Soekaeni. Keduanya telah memproduksi etanol dari singkong dengan skala rumahan. Dari produksi Pak Wien 500 liter per hari, ia dapat keuntungan rata-rata Rp 60 juta per bulan. Ia menjual etanol kepada tukang ojek, pemilik angkot, dan sebagian farmasi. Hemat EnergiJika energi bioetanol menjadi gerakan nasional, maka rakyat yang untung. Tenaga kerja akan terserap untuk memproduksi singkong, dan menjadi tenaga kerja memproduksi etanol. Sebagian persoalan lingkungan juga dapat teratasi. Emisi gas buang yang biasa dikeluarkan kendaraan mejadi bersih, karena tanpa timbal. Hasil penelitian Prawoto dari Balai Termodinamika, Motor, dan Propulsi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (Trubus), menunjukkan, dengan campuran bioetanol konsumsi bahan bakar semakin efisien. Mobil E20 alias yang diberi campuran bioetanol 20%, pada kecepatan 30 km per jam, konsumsi bahan bakar 20% lebih irit ketimbang mobil berbahan bakar bensin. Jika kecepatan 80 km per jam, konsumsi bahan bakar 50% lebih irit. Duduk perkaranya? Pembakaran makin efisien karena etanol lebih cepat terbakar ketimbang bensin murni. Pantas semakin banyak campuran bioetanol, proses pembakaran kian singkat.Jadi, kenaikan harga minyak dunia memang dapat saja jadi berkah, kalau kita mau kreatif, sehingga petani singkong sejahtera dan generasi anak singkong nantinya tak lagi minder dihadapan anak-anak keju. Tapi ini memerlukan jaminan keseriusan dari pemerintah, karena usaha ini bukan tanpa masalah. Ketentuan pajak etanol jadi momok buat produsen skala rumahan. Mereka tentu tidak mampu kalau harus membayar cukai Rp10.000 per liter etanol, sementara ongkos produksinya saja hanya Rp 4.000, dan Pertamina hanya mampu membeli Rp 5.500.Soal lain adalah bagaimana melakukan standarisasi produk untuk menentukan etanol berkadar 99,5% yang layak untuk campuran bensin, mengingat lokasi industri rumahan mungkin akan menjamur di pelosok desa dan pulau. Polisi juga harus tahu diri akan gerakan ini, sehingga tidak perlu over acting menangkapi penjual etanol yang dioplos dengan bensin.Intinya, mengingat energi alternatif ini adalah menjadi kepedulian kita semua, memang sudah sewajarnya, etanol untuk BBM tidak kena pajak atau cukai. Pendiriannya juga tak memerlukan perizinan yang rumit. Cukuplah diketahui RT atau RW misalnya. Polisi juga harus mengamankan gerakan ini. Inilah regulasi yang gampang dan aman untuk menyambut bensin cap singkong. *** [ 1 ]

Tidak ada komentar: