Rabu, Juni 11, 2008

Diskresi Polisi dalam Unas Berdarah

Oleh Syaefurrahman Al-Banjary
Magister Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia

Penyerangan polisi ke kampus Universitas Nasional (Unas) pada subuh 24 Mei 2008 untuk menangkapi mahasiswa yang berunjuk rasa menentang kenaikan harga BBM sesungguhnya merupakan penyakit lama yang kambuh lagi karena gatal ingin membela penguasa. Padahal jika mau, potret gelap polisi di masa lalu dapat diperbaiki.
Kini memang sulit rasanya untuk tidak mengamini pernyataan Kontras bahwa brutalitas polisi dalam kasus ini mencerminkan watak rezim yang berkuasa. Padahal sejak awal reformasi 1998 polisi sedang berbenah menjadi polisi mandiri yang profesional dan bukan menjadi alat kekuasaan, melainkan alat keamanan negara penegak hukum, pelindung dan pelayan masyarakat (Pasal 5 UU Kepolisian Nomor 2 tahun 2002). Jadi, polisi harus mengayomi seluruh masyarakat dan bukan memihak penguasa yang sedang punya persoalan dengan kebijakan BBM.
Ini berbeda dengan polisi zaman Orde Baru yang menjadikan polisi sebagai bagian dari alat kekuasaan, sehingga polisi sering membela mati-matian kebijakan pemerintah dengan menangkapi siapapun yang menentang kebijakan pemerintah dengan tuduhan subversi.
Saat ini polisi memang berada pada posisi yang dilematis. Pertama, karena polisi adalah bagian dari masyarakat yang tentu saja ikut merasakan dampak kenaikan harga BBM. Kedua, polisi memiliki kewajiban mengamankan unjuk rasa agar tidak mengganggu orang lain, sehingga polisi harus mencegah agar unjuk rasa itu tidak anarkis. Ketiga, polisi adalah aparat penegak hukum yang harus tegas ketika melihat pelanggaran hukum, agar tetap berwibawa dan disegani.

Diskresi Kepolisian
Dalam penegakan hukum, polisi memiliki senjata yang ampuh untuk mengatasi dilema penegakan itu yakni dengan menerapakn konsep diskresi. Jika tepat penggunaannya, maka tujuan penegakan hukum dapat tercapai dan terhindar dari tindakan brutal yang justru menurunkan wibawa kepolisian. Mengapa demikian, karena sesungguhnya diskresi kepolisian adalah konsep otoritas polisi untuk melakukan tindakan sesuai dengan pertimbangan hati nurani petugas maupun institusi kepolisian itu sendiri. Dengan diskresi inilah polisi dapat mengesampingkan perkara dan tidak menindak pelanggar hukum asalkan tujuan penegakan hukum tercapai, yakni mewujudkan: kepastian hukum, keadilan dan ketertiban masyarakat. Termasuk diskresi adalah melakukan tindakan yang melanggar hukum dalam rangka mencapai tujuan penegakan hukum.
Syarat penggunaan diskresi adalah tetap menghormati hak asasi manusia, sesuai dengan asas kewajiban, tindakan itu patut dan masuk akal dan dalam keadaan memaksa. Diskresi juga dapat dilakukan sesuai dengan asas tujuan, artinya tindakan itu dilakukan untuk mencapai tujuan mencegah kerugian dan gangguan.
Dalam praktek di lapangan, memang sulit sekali ketiga tujuan penegakan hukum di atas tercapai karena penegakan hukum di masyarakat tidak dapat diterapkan secara hitam putih. Ada kalanya cuma satu yang dapat tercapai, misalnya kepastian hukum, atau bahkan hanya ketertiban atau keadilan saja.

Pendekatan hukum
Untuk melihat seperti apa sesungguhnya yang ingin dicapai oleh polisi ketika menyerbu kampus Unas, dapat dikemukakan tiga bentuk pendekatan penegakan hukum. Pertama adalah pendekatan hukum normative, yakni petugas hanya mencocokkan apa yang ada di buku (law in the books) dengan apa yang di lapangan (law in action). Hukum dilihat secara hitam-putih untuk mewujudkan kepastian hukum. Siapa yang bersalah akan ditindak tanpa melihat latar belakang mengapa kesalahan itu terjadi. Di sini hukum tercerabut dari akar budayanya.
Kedua adalah penegakan hukum fungsional yang memandang hukum sebagai alat rekayasan sosial (as tool for social engineering). Hukum adalah norma-norma yang hidup di masyarakat dan ditaati warganya (law in action). Dalam konteks inilah, maka pertimbangan yang dipentingkan adalah seluruh kepentingan sosial sejak dari kepentingan pribadi, keamanan, perlindungan terhadap moral, konservasi sumber daya, kepentingan ekonomi, politik dan budaya (Soekanto, 1985: 30). Pendekatan hukum sosiologis ini berbeda dengan penegakan peraturan. Penegakan peraturan sasaran akhirnya adalah kepastian hukum, sedangkan penegakan hukum sasaran akhirnya adalah keadilan dan ketertiban masyarakat.
Ketiga adalah pendekatan hukum kritis, yakni penegakan hukum yang diarahkan pada pencapaian tujuan dengan cara yang mudah, enak dan praktis bagi si petugas. Cara ini sering terlihat dalam bentuk penggunaan kekerasan yang “hantam kromo” atau asal memukul untuk segera mengendalikan massa tanpa memperhatikan hak asasi manusia. Polisi main tembak, main masuk kampus tanpa ijin dengan dalih menangkap perusuh. Inilah yang antara lain menjadi kritik, lantaran polisi hanya menekankan efisiensi , tetapi menimbulkan pelanggaran dan kerugian di pihak lain. Inilah yang tampak di Unas
Jika demikian halnya, maka penegakan hukum sosiologislah yang sebaiknya diterapkan dengan menggunakan konsep diskresi. Dengan diskresi, maka polisi dapat mempertimbangkan tindakan apa yang tepat menghadapi pengunjuk rasa, termasuk apakah akan melakukan tindakan persuasif maupun represif. Dengan pertimbangan hati nurani dan dengan kreatifitasnya sendiri, maka poilisi akan menemukan hukum yang cocok dengan masyarakatnya.
Dalam menggunakan diskresi, polisi memang dapat mengesampingkan formalitas hukum yang ada, tetapi sesungguhnya masih dalam kerangka asas-asas hukum juga. “Jadi tidak melewati garis-garis batas kerangka asas hukum,” kata Faal (M. Faal, 1991: 40).

Diskresi menyimpang
Dalam kasus Unas, sejauh yang dilaporkan Kapolri Jenderal Sutanto, polisi sebenarnya sudah sangat persuasif sejak sore hari. Tetapi menjelang subuh aksi mahasiswa telah mengganggu penduduk yang hendak shalat subuh, dan polisi diminta segera menghentikannya. Sayangnya polisi tidak melibatkan tokoh masyarakat untuk menghentikannya, sehingga polisi harus berhadapan dengan mahasiswa. Polisi yang sudah lelah itupun akhirnya menyerbu kampus menangkapi mahasiswai. Termasuk yang ditangkap adalah mereka yang kuliah malam tapi tidak bisa keluar kampus karena sudah dipagar betis polisi. Hasilnya adalah kurang lebih 150 mahasiswa ditangkap, di antaranya berdarah kepalanya terkena pentungan dan lemparan batu. Puluhan motor dan beberapa mobil rusak, beberapa fasilitas kampus juga rusak dengan total kerugian mencapai 600 juta rupiah. Entah karena kebetulan atau kesengajaan, polisi pun menemukan ganja dan botol minuman beralkohol yang ditemukan di dalam kampus. Ini pula yang menjadi alasan mengapa polisi menyerbu kampus.
Benar yang dikatakan Menko Polhukam Widodo AS bahwa demi penegakan hukum, polisi berwenang masuk kampus. Tetapi dalam kondisi seperti apa? Kampus adalah wilayah privat, sama seperti instansi pemerintah yang tidak serta merta dapat dimasuki polisi dengan alasan ada dugaan pelanggaran hukum di dalamnya. KPK saja harus ijin pimpinan DPR ketika akan menggeledah ruang kantor anggota DPR. Polisi akan menggeledah rumah penduduk yang di dalamnya ada dugaan pelaku narkoba, juga harus ijin pengadilan atau setidak-tidaknya sepengetahuan RT setempat. Ini aturan KUHAP.
Dengan demikian kita sulit menyimpulkan kalau dalam kasus Unas polisi menggunakan diskresi berdasarkan asas kewajiban hukum, karena terbukti masih ada korban berdarah-darah, dan rusaknya fasilitas kampus ketika polisi menyerbu kampus Unas.
Yang mungkin dapat dikatakan adalah telah terjadi penggunakan diskresi yang menyimpang dari kerangka hokum, yakni polisi telah melampaui batas wewenangnya (abuse of power). Jika demikian halnya, maka pertanggungjawaban hukum yang tepat untuk polisi adalah mengadili si pelaku sesuai dengan kadar kesalahannya dengan sanksi pidana, perdata maupun tindakan disiplin kepolisian. Sedangkan terhadap mahasiswa juga dapat diperlakukan sama: tindakan hukum yang sepantasnya. Namun polisi juga dapat saja menggunakan kewenangan diskresioner untuk membebaskan mahasiswa, jika itu dianggap lebih bermanfaat untuk menjamin stabilitas dan ketertiban masyarakat. ***

Tidak ada komentar: