Teropong » Edisi 98 / Tahun II / Tanggal 5 Mei - 11 Mei 2008
Syaefurrahman Al-Banjary
Direktur Yayasan Masyarakat Peduli Energi
Harga minyak dunia mencapai 120 dolar Amerika Serikat per barel. Harga bensin juga bakal naik. Sementara cadangan minyak dalam negeri tinggal 23 tahun saja!Menurut skenario yang mengemuka, harga BBM jenis premium akan naik dari Rp 4.500 menjadi Rp 6.000 per liter, solar naik dari Rp 4.300 menjadi Rp 5.500 per liter, dan minyak tanah naik dari Rp 2.000 menjadi Rp 2.300 per liter. Kenaikan sebesar itu, akan memberi ruang fiskal yang cukup longgar bagi APBN sebesar Rp 21,491 trilyun serta menambah penghematan anggaran menjadi Rp 25,877 trilyun.Inilah nasib kita kalau masih bergantung pada BBM fosil, yang 30 persen dari 33 juta kiloliter per tahun masih mengimpor. Bahkan tahun 2005, impor minyak kita mencapai 50 persen! (Kurtubi, 2005).Bensin Cap SingkongMenghadapi gejolak minyak dunia, sebenarnya kita tidak perlu khawatir, tetapi memang perlu kesabaran dan sedikit kreatif. Jadikan kenaikan harga minyak dunia sebagai peluang untuk mengembangkan energi alternatif. Yang saya maksudkan di sini adalah energi hijau yang berbahan bakar nabati (BBN). Bahkan bakunya bisa singkong, jagung, sorgum, tebu, bahkan alang-alang dan batang padi pun dapat diolah jadi etanol yang menjadi campuran bensin. Berdasarkan penelitian dan praktek di lapangan, sebagaimana terekam dalam workshop Bisnis Bioetanol Singkong di IPB Bogor 29 April 2008, bahan baku singkong dipandang lebi efisien karena memiliki kandungan gula atau pati lebih baik di bawah jagung. Untuk satu liter bioetanol dapat diperoleh dari 6,5 kg singkong, sedangkan jagung 2,5 kg dapat satu liter bioetanol. Harga roduksi etanol singkong hanya Rp 4.000, dan harga jualnya untuk campuran bensin di pasaran mencapai Rp 8.000 hingga 10.000 per liter. Sedangkan untuk jumlah besar, Pertamina membeli Rp 5.500 per liter.Nilai ekonomis singkong juga bisa dilihat dari lahan yang masih terbuka luas dan membudidayakannya mudah. Kalau budidaya konvensional satu hektar dapat menghasilkan singkong antara 10 hingga 15 ton, kini dengan teknologi dan pupuk organik serta bibit unggul, dapat menghasilkan singkong sampai 100 hingga 150 ton per hektar. Luar biasa!Produksi etanol juga mudah, dari skala rumah tangga yang hanya memproduksi 70 hingga 2000 liter etanol per hari, industri kecil 2000 – 5000 liter perhari, sampai industri besar seperti Medco Energi dan Malindo Raya dan Sampurna Grup yang akan memproduksi di atas 60 juta liter per tahun.Saat ini, produksi etanol di Indonesia baru sekitar 177,500 kiloliter per tahun. Dari jumlah itu dibutuhkan untuk keperluan domestik 62,500 kiloliter per tahun dan 115,000 kiloliter diekspor. Untuk keperluan domestik, bukan hanya untuk campuran bensin, tetapi juga untuk kebutuhan perusahaan farmasi dan kosmetika. Bahkan untuk farmasi, sebagian masih impor.Sesuai dengan kebijakan pemerintah, tiap tahun akan menaikkan substitusi etanol untuk bensin. Tahun 2008 ini saja dari kebutuhan 17,81 juta kiloliter bensin, jika substitusi bensin mencapai 2% maka diperlukan etanol 356,200 kl dari 2,3 juta ton singkong. Itu baru 2% untuk substitusi premium. Coba kalau substitusinya mencapai 10%, etanol yang dibutuhkan adalah 1,7 juta kiloliter.Pendek kata, kebutuhan etanol untuk campuran premium tidak ada batasnya. Ini belum termasuk kebutuhan untuk kosmetika dan farmasi juga masih impor, yang harganya mencapai Rp 25 ribu per liternya. Peluang ini sudah ditangkap oleh sebagian warga. Mislanya di Sukabumi ada Pak Wien Iskandar dan Pak Soekaeni. Keduanya telah memproduksi etanol dari singkong dengan skala rumahan. Dari produksi Pak Wien 500 liter per hari, ia dapat keuntungan rata-rata Rp 60 juta per bulan. Ia menjual etanol kepada tukang ojek, pemilik angkot, dan sebagian farmasi. Hemat EnergiJika energi bioetanol menjadi gerakan nasional, maka rakyat yang untung. Tenaga kerja akan terserap untuk memproduksi singkong, dan menjadi tenaga kerja memproduksi etanol. Sebagian persoalan lingkungan juga dapat teratasi. Emisi gas buang yang biasa dikeluarkan kendaraan mejadi bersih, karena tanpa timbal. Hasil penelitian Prawoto dari Balai Termodinamika, Motor, dan Propulsi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (Trubus), menunjukkan, dengan campuran bioetanol konsumsi bahan bakar semakin efisien. Mobil E20 alias yang diberi campuran bioetanol 20%, pada kecepatan 30 km per jam, konsumsi bahan bakar 20% lebih irit ketimbang mobil berbahan bakar bensin. Jika kecepatan 80 km per jam, konsumsi bahan bakar 50% lebih irit. Duduk perkaranya? Pembakaran makin efisien karena etanol lebih cepat terbakar ketimbang bensin murni. Pantas semakin banyak campuran bioetanol, proses pembakaran kian singkat.Jadi, kenaikan harga minyak dunia memang dapat saja jadi berkah, kalau kita mau kreatif, sehingga petani singkong sejahtera dan generasi anak singkong nantinya tak lagi minder dihadapan anak-anak keju. Tapi ini memerlukan jaminan keseriusan dari pemerintah, karena usaha ini bukan tanpa masalah. Ketentuan pajak etanol jadi momok buat produsen skala rumahan. Mereka tentu tidak mampu kalau harus membayar cukai Rp10.000 per liter etanol, sementara ongkos produksinya saja hanya Rp 4.000, dan Pertamina hanya mampu membeli Rp 5.500.Soal lain adalah bagaimana melakukan standarisasi produk untuk menentukan etanol berkadar 99,5% yang layak untuk campuran bensin, mengingat lokasi industri rumahan mungkin akan menjamur di pelosok desa dan pulau. Polisi juga harus tahu diri akan gerakan ini, sehingga tidak perlu over acting menangkapi penjual etanol yang dioplos dengan bensin.Intinya, mengingat energi alternatif ini adalah menjadi kepedulian kita semua, memang sudah sewajarnya, etanol untuk BBM tidak kena pajak atau cukai. Pendiriannya juga tak memerlukan perizinan yang rumit. Cukuplah diketahui RT atau RW misalnya. Polisi juga harus mengamankan gerakan ini. Inilah regulasi yang gampang dan aman untuk menyambut bensin cap singkong. *** [ 1 ]
Rabu, Juni 18, 2008
Menyongsong Bensin Cap Singkong
Selasa, Juni 17, 2008
Diskresi Polisi dalam Unas Berdarah
Teropong » Edisi 104 / Tahun III / Tanggal 16 Juni - 22 Juni 2008
Oleh Syaefurrahman Achmad
Magister Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia
Penyerangan polisi ke kampus Universitas Nasional (Unas) pada subuh 24 Mei 2008 untuk menangkapi mahasiswa yang berunjuk rasa menentang kenaikan harga BBM sesungguhnya merupakan penyakit lama yang kambuh lagi karena gatal ingin membela penguasa। Padahal jika mau, potret gelap polisi di masa lalu dapat diperbaiki।Kini memang sulit rasanya untuk tidak mengamini pernyataan Kontras bahwa brutalitas polisi dalam kasus ini mencerminkan watak rezim yang berkuasa। Padahal sejak awal reformasi 1998, polisi sedang berbenah menjadi polisi mandiri yang profesional dan bukan menjadi alat kekuasaan, melainkan alat keamanan negara penegak hukum, pelindung dan pelayan masyarakat (Pasal 5 UU Kepolisian Nomor 2 tahun 2002)। Jadi, polisi harus mengayomi seluruh masyarakat dan bukan memihak penguasa yang sedang punya persoalan dengan kebijakan BBM. Ini berbeda dengan polisi zaman Orde Baru yang menjadikan polisi sebagai bagian dari alat kekuasaan, sehingga polisi sering membela mati-matian kebijakan pemerintah dengan menangkapi siapapun yang menentang kebijakan pemerintah dengan tuduhan subversi. Saat ini polisi memang berada pada posisi yang dilematis. Pertama, karena polisi adalah bagian dari masyarakat yang tentu saja ikut merasakan dampak kenaikan harga BBM. Kedua, polisi memiliki kewajiban mengamankan unjuk rasa agar tidak mengganggu orang lain, sehingga polisi harus mencegah agar unjuk rasa itu tidak anarkis. Ketiga, polisi adalah aparat penegak hukum yang harus tegas ketika melihat pelanggaran hukum, agar tetap berwibawa dan disegani.Diskresi KepolisianDalam penegakan hukum, polisi memiliki senjata yang ampuh untuk mengatasi dilema penegakan itu yakni dengan menerapakn konsep diskresi. Jika tepat penggunaannya, maka tujuan penegakan hukum dapat tercapai dan terhindar dari tindakan brutal yang justru menurunkan wibawa kepolisian. Mengapa demikian, karena sesungguhnya diskresi kepolisian adalah konsep otoritas polisi untuk melakukan tindakan sesuai dengan pertimbangan hati nurani petugas maupun institusi kepolisian itu sendiri. Dengan diskresi inilah polisi dapat mengesampingkan perkara dan tidak menindak pelanggar hukum asalkan tujuan penegakan hukum tercapai, yakni mewujudkan: kepastian hukum, keadilan dan ketertiban masyarakat. Termasuk diskresi adalah melakukan tindakan yang melanggar hukum dalam rangka mencapai tujuan penegakan hukum.Syarat penggunaan diskresi adalah tetap menghormati hak asasi manusia, sesuai dengan asas kewajiban, tindakan itu patut dan masuk akal dan dalam keadaan memaksa. Diskresi juga dapat dilakukan sesuai dengan asas tujuan, artinya tindakan itu dilakukan untuk mencapai tujuan mencegah kerugian dan gangguan. Dalam praktek di lapangan, memang sulit sekali ketiga tujuan penegakan hukum di atas tercapai karena penegakan hukum di masyarakat tidak dapat diterapkan secara hitam putih. Ada kalanya cuma satu yang dapat tercapai, misalnya kepastian hukum, atau bahkan hanya ketertiban atau keadilan saja. Pendekatan hukumUntuk melihat seperti apa sesungguhnya yang ingin dicapai oleh polisi ketika menyerbu kampus Unas, dapat dikemukakan tiga bentuk pendekatan penegakan hukum. Pertama adalah pendekatan hukum normatife, yakni petugas hanya mencocokkan apa yang ada di buku (law in the books) dengan apa yang di lapangan (law in action). Hukum dilihat secara hitam-putih untuk mewujudkan kepastian hukum. Siapa yang bersalah akan ditindak tanpa melihat latar belakang mengapa kesalahan itu terjadi. Di sini hukum tercerabut dari akar budayanya. Kedua adalah penegakan hukum fungsional yang memandang hukum sebagai alat rekayasa sosial (as tool for social engineering). Hukum adalah norma-norma yang hidup di masyarakat dan ditaati warganya (law in action). Dalam konteks inilah, maka pertimbangan yang dipentingkan adalah seluruh kepentingan sosial sejak dari kepentingan pribadi, keamanan, perlindungan terhadap moral, konservasi sumber daya, kepentingan ekonomi, politik dan budaya (Soekanto, 1985: 30). Pendekatan hukum sosiologis ini berbeda dengan penegakan peraturan. Penegakan peraturan sasaran akhirnya adalah kepastian hukum, sedangkan penegakan hukum sasaran akhirnya adalah keadilan dan ketertiban masyarakat.Ketiga adalah pendekatan hukum kritis, yakni penegakan hukum yang diarahkan pada pencapaian tujuan dengan cara yang mudah, enak dan praktis bagi si petugas. Cara ini sering terlihat dalam bentuk penggunaan kekerasan yang “hantam kromo” atau asal memukul untuk segera mengendalikan massa tanpa memperhatikan hak asasi manusia. Polisi main tembak, main masuk kampus tanpa ijin dengan dalih menangkap perusuh. Inilah yang antara lain menjadi kritik, lantaran polisi hanya menekankan efisiensi , tetapi menimbulkan pelanggaran dan kerugian di pihak lain. Inilah yang tampak di UnasJika demikian halnya, maka penegakan hukum sosiologislah yang sebaiknya diterapkan dengan menggunakan konsep diskresi. Dengan diskresi, maka polisi dapat mempertimbangkan tindakan apa yang tepat menghadapi pengunjuk rasa, termasuk apakah akan melakukan tindakan persuasif maupun represif. Dengan pertimbangan hati nurani dan dengan kreatifitasnya sendiri, maka poilisi akan menemukan hukum yang cocok dengan masyarakatnya. Dalam menggunakan diskresi, polisi memang dapat mengesampingkan formalitas hukum yang ada, tetapi sesungguhnya masih dalam kerangka asas-asas hukum juga. “Jadi tidak melewati garis-garis batas kerangka asas hukum,” kata Faal (M. Faal, 1991: 40).Diskresi menyimpangDalam kasus Unas, sejauh yang dilaporkan Kapolri Jenderal Sutanto, polisi sebenarnya sudah sangat persuasif sejak sore hari. Tetapi menjelang subuh aksi mahasiswa telah mengganggu penduduk yang hendak shalat subuh, dan polisi diminta segera menghentikannya. Sayangnya polisi tidak melibatkan tokoh masyarakat untuk menghentikannya, sehingga polisi harus berhadapan dengan mahasiswa. Polisi yang sudah lelah itupun akhirnya menyerbu kampus menangkapi mahasiswa. Termasuk yang ditangkap adalah mereka yang kuliah malam tapi tidak bisa keluar kampus karena sudah dipagar betis polisi. Hasilnya adalah kurang lebih 150 mahasiswa ditangkap, di antaranya berdarah kepalanya terkena pentungan dan lemparan batu. Puluhan motor dan beberapa mobil rusak, beberapa fasilitas kampus juga rusak dengan total kerugian mencapai 600 juta rupiah. Entah karena kebetulan atau kesengajaan, polisi pun menemukan ganja dan botol minuman beralkohol yang ditemukan di dalam kampus. Ini pula yang menjadi alasan mengapa polisi menyerbu kampus. Benar yang dikatakan Menko Polhukam Widodo AS bahwa demi penegakan hukum, polisi berwenang masuk kampus. Tetapi dalam kondisi seperti apa? Kampus adalah wilayah privat, sama seperti instansi pemerintah yang tidak sertamerta dapat dimasuki polisi dengan alasan ada dugaan pelanggaran hukum di dalamnya. KPK saja harus ijin pimpinan DPR ketika akan menggeledah ruang kantor anggota DPR. Polisi akan menggeledah rumah penduduk yang di dalamnya ada dugaan pelaku narkoba, juga harus ijin pengadilan atau setidak-tidaknya sepengetahuan RT setempat. Ini aturan KUHAP. Dengan demikian kita sulit menyimpulkan kalau dalam kasus Unas polisi menggunakan diskresi berdasarkan asas kewajiban hukum, karena terbukti masih ada korban berdarah-darah, dan rusaknya fasilitas kampus ketika polisi menyerbu kampus Unas. Yang mungkin dapat dikatakan adalah telah terjadi penggunakan diskresi yang menyimpang dari kerangka hukum, yakni polisi telah melampaui batas wewenangnya (abuse of power). Jika demikian halnya, maka pertanggungjawaban hukum yang tepat untuk polisi adalah mengadili si pelaku sesuai dengan kadar kesalahannya dengan sanksi pidana, perdata maupun tindakan disiplin kepolisian. Sedangkan terhadap mahasiswa juga dapat diperlakukan sama: tindakan hukum yang sepantasnya. Namun polisi juga dapat saja menggunakan kewenangan diskresioner untuk membebaskan mahasiswa, jika itu dianggap lebih bermanfaat untuk menjamin stabilitas dan ketertiban masyarakat. [ 1 ]
Oleh Syaefurrahman Achmad
Magister Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia
Penyerangan polisi ke kampus Universitas Nasional (Unas) pada subuh 24 Mei 2008 untuk menangkapi mahasiswa yang berunjuk rasa menentang kenaikan harga BBM sesungguhnya merupakan penyakit lama yang kambuh lagi karena gatal ingin membela penguasa। Padahal jika mau, potret gelap polisi di masa lalu dapat diperbaiki।Kini memang sulit rasanya untuk tidak mengamini pernyataan Kontras bahwa brutalitas polisi dalam kasus ini mencerminkan watak rezim yang berkuasa। Padahal sejak awal reformasi 1998, polisi sedang berbenah menjadi polisi mandiri yang profesional dan bukan menjadi alat kekuasaan, melainkan alat keamanan negara penegak hukum, pelindung dan pelayan masyarakat (Pasal 5 UU Kepolisian Nomor 2 tahun 2002)। Jadi, polisi harus mengayomi seluruh masyarakat dan bukan memihak penguasa yang sedang punya persoalan dengan kebijakan BBM. Ini berbeda dengan polisi zaman Orde Baru yang menjadikan polisi sebagai bagian dari alat kekuasaan, sehingga polisi sering membela mati-matian kebijakan pemerintah dengan menangkapi siapapun yang menentang kebijakan pemerintah dengan tuduhan subversi. Saat ini polisi memang berada pada posisi yang dilematis. Pertama, karena polisi adalah bagian dari masyarakat yang tentu saja ikut merasakan dampak kenaikan harga BBM. Kedua, polisi memiliki kewajiban mengamankan unjuk rasa agar tidak mengganggu orang lain, sehingga polisi harus mencegah agar unjuk rasa itu tidak anarkis. Ketiga, polisi adalah aparat penegak hukum yang harus tegas ketika melihat pelanggaran hukum, agar tetap berwibawa dan disegani.Diskresi KepolisianDalam penegakan hukum, polisi memiliki senjata yang ampuh untuk mengatasi dilema penegakan itu yakni dengan menerapakn konsep diskresi. Jika tepat penggunaannya, maka tujuan penegakan hukum dapat tercapai dan terhindar dari tindakan brutal yang justru menurunkan wibawa kepolisian. Mengapa demikian, karena sesungguhnya diskresi kepolisian adalah konsep otoritas polisi untuk melakukan tindakan sesuai dengan pertimbangan hati nurani petugas maupun institusi kepolisian itu sendiri. Dengan diskresi inilah polisi dapat mengesampingkan perkara dan tidak menindak pelanggar hukum asalkan tujuan penegakan hukum tercapai, yakni mewujudkan: kepastian hukum, keadilan dan ketertiban masyarakat. Termasuk diskresi adalah melakukan tindakan yang melanggar hukum dalam rangka mencapai tujuan penegakan hukum.Syarat penggunaan diskresi adalah tetap menghormati hak asasi manusia, sesuai dengan asas kewajiban, tindakan itu patut dan masuk akal dan dalam keadaan memaksa. Diskresi juga dapat dilakukan sesuai dengan asas tujuan, artinya tindakan itu dilakukan untuk mencapai tujuan mencegah kerugian dan gangguan. Dalam praktek di lapangan, memang sulit sekali ketiga tujuan penegakan hukum di atas tercapai karena penegakan hukum di masyarakat tidak dapat diterapkan secara hitam putih. Ada kalanya cuma satu yang dapat tercapai, misalnya kepastian hukum, atau bahkan hanya ketertiban atau keadilan saja. Pendekatan hukumUntuk melihat seperti apa sesungguhnya yang ingin dicapai oleh polisi ketika menyerbu kampus Unas, dapat dikemukakan tiga bentuk pendekatan penegakan hukum. Pertama adalah pendekatan hukum normatife, yakni petugas hanya mencocokkan apa yang ada di buku (law in the books) dengan apa yang di lapangan (law in action). Hukum dilihat secara hitam-putih untuk mewujudkan kepastian hukum. Siapa yang bersalah akan ditindak tanpa melihat latar belakang mengapa kesalahan itu terjadi. Di sini hukum tercerabut dari akar budayanya. Kedua adalah penegakan hukum fungsional yang memandang hukum sebagai alat rekayasa sosial (as tool for social engineering). Hukum adalah norma-norma yang hidup di masyarakat dan ditaati warganya (law in action). Dalam konteks inilah, maka pertimbangan yang dipentingkan adalah seluruh kepentingan sosial sejak dari kepentingan pribadi, keamanan, perlindungan terhadap moral, konservasi sumber daya, kepentingan ekonomi, politik dan budaya (Soekanto, 1985: 30). Pendekatan hukum sosiologis ini berbeda dengan penegakan peraturan. Penegakan peraturan sasaran akhirnya adalah kepastian hukum, sedangkan penegakan hukum sasaran akhirnya adalah keadilan dan ketertiban masyarakat.Ketiga adalah pendekatan hukum kritis, yakni penegakan hukum yang diarahkan pada pencapaian tujuan dengan cara yang mudah, enak dan praktis bagi si petugas. Cara ini sering terlihat dalam bentuk penggunaan kekerasan yang “hantam kromo” atau asal memukul untuk segera mengendalikan massa tanpa memperhatikan hak asasi manusia. Polisi main tembak, main masuk kampus tanpa ijin dengan dalih menangkap perusuh. Inilah yang antara lain menjadi kritik, lantaran polisi hanya menekankan efisiensi , tetapi menimbulkan pelanggaran dan kerugian di pihak lain. Inilah yang tampak di UnasJika demikian halnya, maka penegakan hukum sosiologislah yang sebaiknya diterapkan dengan menggunakan konsep diskresi. Dengan diskresi, maka polisi dapat mempertimbangkan tindakan apa yang tepat menghadapi pengunjuk rasa, termasuk apakah akan melakukan tindakan persuasif maupun represif. Dengan pertimbangan hati nurani dan dengan kreatifitasnya sendiri, maka poilisi akan menemukan hukum yang cocok dengan masyarakatnya. Dalam menggunakan diskresi, polisi memang dapat mengesampingkan formalitas hukum yang ada, tetapi sesungguhnya masih dalam kerangka asas-asas hukum juga. “Jadi tidak melewati garis-garis batas kerangka asas hukum,” kata Faal (M. Faal, 1991: 40).Diskresi menyimpangDalam kasus Unas, sejauh yang dilaporkan Kapolri Jenderal Sutanto, polisi sebenarnya sudah sangat persuasif sejak sore hari. Tetapi menjelang subuh aksi mahasiswa telah mengganggu penduduk yang hendak shalat subuh, dan polisi diminta segera menghentikannya. Sayangnya polisi tidak melibatkan tokoh masyarakat untuk menghentikannya, sehingga polisi harus berhadapan dengan mahasiswa. Polisi yang sudah lelah itupun akhirnya menyerbu kampus menangkapi mahasiswa. Termasuk yang ditangkap adalah mereka yang kuliah malam tapi tidak bisa keluar kampus karena sudah dipagar betis polisi. Hasilnya adalah kurang lebih 150 mahasiswa ditangkap, di antaranya berdarah kepalanya terkena pentungan dan lemparan batu. Puluhan motor dan beberapa mobil rusak, beberapa fasilitas kampus juga rusak dengan total kerugian mencapai 600 juta rupiah. Entah karena kebetulan atau kesengajaan, polisi pun menemukan ganja dan botol minuman beralkohol yang ditemukan di dalam kampus. Ini pula yang menjadi alasan mengapa polisi menyerbu kampus. Benar yang dikatakan Menko Polhukam Widodo AS bahwa demi penegakan hukum, polisi berwenang masuk kampus. Tetapi dalam kondisi seperti apa? Kampus adalah wilayah privat, sama seperti instansi pemerintah yang tidak sertamerta dapat dimasuki polisi dengan alasan ada dugaan pelanggaran hukum di dalamnya. KPK saja harus ijin pimpinan DPR ketika akan menggeledah ruang kantor anggota DPR. Polisi akan menggeledah rumah penduduk yang di dalamnya ada dugaan pelaku narkoba, juga harus ijin pengadilan atau setidak-tidaknya sepengetahuan RT setempat. Ini aturan KUHAP. Dengan demikian kita sulit menyimpulkan kalau dalam kasus Unas polisi menggunakan diskresi berdasarkan asas kewajiban hukum, karena terbukti masih ada korban berdarah-darah, dan rusaknya fasilitas kampus ketika polisi menyerbu kampus Unas. Yang mungkin dapat dikatakan adalah telah terjadi penggunakan diskresi yang menyimpang dari kerangka hukum, yakni polisi telah melampaui batas wewenangnya (abuse of power). Jika demikian halnya, maka pertanggungjawaban hukum yang tepat untuk polisi adalah mengadili si pelaku sesuai dengan kadar kesalahannya dengan sanksi pidana, perdata maupun tindakan disiplin kepolisian. Sedangkan terhadap mahasiswa juga dapat diperlakukan sama: tindakan hukum yang sepantasnya. Namun polisi juga dapat saja menggunakan kewenangan diskresioner untuk membebaskan mahasiswa, jika itu dianggap lebih bermanfaat untuk menjamin stabilitas dan ketertiban masyarakat. [ 1 ]
Rabu, Juni 11, 2008
Diskresi Polisi dalam Unas Berdarah
Oleh Syaefurrahman Al-Banjary
Magister Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia
Penyerangan polisi ke kampus Universitas Nasional (Unas) pada subuh 24 Mei 2008 untuk menangkapi mahasiswa yang berunjuk rasa menentang kenaikan harga BBM sesungguhnya merupakan penyakit lama yang kambuh lagi karena gatal ingin membela penguasa. Padahal jika mau, potret gelap polisi di masa lalu dapat diperbaiki.
Kini memang sulit rasanya untuk tidak mengamini pernyataan Kontras bahwa brutalitas polisi dalam kasus ini mencerminkan watak rezim yang berkuasa. Padahal sejak awal reformasi 1998 polisi sedang berbenah menjadi polisi mandiri yang profesional dan bukan menjadi alat kekuasaan, melainkan alat keamanan negara penegak hukum, pelindung dan pelayan masyarakat (Pasal 5 UU Kepolisian Nomor 2 tahun 2002). Jadi, polisi harus mengayomi seluruh masyarakat dan bukan memihak penguasa yang sedang punya persoalan dengan kebijakan BBM.
Ini berbeda dengan polisi zaman Orde Baru yang menjadikan polisi sebagai bagian dari alat kekuasaan, sehingga polisi sering membela mati-matian kebijakan pemerintah dengan menangkapi siapapun yang menentang kebijakan pemerintah dengan tuduhan subversi.
Saat ini polisi memang berada pada posisi yang dilematis. Pertama, karena polisi adalah bagian dari masyarakat yang tentu saja ikut merasakan dampak kenaikan harga BBM. Kedua, polisi memiliki kewajiban mengamankan unjuk rasa agar tidak mengganggu orang lain, sehingga polisi harus mencegah agar unjuk rasa itu tidak anarkis. Ketiga, polisi adalah aparat penegak hukum yang harus tegas ketika melihat pelanggaran hukum, agar tetap berwibawa dan disegani.
Diskresi Kepolisian
Dalam penegakan hukum, polisi memiliki senjata yang ampuh untuk mengatasi dilema penegakan itu yakni dengan menerapakn konsep diskresi. Jika tepat penggunaannya, maka tujuan penegakan hukum dapat tercapai dan terhindar dari tindakan brutal yang justru menurunkan wibawa kepolisian. Mengapa demikian, karena sesungguhnya diskresi kepolisian adalah konsep otoritas polisi untuk melakukan tindakan sesuai dengan pertimbangan hati nurani petugas maupun institusi kepolisian itu sendiri. Dengan diskresi inilah polisi dapat mengesampingkan perkara dan tidak menindak pelanggar hukum asalkan tujuan penegakan hukum tercapai, yakni mewujudkan: kepastian hukum, keadilan dan ketertiban masyarakat. Termasuk diskresi adalah melakukan tindakan yang melanggar hukum dalam rangka mencapai tujuan penegakan hukum.
Syarat penggunaan diskresi adalah tetap menghormati hak asasi manusia, sesuai dengan asas kewajiban, tindakan itu patut dan masuk akal dan dalam keadaan memaksa. Diskresi juga dapat dilakukan sesuai dengan asas tujuan, artinya tindakan itu dilakukan untuk mencapai tujuan mencegah kerugian dan gangguan.
Dalam praktek di lapangan, memang sulit sekali ketiga tujuan penegakan hukum di atas tercapai karena penegakan hukum di masyarakat tidak dapat diterapkan secara hitam putih. Ada kalanya cuma satu yang dapat tercapai, misalnya kepastian hukum, atau bahkan hanya ketertiban atau keadilan saja.
Pendekatan hukum
Untuk melihat seperti apa sesungguhnya yang ingin dicapai oleh polisi ketika menyerbu kampus Unas, dapat dikemukakan tiga bentuk pendekatan penegakan hukum. Pertama adalah pendekatan hukum normative, yakni petugas hanya mencocokkan apa yang ada di buku (law in the books) dengan apa yang di lapangan (law in action). Hukum dilihat secara hitam-putih untuk mewujudkan kepastian hukum. Siapa yang bersalah akan ditindak tanpa melihat latar belakang mengapa kesalahan itu terjadi. Di sini hukum tercerabut dari akar budayanya.
Kedua adalah penegakan hukum fungsional yang memandang hukum sebagai alat rekayasan sosial (as tool for social engineering). Hukum adalah norma-norma yang hidup di masyarakat dan ditaati warganya (law in action). Dalam konteks inilah, maka pertimbangan yang dipentingkan adalah seluruh kepentingan sosial sejak dari kepentingan pribadi, keamanan, perlindungan terhadap moral, konservasi sumber daya, kepentingan ekonomi, politik dan budaya (Soekanto, 1985: 30). Pendekatan hukum sosiologis ini berbeda dengan penegakan peraturan. Penegakan peraturan sasaran akhirnya adalah kepastian hukum, sedangkan penegakan hukum sasaran akhirnya adalah keadilan dan ketertiban masyarakat.
Ketiga adalah pendekatan hukum kritis, yakni penegakan hukum yang diarahkan pada pencapaian tujuan dengan cara yang mudah, enak dan praktis bagi si petugas. Cara ini sering terlihat dalam bentuk penggunaan kekerasan yang “hantam kromo” atau asal memukul untuk segera mengendalikan massa tanpa memperhatikan hak asasi manusia. Polisi main tembak, main masuk kampus tanpa ijin dengan dalih menangkap perusuh. Inilah yang antara lain menjadi kritik, lantaran polisi hanya menekankan efisiensi , tetapi menimbulkan pelanggaran dan kerugian di pihak lain. Inilah yang tampak di Unas
Jika demikian halnya, maka penegakan hukum sosiologislah yang sebaiknya diterapkan dengan menggunakan konsep diskresi. Dengan diskresi, maka polisi dapat mempertimbangkan tindakan apa yang tepat menghadapi pengunjuk rasa, termasuk apakah akan melakukan tindakan persuasif maupun represif. Dengan pertimbangan hati nurani dan dengan kreatifitasnya sendiri, maka poilisi akan menemukan hukum yang cocok dengan masyarakatnya.
Dalam menggunakan diskresi, polisi memang dapat mengesampingkan formalitas hukum yang ada, tetapi sesungguhnya masih dalam kerangka asas-asas hukum juga. “Jadi tidak melewati garis-garis batas kerangka asas hukum,” kata Faal (M. Faal, 1991: 40).
Diskresi menyimpang
Dalam kasus Unas, sejauh yang dilaporkan Kapolri Jenderal Sutanto, polisi sebenarnya sudah sangat persuasif sejak sore hari. Tetapi menjelang subuh aksi mahasiswa telah mengganggu penduduk yang hendak shalat subuh, dan polisi diminta segera menghentikannya. Sayangnya polisi tidak melibatkan tokoh masyarakat untuk menghentikannya, sehingga polisi harus berhadapan dengan mahasiswa. Polisi yang sudah lelah itupun akhirnya menyerbu kampus menangkapi mahasiswai. Termasuk yang ditangkap adalah mereka yang kuliah malam tapi tidak bisa keluar kampus karena sudah dipagar betis polisi. Hasilnya adalah kurang lebih 150 mahasiswa ditangkap, di antaranya berdarah kepalanya terkena pentungan dan lemparan batu. Puluhan motor dan beberapa mobil rusak, beberapa fasilitas kampus juga rusak dengan total kerugian mencapai 600 juta rupiah. Entah karena kebetulan atau kesengajaan, polisi pun menemukan ganja dan botol minuman beralkohol yang ditemukan di dalam kampus. Ini pula yang menjadi alasan mengapa polisi menyerbu kampus.
Benar yang dikatakan Menko Polhukam Widodo AS bahwa demi penegakan hukum, polisi berwenang masuk kampus. Tetapi dalam kondisi seperti apa? Kampus adalah wilayah privat, sama seperti instansi pemerintah yang tidak serta merta dapat dimasuki polisi dengan alasan ada dugaan pelanggaran hukum di dalamnya. KPK saja harus ijin pimpinan DPR ketika akan menggeledah ruang kantor anggota DPR. Polisi akan menggeledah rumah penduduk yang di dalamnya ada dugaan pelaku narkoba, juga harus ijin pengadilan atau setidak-tidaknya sepengetahuan RT setempat. Ini aturan KUHAP.
Dengan demikian kita sulit menyimpulkan kalau dalam kasus Unas polisi menggunakan diskresi berdasarkan asas kewajiban hukum, karena terbukti masih ada korban berdarah-darah, dan rusaknya fasilitas kampus ketika polisi menyerbu kampus Unas.
Yang mungkin dapat dikatakan adalah telah terjadi penggunakan diskresi yang menyimpang dari kerangka hokum, yakni polisi telah melampaui batas wewenangnya (abuse of power). Jika demikian halnya, maka pertanggungjawaban hukum yang tepat untuk polisi adalah mengadili si pelaku sesuai dengan kadar kesalahannya dengan sanksi pidana, perdata maupun tindakan disiplin kepolisian. Sedangkan terhadap mahasiswa juga dapat diperlakukan sama: tindakan hukum yang sepantasnya. Namun polisi juga dapat saja menggunakan kewenangan diskresioner untuk membebaskan mahasiswa, jika itu dianggap lebih bermanfaat untuk menjamin stabilitas dan ketertiban masyarakat. ***
Magister Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia
Penyerangan polisi ke kampus Universitas Nasional (Unas) pada subuh 24 Mei 2008 untuk menangkapi mahasiswa yang berunjuk rasa menentang kenaikan harga BBM sesungguhnya merupakan penyakit lama yang kambuh lagi karena gatal ingin membela penguasa. Padahal jika mau, potret gelap polisi di masa lalu dapat diperbaiki.
Kini memang sulit rasanya untuk tidak mengamini pernyataan Kontras bahwa brutalitas polisi dalam kasus ini mencerminkan watak rezim yang berkuasa. Padahal sejak awal reformasi 1998 polisi sedang berbenah menjadi polisi mandiri yang profesional dan bukan menjadi alat kekuasaan, melainkan alat keamanan negara penegak hukum, pelindung dan pelayan masyarakat (Pasal 5 UU Kepolisian Nomor 2 tahun 2002). Jadi, polisi harus mengayomi seluruh masyarakat dan bukan memihak penguasa yang sedang punya persoalan dengan kebijakan BBM.
Ini berbeda dengan polisi zaman Orde Baru yang menjadikan polisi sebagai bagian dari alat kekuasaan, sehingga polisi sering membela mati-matian kebijakan pemerintah dengan menangkapi siapapun yang menentang kebijakan pemerintah dengan tuduhan subversi.
Saat ini polisi memang berada pada posisi yang dilematis. Pertama, karena polisi adalah bagian dari masyarakat yang tentu saja ikut merasakan dampak kenaikan harga BBM. Kedua, polisi memiliki kewajiban mengamankan unjuk rasa agar tidak mengganggu orang lain, sehingga polisi harus mencegah agar unjuk rasa itu tidak anarkis. Ketiga, polisi adalah aparat penegak hukum yang harus tegas ketika melihat pelanggaran hukum, agar tetap berwibawa dan disegani.
Diskresi Kepolisian
Dalam penegakan hukum, polisi memiliki senjata yang ampuh untuk mengatasi dilema penegakan itu yakni dengan menerapakn konsep diskresi. Jika tepat penggunaannya, maka tujuan penegakan hukum dapat tercapai dan terhindar dari tindakan brutal yang justru menurunkan wibawa kepolisian. Mengapa demikian, karena sesungguhnya diskresi kepolisian adalah konsep otoritas polisi untuk melakukan tindakan sesuai dengan pertimbangan hati nurani petugas maupun institusi kepolisian itu sendiri. Dengan diskresi inilah polisi dapat mengesampingkan perkara dan tidak menindak pelanggar hukum asalkan tujuan penegakan hukum tercapai, yakni mewujudkan: kepastian hukum, keadilan dan ketertiban masyarakat. Termasuk diskresi adalah melakukan tindakan yang melanggar hukum dalam rangka mencapai tujuan penegakan hukum.
Syarat penggunaan diskresi adalah tetap menghormati hak asasi manusia, sesuai dengan asas kewajiban, tindakan itu patut dan masuk akal dan dalam keadaan memaksa. Diskresi juga dapat dilakukan sesuai dengan asas tujuan, artinya tindakan itu dilakukan untuk mencapai tujuan mencegah kerugian dan gangguan.
Dalam praktek di lapangan, memang sulit sekali ketiga tujuan penegakan hukum di atas tercapai karena penegakan hukum di masyarakat tidak dapat diterapkan secara hitam putih. Ada kalanya cuma satu yang dapat tercapai, misalnya kepastian hukum, atau bahkan hanya ketertiban atau keadilan saja.
Pendekatan hukum
Untuk melihat seperti apa sesungguhnya yang ingin dicapai oleh polisi ketika menyerbu kampus Unas, dapat dikemukakan tiga bentuk pendekatan penegakan hukum. Pertama adalah pendekatan hukum normative, yakni petugas hanya mencocokkan apa yang ada di buku (law in the books) dengan apa yang di lapangan (law in action). Hukum dilihat secara hitam-putih untuk mewujudkan kepastian hukum. Siapa yang bersalah akan ditindak tanpa melihat latar belakang mengapa kesalahan itu terjadi. Di sini hukum tercerabut dari akar budayanya.
Kedua adalah penegakan hukum fungsional yang memandang hukum sebagai alat rekayasan sosial (as tool for social engineering). Hukum adalah norma-norma yang hidup di masyarakat dan ditaati warganya (law in action). Dalam konteks inilah, maka pertimbangan yang dipentingkan adalah seluruh kepentingan sosial sejak dari kepentingan pribadi, keamanan, perlindungan terhadap moral, konservasi sumber daya, kepentingan ekonomi, politik dan budaya (Soekanto, 1985: 30). Pendekatan hukum sosiologis ini berbeda dengan penegakan peraturan. Penegakan peraturan sasaran akhirnya adalah kepastian hukum, sedangkan penegakan hukum sasaran akhirnya adalah keadilan dan ketertiban masyarakat.
Ketiga adalah pendekatan hukum kritis, yakni penegakan hukum yang diarahkan pada pencapaian tujuan dengan cara yang mudah, enak dan praktis bagi si petugas. Cara ini sering terlihat dalam bentuk penggunaan kekerasan yang “hantam kromo” atau asal memukul untuk segera mengendalikan massa tanpa memperhatikan hak asasi manusia. Polisi main tembak, main masuk kampus tanpa ijin dengan dalih menangkap perusuh. Inilah yang antara lain menjadi kritik, lantaran polisi hanya menekankan efisiensi , tetapi menimbulkan pelanggaran dan kerugian di pihak lain. Inilah yang tampak di Unas
Jika demikian halnya, maka penegakan hukum sosiologislah yang sebaiknya diterapkan dengan menggunakan konsep diskresi. Dengan diskresi, maka polisi dapat mempertimbangkan tindakan apa yang tepat menghadapi pengunjuk rasa, termasuk apakah akan melakukan tindakan persuasif maupun represif. Dengan pertimbangan hati nurani dan dengan kreatifitasnya sendiri, maka poilisi akan menemukan hukum yang cocok dengan masyarakatnya.
Dalam menggunakan diskresi, polisi memang dapat mengesampingkan formalitas hukum yang ada, tetapi sesungguhnya masih dalam kerangka asas-asas hukum juga. “Jadi tidak melewati garis-garis batas kerangka asas hukum,” kata Faal (M. Faal, 1991: 40).
Diskresi menyimpang
Dalam kasus Unas, sejauh yang dilaporkan Kapolri Jenderal Sutanto, polisi sebenarnya sudah sangat persuasif sejak sore hari. Tetapi menjelang subuh aksi mahasiswa telah mengganggu penduduk yang hendak shalat subuh, dan polisi diminta segera menghentikannya. Sayangnya polisi tidak melibatkan tokoh masyarakat untuk menghentikannya, sehingga polisi harus berhadapan dengan mahasiswa. Polisi yang sudah lelah itupun akhirnya menyerbu kampus menangkapi mahasiswai. Termasuk yang ditangkap adalah mereka yang kuliah malam tapi tidak bisa keluar kampus karena sudah dipagar betis polisi. Hasilnya adalah kurang lebih 150 mahasiswa ditangkap, di antaranya berdarah kepalanya terkena pentungan dan lemparan batu. Puluhan motor dan beberapa mobil rusak, beberapa fasilitas kampus juga rusak dengan total kerugian mencapai 600 juta rupiah. Entah karena kebetulan atau kesengajaan, polisi pun menemukan ganja dan botol minuman beralkohol yang ditemukan di dalam kampus. Ini pula yang menjadi alasan mengapa polisi menyerbu kampus.
Benar yang dikatakan Menko Polhukam Widodo AS bahwa demi penegakan hukum, polisi berwenang masuk kampus. Tetapi dalam kondisi seperti apa? Kampus adalah wilayah privat, sama seperti instansi pemerintah yang tidak serta merta dapat dimasuki polisi dengan alasan ada dugaan pelanggaran hukum di dalamnya. KPK saja harus ijin pimpinan DPR ketika akan menggeledah ruang kantor anggota DPR. Polisi akan menggeledah rumah penduduk yang di dalamnya ada dugaan pelaku narkoba, juga harus ijin pengadilan atau setidak-tidaknya sepengetahuan RT setempat. Ini aturan KUHAP.
Dengan demikian kita sulit menyimpulkan kalau dalam kasus Unas polisi menggunakan diskresi berdasarkan asas kewajiban hukum, karena terbukti masih ada korban berdarah-darah, dan rusaknya fasilitas kampus ketika polisi menyerbu kampus Unas.
Yang mungkin dapat dikatakan adalah telah terjadi penggunakan diskresi yang menyimpang dari kerangka hokum, yakni polisi telah melampaui batas wewenangnya (abuse of power). Jika demikian halnya, maka pertanggungjawaban hukum yang tepat untuk polisi adalah mengadili si pelaku sesuai dengan kadar kesalahannya dengan sanksi pidana, perdata maupun tindakan disiplin kepolisian. Sedangkan terhadap mahasiswa juga dapat diperlakukan sama: tindakan hukum yang sepantasnya. Namun polisi juga dapat saja menggunakan kewenangan diskresioner untuk membebaskan mahasiswa, jika itu dianggap lebih bermanfaat untuk menjamin stabilitas dan ketertiban masyarakat. ***
Penyesatan Media dalam Kasus Monas
Oleh Syaefurrahman Al-Banjary
Mantan Sekjen Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI)
Peringatan lahirnya Pancasila tanggal 1 Juni 2008 di Monas yang mestinya mengukuhkan persatuan dan menghormati pluralisme ternyata telah menjadi petaka karena adanya penyerangan dari kelompok pengunjuk rasa ke kelompok lain. Jangankan mengumpulkan kekuatan untuk melawan kezaliman dan penguasaan asing atas aset-aset negara yang menguasai hajat hidup orang banyak, peringatan itu malah menjadi kontra produktif. Isu nasionalisme yang diusung PDI Perjuangan ketika mengerahkan 100 ribu lebih kadernya di Monas dan Bundaran Hotel Indonesia pun akhirnya tenggelam. Nilai-nilai Pancasila tak lagi berbekas pada penghormatan pluralisme dan persatuan nasional.
Kalau bisa menangis, mungkin arwah Bung Karno akan menangis melihat kejadian ini. Apalagi kasus ini telah menjadi konflik terbuka akibat penyesatan informasi oleh media. Media telah berperan besar dalam menyulut konflik karena pemberitaannya lebih mengeksploitasi kekerasan sehingga menimbulkan kekerasan baru. Media telah mengadu domba dan menjadi provokator. Inikah pemberitaan yang dibanggakan demi rating atau memperbanyak penonton agar iklan lebih banyak masuk? Tampaknya, awak media memang masih perlu komitmen untuk tidak mengobarkan perang dan mengumbar kekerasan.
Penyesatan opini
Front Pembela Islam (FPI) ramai-ramai dikutuk karena sebagai pihak yang melakukan kekerasan atas nama agama terhadap kelompok Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB). Sebaliknya, FPI menyatakan penyerangan itu dilakukan karena ada pemicunya yakni provokasi dari kelompok pendukung Ahmadiyah, karena itu FPI akan melawan pihak-pihak yang akan membubarkan FPI.
Hari kedua pasca kejadian Monas, pemberitaan sudah bergeser dari persoalan penyerangan FPI menjadi konflik antara Gus Dur dan Habib Rizieq Shihab (Ketua Umum FPI). Gus Dur memang menjadi pendukung Ahmadiyah dan meminta FPI dibubarkan karena melakukan kekerasan atas nama agama. Kedua tokoh ini secara terbuka ditayangkan televisi dan saling menjatuhkan, sehingga pengikut kedua tokoh itu pun saling serang. Di Cirebon dan Jember misalnya, massa Banser milik NU menyerang markas FPI dan pimpinan FPI setempat terpaksa membubarkan organisasinya itu karena tekanan massa. Tampak jelas bahwa media telah menyebarkan kebencian dan telah menyebarkan informasi yang menyesatkan.
Munarman, Panglima Komando Lasykar Islam juga pantas marah ketika fotonya yang sedang mencekik lelaki pemegang sorban dipasang di halaman muka sebuah koran ibukota dan dikatakan sedang melakukan kekerasan. Padahal lelaki itu adalah anggota mereka yang sedang dicegah agar tidak anarkis. Munarman juga meluruskan bahwa bukan FPI yang terlibat penyerangan terhadap AKKBB di Monas melainkan Komando Lasykar Islam (di dalamnya terdapat FPI).
Pemberitaan ini jelas menunjukkan bahwa kawan-kawan wartawan kurang teliti. Televisi juga lebih banyak dan berulang-ulang memutar aksi penyerangan, tetapi tidak menampilkan gambar-gambar provokasi pihak lain yang menjadi penyebab penyerangan. Opini media akhirnya bergeser, dari aksi penyerangan terhadap kelompok pendukung Ahmadiyah yang tergabung dalam AKKBB, kepada isu pembubaran FPI semata.
Akar masalah
Saya kira akar masalahnya adalah tidak adanya sikap tegas dari pemerintah dalam kasus Ahmadiyah dan adanya pemaksaan kehendak (kekerasan) di pihak lain. FPI memang sejak lama menentang keberadaan Ahmadiyah karena aqidahnya sesat dan merupakan penistaan terhadap ajaran agama (Islam). FPI tidak sendirian. Ada lebih dari 20 organisasi kemasyarakatan yang tergabung dalam Forum Ummat Islam (FUI) dalam memperjuangkan agar pemerintah membubarkan Ahmadiyah. Mereka mendesak agar SKB (Surat Keputusan Bersama) yang dijanjikan oleh pemerintah segera dikeluarkan, agar tidak terjadi penistaan agama oleh Ahmadiyah. Tapi rencana ini tertunda karena ada usulan dari Adnan Buyung Nasution (anggota Wantimpres) dengan alasan bertentangan dengan kebebasan berkeyakinan yang dijamin Pancasila.
Sebelumnya Menteri Agama memang pernah memberikan solusi agar pengikut Ahmadiyah tidak mengklaim sebagai agama Islam, karena aqidahnya sudah menyimpang dari Islam, dan MUI pun sudah lama menyatakannya sebagai ajaran sesat. Tetapi usulan Menteri Agama ini ditolak oleh Ahmadiyah. Kalau saja pengikut Ahmadiyah tidak mengklaim sebagai muslim, tentulah kelompok FUI tidak ada yang tersinggung dan Ahmadiyah tidak akan diusik. Kini persoalannya telah menjadi bubur, akibat ketidaktegasan sikap pemerintah menghadapi keberadaan Ahmadiyah.
Ahmadiyah bahkan mendapat dukungan dari individu-individu yang menamakan Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan yang dikomandoi Adnan Buyung Nasution. Kelompok ini beberapa kali memasang iklan di media massa, dan di antaranya menuduh ada pihak lain yang hendak mengganti Pancasila dengan menuntut pembubaran Ahmadiyah (Pihak FPI menilai tuduhan ini menyesatkan).
Tanggal 26 Mei 2008, iklan itu terpampang besar-besaran di berbagai media massa nasional, yang secara tegas menyebutkan bahwa aksi tanggal 1 Juni 2008 dilakukan untuk memberikan dukungan terhadap Ahmadiyah. Itulah sebabnya, provokasi melalui iklan ini pula yang turut mendorong aksi kekerasan di Monas. Padahal sebelumnya, -- menurut keterangan Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Polisi Abubakar Nataprawira-- polisi melarang kelompok AKKBB menggelar acara di Monas karena tidak ada izin. Kenyataannya kelompok ini menggelar aksi di Monas sehingga terjadilah aksi penyerangan itu. Penyerangan sulit dilerai, karena polisi memang tidak mengawalnya. AKKBB mengklaim ada 70 orang yang terkena pukulan, di antaranya KH Imanulhaq (Pemimpin Pondok Pesantren Al-Mizan Cirebon) dan Syafii Anwar (Direktur International Center for Islam and Pluralism) serta Ahmad Suaedy (Direktur Wahid Institut).
Bisa jadi, kasus Monas ini memang diciptakan oleh pihak ketiga, untuk memukul dua hal sekaligus: mengalihkan isu BBM dan Ahmadiyah. Bahwa FPI kena batunya, adalah konsekuensi dari aksi kekerasannya yang tidak diterima oleh publik.
Jurnalisme damai?
Para pelaku media sejak awal seharusnya menurunkan tensi pemberitaan jika ingin persoalan kebangsaan ini selesai. Jika tidak, maka berdosalah kita karena ikut memprovokasi masyarakat untuk melakukan kekerasan. Di sinilah letaknya profesionalisme wartawan itu diuji. Di mana hati nurani kita, jika kita bangga memberitakan konflik SARA seperti memberitakan pertandingan tinju antara Mike Tyson melawan Holyfield.
Dalam pertandingan tinju, kita bisa mafhum kalau media memberitakan Tyson bersumbar akan memukul jatuh Holifield, dan sebaliknya Holyfield akan memukul KO dalam ronde pertama. Tapi setelah pertandingan usai, salah satu ada yang kalah, mereka tetap sportif dan berangkulan. Apakah sama pertandingan tinju dengan SARA? Apakah bangsa ini sudah sedemikian rusak sehingga anak bangsa diberi tontonan bentrokan fisik antara sesama anak bangsa dan perang kata antar pemuka agama? Alangkah tragisnya jika keadaan ini terus terjadi.
Saat ini, masih ada waktu untuk memperbaiki pemberitaan. Pelaksanaan jurnalisme damai mestinya menjadi tuntutan profesionalisme para wartawan. Kita dudukkan persoalan sebagaimana adanya, dan berikanlah perspektif yang menyejukkan. Tidak semua fakta harus ditayangkan, kalau sekiranya akan mengakibatkan persoalan yang destruktif. Di sinilah hati nurani kita berbicara untuk menimbang-nimbang mana yang perlu dan mana yang tidak perlu diberitakan, tanpa kehilangan independensi, aktualitas, objektivitas dan keberimbangan. Konsep berimbang atau cover both side juga bukan seperti yang kita lihat di televisi: dua tokoh berseteru dilepas semua pernyataannya baik yang menghujat maupun yang menantang perang! Untuk apa kita siarkan perseteruan itu kalau akan mendorong semua lasykar bersiaga mengangkat senjata?
Intinya, kita memerlukan media yang mampu memberikan kesejukan dan memberi jalan penyelesaian konflik atau resolusi konflik. Kalau media terus menggosok-gosok kedua belah pihak, tentu saja tidak akan terjadi titik temu. Berikanlah ruang dan perspektif dari berbagai sisi serta konteks persoalan yang sesungguhnya agar menemukan solusi. Para pendukung kedua pihak akan senang jika pemberitaan media mampu mengantarkan kedua pihak pada meja perundingan bukan sebaliknya, menjauhkan keduanya.
Pihak yang bertikai diharapkan mampu memahami sudut pandang pihak lain, mengatasi prasangka dan kecurigaan, serta mengevaluasi ulang sikap dasar yang terbentuk semula. Media diharapkan dapat memetakan konflik, mengidentifikasi pihak-pihak yang terlibat dan menganalisis tujuan-tujuan mereka, dan membicarakan informasi yang mereka sediakan dalam agenda khusus mereka. Langkah ini juga dapat mengatasi penyesatan opini yang merugikan salah satu pihak.
Jurnalisme damai memang hanya tawaran. Namun perlu diingat bahwa pers bukanlah sekadar mirror of reality, tetapi juga molder of reality (pembentuk rupa) masyarakat. Nah jika keberadaan jurnalisme adalah dalam rangka membentuk rupa masyarakat, maka jurnalisme damai adalah jalan keluarnya. (*)
Mantan Sekjen Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI)
Peringatan lahirnya Pancasila tanggal 1 Juni 2008 di Monas yang mestinya mengukuhkan persatuan dan menghormati pluralisme ternyata telah menjadi petaka karena adanya penyerangan dari kelompok pengunjuk rasa ke kelompok lain. Jangankan mengumpulkan kekuatan untuk melawan kezaliman dan penguasaan asing atas aset-aset negara yang menguasai hajat hidup orang banyak, peringatan itu malah menjadi kontra produktif. Isu nasionalisme yang diusung PDI Perjuangan ketika mengerahkan 100 ribu lebih kadernya di Monas dan Bundaran Hotel Indonesia pun akhirnya tenggelam. Nilai-nilai Pancasila tak lagi berbekas pada penghormatan pluralisme dan persatuan nasional.
Kalau bisa menangis, mungkin arwah Bung Karno akan menangis melihat kejadian ini. Apalagi kasus ini telah menjadi konflik terbuka akibat penyesatan informasi oleh media. Media telah berperan besar dalam menyulut konflik karena pemberitaannya lebih mengeksploitasi kekerasan sehingga menimbulkan kekerasan baru. Media telah mengadu domba dan menjadi provokator. Inikah pemberitaan yang dibanggakan demi rating atau memperbanyak penonton agar iklan lebih banyak masuk? Tampaknya, awak media memang masih perlu komitmen untuk tidak mengobarkan perang dan mengumbar kekerasan.
Penyesatan opini
Front Pembela Islam (FPI) ramai-ramai dikutuk karena sebagai pihak yang melakukan kekerasan atas nama agama terhadap kelompok Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB). Sebaliknya, FPI menyatakan penyerangan itu dilakukan karena ada pemicunya yakni provokasi dari kelompok pendukung Ahmadiyah, karena itu FPI akan melawan pihak-pihak yang akan membubarkan FPI.
Hari kedua pasca kejadian Monas, pemberitaan sudah bergeser dari persoalan penyerangan FPI menjadi konflik antara Gus Dur dan Habib Rizieq Shihab (Ketua Umum FPI). Gus Dur memang menjadi pendukung Ahmadiyah dan meminta FPI dibubarkan karena melakukan kekerasan atas nama agama. Kedua tokoh ini secara terbuka ditayangkan televisi dan saling menjatuhkan, sehingga pengikut kedua tokoh itu pun saling serang. Di Cirebon dan Jember misalnya, massa Banser milik NU menyerang markas FPI dan pimpinan FPI setempat terpaksa membubarkan organisasinya itu karena tekanan massa. Tampak jelas bahwa media telah menyebarkan kebencian dan telah menyebarkan informasi yang menyesatkan.
Munarman, Panglima Komando Lasykar Islam juga pantas marah ketika fotonya yang sedang mencekik lelaki pemegang sorban dipasang di halaman muka sebuah koran ibukota dan dikatakan sedang melakukan kekerasan. Padahal lelaki itu adalah anggota mereka yang sedang dicegah agar tidak anarkis. Munarman juga meluruskan bahwa bukan FPI yang terlibat penyerangan terhadap AKKBB di Monas melainkan Komando Lasykar Islam (di dalamnya terdapat FPI).
Pemberitaan ini jelas menunjukkan bahwa kawan-kawan wartawan kurang teliti. Televisi juga lebih banyak dan berulang-ulang memutar aksi penyerangan, tetapi tidak menampilkan gambar-gambar provokasi pihak lain yang menjadi penyebab penyerangan. Opini media akhirnya bergeser, dari aksi penyerangan terhadap kelompok pendukung Ahmadiyah yang tergabung dalam AKKBB, kepada isu pembubaran FPI semata.
Akar masalah
Saya kira akar masalahnya adalah tidak adanya sikap tegas dari pemerintah dalam kasus Ahmadiyah dan adanya pemaksaan kehendak (kekerasan) di pihak lain. FPI memang sejak lama menentang keberadaan Ahmadiyah karena aqidahnya sesat dan merupakan penistaan terhadap ajaran agama (Islam). FPI tidak sendirian. Ada lebih dari 20 organisasi kemasyarakatan yang tergabung dalam Forum Ummat Islam (FUI) dalam memperjuangkan agar pemerintah membubarkan Ahmadiyah. Mereka mendesak agar SKB (Surat Keputusan Bersama) yang dijanjikan oleh pemerintah segera dikeluarkan, agar tidak terjadi penistaan agama oleh Ahmadiyah. Tapi rencana ini tertunda karena ada usulan dari Adnan Buyung Nasution (anggota Wantimpres) dengan alasan bertentangan dengan kebebasan berkeyakinan yang dijamin Pancasila.
Sebelumnya Menteri Agama memang pernah memberikan solusi agar pengikut Ahmadiyah tidak mengklaim sebagai agama Islam, karena aqidahnya sudah menyimpang dari Islam, dan MUI pun sudah lama menyatakannya sebagai ajaran sesat. Tetapi usulan Menteri Agama ini ditolak oleh Ahmadiyah. Kalau saja pengikut Ahmadiyah tidak mengklaim sebagai muslim, tentulah kelompok FUI tidak ada yang tersinggung dan Ahmadiyah tidak akan diusik. Kini persoalannya telah menjadi bubur, akibat ketidaktegasan sikap pemerintah menghadapi keberadaan Ahmadiyah.
Ahmadiyah bahkan mendapat dukungan dari individu-individu yang menamakan Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan yang dikomandoi Adnan Buyung Nasution. Kelompok ini beberapa kali memasang iklan di media massa, dan di antaranya menuduh ada pihak lain yang hendak mengganti Pancasila dengan menuntut pembubaran Ahmadiyah (Pihak FPI menilai tuduhan ini menyesatkan).
Tanggal 26 Mei 2008, iklan itu terpampang besar-besaran di berbagai media massa nasional, yang secara tegas menyebutkan bahwa aksi tanggal 1 Juni 2008 dilakukan untuk memberikan dukungan terhadap Ahmadiyah. Itulah sebabnya, provokasi melalui iklan ini pula yang turut mendorong aksi kekerasan di Monas. Padahal sebelumnya, -- menurut keterangan Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Polisi Abubakar Nataprawira-- polisi melarang kelompok AKKBB menggelar acara di Monas karena tidak ada izin. Kenyataannya kelompok ini menggelar aksi di Monas sehingga terjadilah aksi penyerangan itu. Penyerangan sulit dilerai, karena polisi memang tidak mengawalnya. AKKBB mengklaim ada 70 orang yang terkena pukulan, di antaranya KH Imanulhaq (Pemimpin Pondok Pesantren Al-Mizan Cirebon) dan Syafii Anwar (Direktur International Center for Islam and Pluralism) serta Ahmad Suaedy (Direktur Wahid Institut).
Bisa jadi, kasus Monas ini memang diciptakan oleh pihak ketiga, untuk memukul dua hal sekaligus: mengalihkan isu BBM dan Ahmadiyah. Bahwa FPI kena batunya, adalah konsekuensi dari aksi kekerasannya yang tidak diterima oleh publik.
Jurnalisme damai?
Para pelaku media sejak awal seharusnya menurunkan tensi pemberitaan jika ingin persoalan kebangsaan ini selesai. Jika tidak, maka berdosalah kita karena ikut memprovokasi masyarakat untuk melakukan kekerasan. Di sinilah letaknya profesionalisme wartawan itu diuji. Di mana hati nurani kita, jika kita bangga memberitakan konflik SARA seperti memberitakan pertandingan tinju antara Mike Tyson melawan Holyfield.
Dalam pertandingan tinju, kita bisa mafhum kalau media memberitakan Tyson bersumbar akan memukul jatuh Holifield, dan sebaliknya Holyfield akan memukul KO dalam ronde pertama. Tapi setelah pertandingan usai, salah satu ada yang kalah, mereka tetap sportif dan berangkulan. Apakah sama pertandingan tinju dengan SARA? Apakah bangsa ini sudah sedemikian rusak sehingga anak bangsa diberi tontonan bentrokan fisik antara sesama anak bangsa dan perang kata antar pemuka agama? Alangkah tragisnya jika keadaan ini terus terjadi.
Saat ini, masih ada waktu untuk memperbaiki pemberitaan. Pelaksanaan jurnalisme damai mestinya menjadi tuntutan profesionalisme para wartawan. Kita dudukkan persoalan sebagaimana adanya, dan berikanlah perspektif yang menyejukkan. Tidak semua fakta harus ditayangkan, kalau sekiranya akan mengakibatkan persoalan yang destruktif. Di sinilah hati nurani kita berbicara untuk menimbang-nimbang mana yang perlu dan mana yang tidak perlu diberitakan, tanpa kehilangan independensi, aktualitas, objektivitas dan keberimbangan. Konsep berimbang atau cover both side juga bukan seperti yang kita lihat di televisi: dua tokoh berseteru dilepas semua pernyataannya baik yang menghujat maupun yang menantang perang! Untuk apa kita siarkan perseteruan itu kalau akan mendorong semua lasykar bersiaga mengangkat senjata?
Intinya, kita memerlukan media yang mampu memberikan kesejukan dan memberi jalan penyelesaian konflik atau resolusi konflik. Kalau media terus menggosok-gosok kedua belah pihak, tentu saja tidak akan terjadi titik temu. Berikanlah ruang dan perspektif dari berbagai sisi serta konteks persoalan yang sesungguhnya agar menemukan solusi. Para pendukung kedua pihak akan senang jika pemberitaan media mampu mengantarkan kedua pihak pada meja perundingan bukan sebaliknya, menjauhkan keduanya.
Pihak yang bertikai diharapkan mampu memahami sudut pandang pihak lain, mengatasi prasangka dan kecurigaan, serta mengevaluasi ulang sikap dasar yang terbentuk semula. Media diharapkan dapat memetakan konflik, mengidentifikasi pihak-pihak yang terlibat dan menganalisis tujuan-tujuan mereka, dan membicarakan informasi yang mereka sediakan dalam agenda khusus mereka. Langkah ini juga dapat mengatasi penyesatan opini yang merugikan salah satu pihak.
Jurnalisme damai memang hanya tawaran. Namun perlu diingat bahwa pers bukanlah sekadar mirror of reality, tetapi juga molder of reality (pembentuk rupa) masyarakat. Nah jika keberadaan jurnalisme adalah dalam rangka membentuk rupa masyarakat, maka jurnalisme damai adalah jalan keluarnya. (*)
Label: Artikel, foto, video
Jurnalisme Damai
Jurnalisme Damai dalam Kasus Monas
Oleh Syaefurrahman Al-Banjary
Mantan Sekjen Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI)
Peringatan lahirnya Pancasila tanggal 1 Juni 2008 di Monas yang mestinya mengukuhkan persatuan dan menghormati pluralisme ternyata telah menjadi petaka karena adanya penyerangan dari kelompok pengunjuk rasa ke kelompok lain. Jangankan mengumpulkan kekuatan untuk melawan kezaliman dan penguasaan asing atas aset-aset negara yang menguasai hajat hidup orang banyak, peringatan itu malah menjadi kontra produktif. Isu nasionalisme yang diusung PDI Perjuangan ketika mengerahkan 100 ribu lebih kadernya di Monas dan Bundaran Hotel Indonesia pun akhirnya tenggelam. Nilai-nilai Pancasila tak lagi berbekas pada penghormatan pluralisme dan persatuan nasional.
Kalau bisa menangis, mungkin arwah Bung Karno akan menangis melihat kejadian ini. Apalagi kasus ini telah menjadi konflik terbuka akibat penyesatan informasi oleh media. Media telah berperan besar dalam menyulut konflik karena pemberitaannya lebih mengeksploitasi kekerasan sehingga menimbulkan kekerasan baru. Media telah mengadu domba dan menjadi provokator. Inikah pemberitaan yang dibanggakan demi rating atau memperbanyak penonton agar iklan lebih banyak masuk? Tampaknya, awak media memang masih perlu komitmen untuk tidak mengobarkan perang dan mengumbar kekerasan.
Penyesatan opini
Front Pembela Islam (FPI) ramai-ramai dikutuk karena sebagai pihak yang melakukan kekerasan atas nama agama terhadap kelompok Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB). Sebaliknya, FPI menyatakan penyerangan itu dilakukan karena ada pemicunya yakni provokasi dari kelompok pendukung Ahmadiyah, karena itu FPI akan melawan pihak-pihak yang akan membubarkan FPI.
Hari kedua pasca kejadian Monas, pemberitaan sudah bergeser dari persoalan penyerangan FPI menjadi konflik antara Gus Dur dan Habib Rizieq Shihab (Ketua Umum FPI). Gus Dur memang menjadi pendukung Ahmadiyah dan meminta FPI dibubarkan karena melakukan kekerasan atas nama agama. Kedua tokoh ini secara terbuka ditayangkan televisi dan saling menjatuhkan, sehingga pengikut kedua tokoh itu pun saling serang. Di Cirebon dan Jember misalnya, massa Banser milik NU menyerang markas FPI dan pimpinan FPI setempat terpaksa membubarkan organisasinya itu karena tekanan massa. Tampak jelas bahwa media telah menyebarkan kebencian dan telah menyebarkan informasi yang menyesatkan.
Munarman, Panglima Komando Lasykar Islam juga pantas marah ketika fotonya yang sedang mencekik lelaki pemegang sorban dipasang di halaman muka sebuah koran ibukota dan dikatakan sedang melakukan kekerasan. Padahal lelaki itu adalah anggota mereka yang sedang dicegah agar tidak anarkis. Munarman juga meluruskan bahwa bukan FPI yang terlibat penyerangan terhadap AKKBB di Monas melainkan Komando Lasykar Islam (di dalamnya terdapat FPI).
Pemberitaan ini jelas menunjukkan bahwa kawan-kawan wartawan kurang teliti. Televisi juga lebih banyak dan berulang-ulang memutar aksi penyerangan, tetapi tidak menampilkan gambar-gambar provokasi pihak lain yang menjadi penyebab penyerangan. Opini media akhirnya bergeser, dari aksi penyerangan terhadap kelompok pendukung Ahmadiyah yang tergabung dalam AKKBB, kepada isu pembubaran FPI semata.
Akar masalah
Saya kira akar masalahnya adalah tidak adanya sikap tegas dari pemerintah dalam kasus Ahmadiyah dan adanya pemaksaan kehendak (kekerasan) di pihak lain. FPI memang sejak lama menentang keberadaan Ahmadiyah karena aqidahnya sesat dan merupakan penistaan terhadap ajaran agama (Islam). FPI tidak sendirian. Ada lebih dari 20 organisasi kemasyarakatan yang tergabung dalam Forum Ummat Islam (FUI) dalam memperjuangkan agar pemerintah membubarkan Ahmadiyah. Mereka mendesak agar SKB (Surat Keputusan Bersama) yang dijanjikan oleh pemerintah segera dikeluarkan, agar tidak terjadi penistaan agama oleh Ahmadiyah. Tapi rencana ini tertunda karena ada usulan dari Adnan Buyung Nasution (anggota Wantimpres) dengan alasan bertentangan dengan kebebasan berkeyakinan yang dijamin Pancasila.
Sebelumnya Menteri Agama memang pernah memberikan solusi agar pengikut Ahmadiyah tidak mengklaim sebagai agama Islam, karena aqidahnya sudah menyimpang dari Islam, dan MUI pun sudah lama menyatakannya sebagai ajaran sesat. Tetapi usulan Menteri Agama ini ditolak oleh Ahmadiyah. Kalau saja pengikut Ahmadiyah tidak mengklaim sebagai muslim, tentulah kelompok FUI tidak ada yang tersinggung dan Ahmadiyah tidak akan diusik. Kini persoalannya telah menjadi bubur, akibat ketidaktegasan sikap pemerintah menghadapi keberadaan Ahmadiyah.
Ahmadiyah bahkan mendapat dukungan dari individu-individu yang menamakan Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan yang dikomandoi Adnan Buyung Nasution. Kelompok ini beberapa kali memasang iklan di media massa, dan di antaranya menuduh ada pihak lain yang hendak mengganti Pancasila dengan menuntut pembubaran Ahmadiyah (Pihak FPI menilai tuduhan ini menyesatkan).
Tanggal 26 Mei 2008, iklan itu terpampang besar-besaran di berbagai media massa nasional, yang secara tegas menyebutkan bahwa aksi tanggal 1 Juni 2008 dilakukan untuk memberikan dukungan terhadap Ahmadiyah. Itulah sebabnya, provokasi melalui iklan ini pula yang turut mendorong aksi kekerasan di Monas. Padahal sebelumnya, -- menurut keterangan Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Polisi Abubakar Nataprawira-- polisi melarang kelompok AKKBB menggelar acara di Monas karena tidak ada izin. Kenyataannya kelompok ini menggelar aksi di Monas sehingga terjadilah aksi penyerangan itu. Penyerangan sulit dilerai, karena polisi memang tidak mengawalnya. AKKBB mengklaim ada 70 orang yang terkena pukulan, di antaranya KH Imanulhaq (Pemimpin Pondok Pesantren Al-Mizan Cirebon) dan Syafii Anwar (Direktur International Center for Islam and Pluralism) serta Ahmad Suaedy (Direktur Wahid Institut).
Bisa jadi, kasus Monas ini memang diciptakan oleh pihak ketiga, untuk memukul dua hal sekaligus: mengalihkan isu BBM dan Ahmadiyah. Bahwa FPI kena batunya, adalah konsekuensi dari aksi kekerasannya yang tidak diterima oleh publik.
Jurnalisme damai?
Para pelaku media sejak awal seharusnya menurunkan tensi pemberitaan jika ingin persoalan kebangsaan ini selesai. Jika tidak, maka berdosalah kita karena ikut memprovokasi masyarakat untuk melakukan kekerasan. Di sinilah letaknya profesionalisme wartawan itu diuji. Di mana hati nurani kita, jika kita bangga memberitakan konflik SARA seperti memberitakan pertandingan tinju antara Mike Tyson melawan Holyfield.
Dalam pertandingan tinju, kita bisa mafhum kalau media memberitakan Tyson bersumbar akan memukul jatuh Holifield, dan sebaliknya Holyfield akan memukul KO dalam ronde pertama. Tapi setelah pertandingan usai, salah satu ada yang kalah, mereka tetap sportif dan berangkulan. Apakah sama pertandingan tinju dengan SARA? Apakah bangsa ini sudah sedemikian rusak sehingga anak bangsa diberi tontonan bentrokan fisik antara sesama anak bangsa dan perang kata antar pemuka agama? Alangkah tragisnya jika keadaan ini terus terjadi.
Saat ini, masih ada waktu untuk memperbaiki pemberitaan. Pelaksanaan jurnalisme damai mestinya menjadi tuntutan profesionalisme para wartawan. Kita dudukkan persoalan sebagaimana adanya, dan berikanlah perspektif yang menyejukkan. Tidak semua fakta harus ditayangkan, kalau sekiranya akan mengakibatkan persoalan yang destruktif. Di sinilah hati nurani kita berbicara untuk menimbang-nimbang mana yang perlu dan mana yang tidak perlu diberitakan, tanpa kehilangan independensi, aktualitas, objektivitas dan keberimbangan. Konsep berimbang atau cover both side juga bukan seperti yang kita lihat di televisi: dua tokoh berseteru dilepas semua pernyataannya baik yang menghujat maupun yang menantang perang! Untuk apa kita siarkan perseteruan itu kalau akan mendorong semua lasykar bersiaga mengangkat senjata?
Intinya, kita memerlukan media yang mampu memberikan kesejukan dan memberi jalan penyelesaian konflik atau resolusi konflik. Kalau media terus menggosok-gosok kedua belah pihak, tentu saja tidak akan terjadi titik temu. Berikanlah ruang dan perspektif dari berbagai sisi serta konteks persoalan yang sesungguhnya agar menemukan solusi. Para pendukung kedua pihak akan senang jika pemberitaan media mampu mengantarkan kedua pihak pada meja perundingan bukan sebaliknya, menjauhkan keduanya.
Pihak yang bertikai diharapkan mampu memahami sudut pandang pihak lain, mengatasi prasangka dan kecurigaan, serta mengevaluasi ulang sikap dasar yang terbentuk semula. Media diharapkan dapat memetakan konflik, mengidentifikasi pihak-pihak yang terlibat dan menganalisis tujuan-tujuan mereka, dan membicarakan informasi yang mereka sediakan dalam agenda khusus mereka. Langkah ini juga dapat mengatasi penyesatan opini yang merugikan salah satu pihak.
Jurnalisme damai memang hanya tawaran. Namun perlu diingat bahwa pers bukanlah sekadar mirror of reality, tetapi juga molder of reality (pembentuk rupa) masyarakat. Nah jika keberadaan jurnalisme adalah dalam rangka membentuk rupa masyarakat, maka jurnalisme damai adalah jalan keluarnya. (*)
Mantan Sekjen Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI)
Peringatan lahirnya Pancasila tanggal 1 Juni 2008 di Monas yang mestinya mengukuhkan persatuan dan menghormati pluralisme ternyata telah menjadi petaka karena adanya penyerangan dari kelompok pengunjuk rasa ke kelompok lain. Jangankan mengumpulkan kekuatan untuk melawan kezaliman dan penguasaan asing atas aset-aset negara yang menguasai hajat hidup orang banyak, peringatan itu malah menjadi kontra produktif. Isu nasionalisme yang diusung PDI Perjuangan ketika mengerahkan 100 ribu lebih kadernya di Monas dan Bundaran Hotel Indonesia pun akhirnya tenggelam. Nilai-nilai Pancasila tak lagi berbekas pada penghormatan pluralisme dan persatuan nasional.
Kalau bisa menangis, mungkin arwah Bung Karno akan menangis melihat kejadian ini. Apalagi kasus ini telah menjadi konflik terbuka akibat penyesatan informasi oleh media. Media telah berperan besar dalam menyulut konflik karena pemberitaannya lebih mengeksploitasi kekerasan sehingga menimbulkan kekerasan baru. Media telah mengadu domba dan menjadi provokator. Inikah pemberitaan yang dibanggakan demi rating atau memperbanyak penonton agar iklan lebih banyak masuk? Tampaknya, awak media memang masih perlu komitmen untuk tidak mengobarkan perang dan mengumbar kekerasan.
Penyesatan opini
Front Pembela Islam (FPI) ramai-ramai dikutuk karena sebagai pihak yang melakukan kekerasan atas nama agama terhadap kelompok Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB). Sebaliknya, FPI menyatakan penyerangan itu dilakukan karena ada pemicunya yakni provokasi dari kelompok pendukung Ahmadiyah, karena itu FPI akan melawan pihak-pihak yang akan membubarkan FPI.
Hari kedua pasca kejadian Monas, pemberitaan sudah bergeser dari persoalan penyerangan FPI menjadi konflik antara Gus Dur dan Habib Rizieq Shihab (Ketua Umum FPI). Gus Dur memang menjadi pendukung Ahmadiyah dan meminta FPI dibubarkan karena melakukan kekerasan atas nama agama. Kedua tokoh ini secara terbuka ditayangkan televisi dan saling menjatuhkan, sehingga pengikut kedua tokoh itu pun saling serang. Di Cirebon dan Jember misalnya, massa Banser milik NU menyerang markas FPI dan pimpinan FPI setempat terpaksa membubarkan organisasinya itu karena tekanan massa. Tampak jelas bahwa media telah menyebarkan kebencian dan telah menyebarkan informasi yang menyesatkan.
Munarman, Panglima Komando Lasykar Islam juga pantas marah ketika fotonya yang sedang mencekik lelaki pemegang sorban dipasang di halaman muka sebuah koran ibukota dan dikatakan sedang melakukan kekerasan. Padahal lelaki itu adalah anggota mereka yang sedang dicegah agar tidak anarkis. Munarman juga meluruskan bahwa bukan FPI yang terlibat penyerangan terhadap AKKBB di Monas melainkan Komando Lasykar Islam (di dalamnya terdapat FPI).
Pemberitaan ini jelas menunjukkan bahwa kawan-kawan wartawan kurang teliti. Televisi juga lebih banyak dan berulang-ulang memutar aksi penyerangan, tetapi tidak menampilkan gambar-gambar provokasi pihak lain yang menjadi penyebab penyerangan. Opini media akhirnya bergeser, dari aksi penyerangan terhadap kelompok pendukung Ahmadiyah yang tergabung dalam AKKBB, kepada isu pembubaran FPI semata.
Akar masalah
Saya kira akar masalahnya adalah tidak adanya sikap tegas dari pemerintah dalam kasus Ahmadiyah dan adanya pemaksaan kehendak (kekerasan) di pihak lain. FPI memang sejak lama menentang keberadaan Ahmadiyah karena aqidahnya sesat dan merupakan penistaan terhadap ajaran agama (Islam). FPI tidak sendirian. Ada lebih dari 20 organisasi kemasyarakatan yang tergabung dalam Forum Ummat Islam (FUI) dalam memperjuangkan agar pemerintah membubarkan Ahmadiyah. Mereka mendesak agar SKB (Surat Keputusan Bersama) yang dijanjikan oleh pemerintah segera dikeluarkan, agar tidak terjadi penistaan agama oleh Ahmadiyah. Tapi rencana ini tertunda karena ada usulan dari Adnan Buyung Nasution (anggota Wantimpres) dengan alasan bertentangan dengan kebebasan berkeyakinan yang dijamin Pancasila.
Sebelumnya Menteri Agama memang pernah memberikan solusi agar pengikut Ahmadiyah tidak mengklaim sebagai agama Islam, karena aqidahnya sudah menyimpang dari Islam, dan MUI pun sudah lama menyatakannya sebagai ajaran sesat. Tetapi usulan Menteri Agama ini ditolak oleh Ahmadiyah. Kalau saja pengikut Ahmadiyah tidak mengklaim sebagai muslim, tentulah kelompok FUI tidak ada yang tersinggung dan Ahmadiyah tidak akan diusik. Kini persoalannya telah menjadi bubur, akibat ketidaktegasan sikap pemerintah menghadapi keberadaan Ahmadiyah.
Ahmadiyah bahkan mendapat dukungan dari individu-individu yang menamakan Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan yang dikomandoi Adnan Buyung Nasution. Kelompok ini beberapa kali memasang iklan di media massa, dan di antaranya menuduh ada pihak lain yang hendak mengganti Pancasila dengan menuntut pembubaran Ahmadiyah (Pihak FPI menilai tuduhan ini menyesatkan).
Tanggal 26 Mei 2008, iklan itu terpampang besar-besaran di berbagai media massa nasional, yang secara tegas menyebutkan bahwa aksi tanggal 1 Juni 2008 dilakukan untuk memberikan dukungan terhadap Ahmadiyah. Itulah sebabnya, provokasi melalui iklan ini pula yang turut mendorong aksi kekerasan di Monas. Padahal sebelumnya, -- menurut keterangan Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Polisi Abubakar Nataprawira-- polisi melarang kelompok AKKBB menggelar acara di Monas karena tidak ada izin. Kenyataannya kelompok ini menggelar aksi di Monas sehingga terjadilah aksi penyerangan itu. Penyerangan sulit dilerai, karena polisi memang tidak mengawalnya. AKKBB mengklaim ada 70 orang yang terkena pukulan, di antaranya KH Imanulhaq (Pemimpin Pondok Pesantren Al-Mizan Cirebon) dan Syafii Anwar (Direktur International Center for Islam and Pluralism) serta Ahmad Suaedy (Direktur Wahid Institut).
Bisa jadi, kasus Monas ini memang diciptakan oleh pihak ketiga, untuk memukul dua hal sekaligus: mengalihkan isu BBM dan Ahmadiyah. Bahwa FPI kena batunya, adalah konsekuensi dari aksi kekerasannya yang tidak diterima oleh publik.
Jurnalisme damai?
Para pelaku media sejak awal seharusnya menurunkan tensi pemberitaan jika ingin persoalan kebangsaan ini selesai. Jika tidak, maka berdosalah kita karena ikut memprovokasi masyarakat untuk melakukan kekerasan. Di sinilah letaknya profesionalisme wartawan itu diuji. Di mana hati nurani kita, jika kita bangga memberitakan konflik SARA seperti memberitakan pertandingan tinju antara Mike Tyson melawan Holyfield.
Dalam pertandingan tinju, kita bisa mafhum kalau media memberitakan Tyson bersumbar akan memukul jatuh Holifield, dan sebaliknya Holyfield akan memukul KO dalam ronde pertama. Tapi setelah pertandingan usai, salah satu ada yang kalah, mereka tetap sportif dan berangkulan. Apakah sama pertandingan tinju dengan SARA? Apakah bangsa ini sudah sedemikian rusak sehingga anak bangsa diberi tontonan bentrokan fisik antara sesama anak bangsa dan perang kata antar pemuka agama? Alangkah tragisnya jika keadaan ini terus terjadi.
Saat ini, masih ada waktu untuk memperbaiki pemberitaan. Pelaksanaan jurnalisme damai mestinya menjadi tuntutan profesionalisme para wartawan. Kita dudukkan persoalan sebagaimana adanya, dan berikanlah perspektif yang menyejukkan. Tidak semua fakta harus ditayangkan, kalau sekiranya akan mengakibatkan persoalan yang destruktif. Di sinilah hati nurani kita berbicara untuk menimbang-nimbang mana yang perlu dan mana yang tidak perlu diberitakan, tanpa kehilangan independensi, aktualitas, objektivitas dan keberimbangan. Konsep berimbang atau cover both side juga bukan seperti yang kita lihat di televisi: dua tokoh berseteru dilepas semua pernyataannya baik yang menghujat maupun yang menantang perang! Untuk apa kita siarkan perseteruan itu kalau akan mendorong semua lasykar bersiaga mengangkat senjata?
Intinya, kita memerlukan media yang mampu memberikan kesejukan dan memberi jalan penyelesaian konflik atau resolusi konflik. Kalau media terus menggosok-gosok kedua belah pihak, tentu saja tidak akan terjadi titik temu. Berikanlah ruang dan perspektif dari berbagai sisi serta konteks persoalan yang sesungguhnya agar menemukan solusi. Para pendukung kedua pihak akan senang jika pemberitaan media mampu mengantarkan kedua pihak pada meja perundingan bukan sebaliknya, menjauhkan keduanya.
Pihak yang bertikai diharapkan mampu memahami sudut pandang pihak lain, mengatasi prasangka dan kecurigaan, serta mengevaluasi ulang sikap dasar yang terbentuk semula. Media diharapkan dapat memetakan konflik, mengidentifikasi pihak-pihak yang terlibat dan menganalisis tujuan-tujuan mereka, dan membicarakan informasi yang mereka sediakan dalam agenda khusus mereka. Langkah ini juga dapat mengatasi penyesatan opini yang merugikan salah satu pihak.
Jurnalisme damai memang hanya tawaran. Namun perlu diingat bahwa pers bukanlah sekadar mirror of reality, tetapi juga molder of reality (pembentuk rupa) masyarakat. Nah jika keberadaan jurnalisme adalah dalam rangka membentuk rupa masyarakat, maka jurnalisme damai adalah jalan keluarnya. (*)
Label: Artikel, foto, video
Jurnalisme Damai
Senin, Mei 05, 2008
Problematika “Plagiarism”
Oleh: Winanti
(06202241030)
Setelah membaca hasil refleksi tentang “vail”, sebagian besar mahasiswa berpendapat bahwa “plagiarism” memang bukan lagi menjadi hal baru dalam dunia tulis-menulis. Meskipun hanya sebatas tahu atau bahkan pernah melakukan tindakan tersebut setiap kali menulis, mereka tetap menyadari dan sepakat bahwa plagiarism merupakan kejahatan yang harus dihentikan. Kebiasaan menjiplak karya orang lain tanpa mencantumkan sumber asli dalam tulisan yang kita buat adalah sama dengan tindakan mencuri. Sebagai seorang akademika, tentu saja plagiarism menjadi sangat penting untuk kita ketahui, terutama dalam penulisan karya ilmiah.
Dalam penulisan karya ilmiah, seorang penulis tidak akan pernah lepas dari sumber atau teori-teori yang telah ditulis orang lain sebelumnya. Teori tersebut merupakan dasar/acuan yang dapat memperkuat sekaligus menjadi bukti tentang kebenaran yang ia sampaikan dalam tulisannya. Pembaca akan dengan mudah dapat memperoleh informasi yang lebih lengkap dari sumber yang tercantum dalam referensi. Selain itu, keberadaan referensi juga akan mepengaruhi kualitas dari tulisan yang kita buat. Suatu karya tulis menjadi lebih bernilai karena dapat dipertanggung jawabkan kepada publik dengan disertai sumber kutipan asli.
Plagiarism belum begitu dikenali dan dipahami di kalangan mahasiswa sehingga tingkat kejadiannya masih tinggi dan masih sulit untuk dipantau lebih jauh. Fenomena plagiarism dapat terjadi baik dengan sengaja ataupun tidak. Kelalaian dalam menuliskan sumber secara lengkap dan teliti menjadi penyebab yang tidak disengaja. Plagiarism sengaja dilakukan karena adanya kegagalan dalam mentransformasikan metode belajar selama ini. Kebiasaan meniru dan menjiplak telah tertanam sejak individu mulai belajar untuk pertama kalinya. Proses belajar yang cenderung mengharuskan siswa menjadi tidak creative dan innovative perlu dirubah. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan pemahaman sejak dini tentang apa itu plagarism serta langkah tepat untuk menghindarinya.
Di kalangan Internasional, plagiarism juga dibahas cukup detail sebagai bentuk kepedulian dunia terhadap fenomena yang muncul belakangan terkait permasalahan plagiarism di berbagai lembaga pendidikan tinggi di dunia. Dalam sebuah web (www.umuc. Edu/distance/odell/cip/vail/home.html) dapat kita ketahui betapa plagiarism sebenarnya merupakan tanggung jawab kolektif antara lembaga pendidikan tinggi terkait, dosen, dan mahasiswa untuk bisa mengenali dan menangkal plagiarism di lingkungan akademikanya. Tentang bagaimana bentuk perlakuan kita selanjutnya terhadap tanggung jawab tersebut adalah permasalahan yang harus segera kita cari solusinya.
Budaya menjiplak di kalangan mahasiswa sendiri misalnya, dalam memenuhi tugas-tugas kuliah khususnya penulisan karya ilmiah/makalah seringkali mengabaikan keberadaan penulis aslinya dalam banyak kutipan yang mereka cantumkan dalam paper yang mereka buat. Daftar pustaka tetap ada, namun antara kata-kata yang asli muncul dari pikiran penulis dengan referensinya masih sulit dibedakan. Bahkan kadang kebiasaan copy-paste masih terjadi. Meskipun sulit untuk dibuktikan keasliannya apakah karya tersebut hasil jiplakkan atau benar-benar orisinil kita bisa merubah kebiasaan ini lewat kesadaran dan penghargaan yang tinggi akan hasil karya orang lain.
Pengetahuan tentang plagiarism serta sejumlah tips tentang bagaimana cara mengatasinya dapat kita peroleh lewat sebuah situs tentang “vail” yang telah disebutkan sebelumnya. Di dalamnya tersedia berbagai informasi, petunjuk, contoh kasus di lapangan dan sejumlah strategi yang dapat kita terapkan untuk mencegah plagiarism serta membangun kebiasaan yang lebih baik dalam menulis dengan tetap mencantumkan sumber asli rujukan yang kita pakai sebagai referensi.
Setelah melakukan browsing kita akan tahu beberapa strategi untuk menghindari plagiarism dalam menulis karya ilmiah yang bersifat sistematis dan analisis, antara lain:
1. Pengaturan waktu yang baik (good time management)
Usahakan memulai penelitian sesuai jadwal yang telah direncanakan, semakin awal kita memulai suatu pekerjaan maka akan semakin banyak waktu yang kita miliki untuk menganalisis lebih jauh objek yang kita teliti
2. Melakukan persiapan secara menyeluruh mengenai topik yang akan dibahas namun tetap focus pada materi sedang dikaji
3. Menuliskan kutipan dalam text dalam quotation mark (“… “) serta mencantumkan sumber aslinya secara lengkap
4. Menentukan referensi yang sesuai
5. Mencantumkan searched engine apabila referensi diambil dari internet
6. Lengkapi data anda dengan mencari referensi dari berbagai institusi pendidikan maupun perpustakaan
Dalam menuliskan suatu sitasi/rujukan tertentu dapat dilakukan dengan 3 cara antara lain (www.umuc. Edu/distance/odell/cip/vail/home.html) :
1. Quotating
Mengutip sama persis dengan sumber aslinya, setiap kata dalam satu paragraf utuh. Di tulis dalam tanda petik dan diberi spasi 1
Example :
"This unique observation provides only one example of the strong maternal inclinations of female gorillas. An amazing aspect of the incident was that Effie, whose back was turned toward her infant, was aware of Poppy’s silent plight even before the human onlooker facing both animals realized that something was amiss" (Fossey, 1983, p. 89).
Kutipan di atas diambil secara keseluruhan karena itu diberi tanda kutip di antara kutipan yang diambil (“.....”) dan disertai juga sumber referensinya yang terdiri dari nama pengarang (Fossey), tahun terbitan (1983), dan halaman buku (89).
2. Paraphrasing
Apabila kita mengambil rujukan dari sumber lain dalam kata-kata kita sendiri. Dengan kata lain kita mengemasnya ke dalam bahasa kita sendiri namun tetap mencantumkan sumber aslinya.
Example :
"In Gorillas in the Mist, Fossey (1983) gives an example to demonstrate that gorillas are very protective mothers. As a tiger approached her offspring Effie, a mother gorilla, sensed the danger even though she was not facing Effie. The researcher observing them did not notice the danger, but the mother gorilla’s vigilance allowed her to take steps to save the baby gorilla (p. 89).
Kutipan di atas diambil secara tidak langsung yaitu dengan menguraikan atau mengungkapkan kembali pendapat yang dikutip karena itu ditulis dalam paragraf terpisah lalu disertai dengan sumber referensinya yang terdiri dari nama pengarang (Fossey), tahun terbitan (1983), dan halaman buku (89).
3. Summarizing
Menggunakan ide dari sumber tertentu untuk menyatakan opini yang sama. Penulis menggunakan bahasa yang sama sekali berbeda dengan sumber aslinya karena hanya merangkum inti dari acuan tersebut.
Example :
In Gorillas in the Mist, Fossey (1983) illustrates that female gorillas instinctively protect their offspring as much or more so than female humans (p. 89).
Bagaimana plagiarisme dapat dihindari ? Selain pengetahuan yang telah diuraikan di atas, tentunya juga dibutuhkan motivasi (motivation) yang kuat untuk berperilaku jujur (honest) serta berketerampilan (skillful) dalam tata cara menulis karya ilmiah. Hal yang paling menentukan adalah menanamkan sikap atau perilaku jujur sebagai seorang terpelajar. Seorang mahasiswa harus mampu secara jelas membedakan pemikirannya sendiri yang asli atau orisinil dengan pemikiran orang lain yang ia pinjam menghasilkan/menjelaskan pemikirannya. Dengan cara itulah ilmu pengetahuan menghasilkan karya yang dapat dipertanggung jawabkan yang akan memperkaya wawasan bagi pembacanya. Begitulah peradaban ilmu pengetahuan berkembang.
Bagi mahasiswa, pengetahuan terkait masalah plagiarism dan pendidikan menjadi sangat penting untuk dikaji lebih dalam. Dalam menulis karya ilmiah keberadaan citation tidak dapat tidak dicantumkan. Selain sebagai unsur yang harus ada dalam sebuah karya tulis, sitasi juga memiliki fungsi pendukung diantaranya:
1. Membedakan antara karya asli yang kita buat dengan rujukan yang kita pakai sebagai referensi.
2. Mempermudah pembaca untuk menemukan informasi yang lebih lengkap dari sumber yang dicantumkan.
3. Menambah nilai suatu karya tulis tertentu karena dapat memperkuat dan menjadi lebih bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya.
4. Dengan merujuk hasil pemikiran orang lain kita secara tidak langsung telah mengembangkan dan memperkaya ide yang telah ada sebelumnya.
Setelah memiliki pengetahuan yang cukup tentang pentingnya mencantumkan sumber asli dalam tulisan kita, semoga kita bisa menulis dengan lebih baik lagi dan lebih bisa mempertanggung jawabkan apa yang telah kita tulis kepada para pembaca. Kemampuan untuk menghindari plagiarism tidak cukup diberikan sebatas pemberian pengetahuan (cognitive), akan tetapi harus dilatih sepanjang proses pendidikan sehingga menjadi keterampilan yang penting dimiliki yang nantinya mampu melahirkan perilaku (behavior) sesuai nilai/kode etik dalam menulis. Karena itu membangun “perilaku anti plagiarism” harus menjadi bagian penting dalam proses belajar bagi mahasiswa khususnya bagi penulis pemula yang butuh lebih banyak pengetahuan baru tentang menulis .
(06202241030)
Setelah membaca hasil refleksi tentang “vail”, sebagian besar mahasiswa berpendapat bahwa “plagiarism” memang bukan lagi menjadi hal baru dalam dunia tulis-menulis. Meskipun hanya sebatas tahu atau bahkan pernah melakukan tindakan tersebut setiap kali menulis, mereka tetap menyadari dan sepakat bahwa plagiarism merupakan kejahatan yang harus dihentikan. Kebiasaan menjiplak karya orang lain tanpa mencantumkan sumber asli dalam tulisan yang kita buat adalah sama dengan tindakan mencuri. Sebagai seorang akademika, tentu saja plagiarism menjadi sangat penting untuk kita ketahui, terutama dalam penulisan karya ilmiah.
Dalam penulisan karya ilmiah, seorang penulis tidak akan pernah lepas dari sumber atau teori-teori yang telah ditulis orang lain sebelumnya. Teori tersebut merupakan dasar/acuan yang dapat memperkuat sekaligus menjadi bukti tentang kebenaran yang ia sampaikan dalam tulisannya. Pembaca akan dengan mudah dapat memperoleh informasi yang lebih lengkap dari sumber yang tercantum dalam referensi. Selain itu, keberadaan referensi juga akan mepengaruhi kualitas dari tulisan yang kita buat. Suatu karya tulis menjadi lebih bernilai karena dapat dipertanggung jawabkan kepada publik dengan disertai sumber kutipan asli.
Plagiarism belum begitu dikenali dan dipahami di kalangan mahasiswa sehingga tingkat kejadiannya masih tinggi dan masih sulit untuk dipantau lebih jauh. Fenomena plagiarism dapat terjadi baik dengan sengaja ataupun tidak. Kelalaian dalam menuliskan sumber secara lengkap dan teliti menjadi penyebab yang tidak disengaja. Plagiarism sengaja dilakukan karena adanya kegagalan dalam mentransformasikan metode belajar selama ini. Kebiasaan meniru dan menjiplak telah tertanam sejak individu mulai belajar untuk pertama kalinya. Proses belajar yang cenderung mengharuskan siswa menjadi tidak creative dan innovative perlu dirubah. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan pemahaman sejak dini tentang apa itu plagarism serta langkah tepat untuk menghindarinya.
Di kalangan Internasional, plagiarism juga dibahas cukup detail sebagai bentuk kepedulian dunia terhadap fenomena yang muncul belakangan terkait permasalahan plagiarism di berbagai lembaga pendidikan tinggi di dunia. Dalam sebuah web (www.umuc. Edu/distance/odell/cip/vail/home.html) dapat kita ketahui betapa plagiarism sebenarnya merupakan tanggung jawab kolektif antara lembaga pendidikan tinggi terkait, dosen, dan mahasiswa untuk bisa mengenali dan menangkal plagiarism di lingkungan akademikanya. Tentang bagaimana bentuk perlakuan kita selanjutnya terhadap tanggung jawab tersebut adalah permasalahan yang harus segera kita cari solusinya.
Budaya menjiplak di kalangan mahasiswa sendiri misalnya, dalam memenuhi tugas-tugas kuliah khususnya penulisan karya ilmiah/makalah seringkali mengabaikan keberadaan penulis aslinya dalam banyak kutipan yang mereka cantumkan dalam paper yang mereka buat. Daftar pustaka tetap ada, namun antara kata-kata yang asli muncul dari pikiran penulis dengan referensinya masih sulit dibedakan. Bahkan kadang kebiasaan copy-paste masih terjadi. Meskipun sulit untuk dibuktikan keasliannya apakah karya tersebut hasil jiplakkan atau benar-benar orisinil kita bisa merubah kebiasaan ini lewat kesadaran dan penghargaan yang tinggi akan hasil karya orang lain.
Pengetahuan tentang plagiarism serta sejumlah tips tentang bagaimana cara mengatasinya dapat kita peroleh lewat sebuah situs tentang “vail” yang telah disebutkan sebelumnya. Di dalamnya tersedia berbagai informasi, petunjuk, contoh kasus di lapangan dan sejumlah strategi yang dapat kita terapkan untuk mencegah plagiarism serta membangun kebiasaan yang lebih baik dalam menulis dengan tetap mencantumkan sumber asli rujukan yang kita pakai sebagai referensi.
Setelah melakukan browsing kita akan tahu beberapa strategi untuk menghindari plagiarism dalam menulis karya ilmiah yang bersifat sistematis dan analisis, antara lain:
1. Pengaturan waktu yang baik (good time management)
Usahakan memulai penelitian sesuai jadwal yang telah direncanakan, semakin awal kita memulai suatu pekerjaan maka akan semakin banyak waktu yang kita miliki untuk menganalisis lebih jauh objek yang kita teliti
2. Melakukan persiapan secara menyeluruh mengenai topik yang akan dibahas namun tetap focus pada materi sedang dikaji
3. Menuliskan kutipan dalam text dalam quotation mark (“… “) serta mencantumkan sumber aslinya secara lengkap
4. Menentukan referensi yang sesuai
5. Mencantumkan searched engine apabila referensi diambil dari internet
6. Lengkapi data anda dengan mencari referensi dari berbagai institusi pendidikan maupun perpustakaan
Dalam menuliskan suatu sitasi/rujukan tertentu dapat dilakukan dengan 3 cara antara lain (www.umuc. Edu/distance/odell/cip/vail/home.html) :
1. Quotating
Mengutip sama persis dengan sumber aslinya, setiap kata dalam satu paragraf utuh. Di tulis dalam tanda petik dan diberi spasi 1
Example :
"This unique observation provides only one example of the strong maternal inclinations of female gorillas. An amazing aspect of the incident was that Effie, whose back was turned toward her infant, was aware of Poppy’s silent plight even before the human onlooker facing both animals realized that something was amiss" (Fossey, 1983, p. 89).
Kutipan di atas diambil secara keseluruhan karena itu diberi tanda kutip di antara kutipan yang diambil (“.....”) dan disertai juga sumber referensinya yang terdiri dari nama pengarang (Fossey), tahun terbitan (1983), dan halaman buku (89).
2. Paraphrasing
Apabila kita mengambil rujukan dari sumber lain dalam kata-kata kita sendiri. Dengan kata lain kita mengemasnya ke dalam bahasa kita sendiri namun tetap mencantumkan sumber aslinya.
Example :
"In Gorillas in the Mist, Fossey (1983) gives an example to demonstrate that gorillas are very protective mothers. As a tiger approached her offspring Effie, a mother gorilla, sensed the danger even though she was not facing Effie. The researcher observing them did not notice the danger, but the mother gorilla’s vigilance allowed her to take steps to save the baby gorilla (p. 89).
Kutipan di atas diambil secara tidak langsung yaitu dengan menguraikan atau mengungkapkan kembali pendapat yang dikutip karena itu ditulis dalam paragraf terpisah lalu disertai dengan sumber referensinya yang terdiri dari nama pengarang (Fossey), tahun terbitan (1983), dan halaman buku (89).
3. Summarizing
Menggunakan ide dari sumber tertentu untuk menyatakan opini yang sama. Penulis menggunakan bahasa yang sama sekali berbeda dengan sumber aslinya karena hanya merangkum inti dari acuan tersebut.
Example :
In Gorillas in the Mist, Fossey (1983) illustrates that female gorillas instinctively protect their offspring as much or more so than female humans (p. 89).
Bagaimana plagiarisme dapat dihindari ? Selain pengetahuan yang telah diuraikan di atas, tentunya juga dibutuhkan motivasi (motivation) yang kuat untuk berperilaku jujur (honest) serta berketerampilan (skillful) dalam tata cara menulis karya ilmiah. Hal yang paling menentukan adalah menanamkan sikap atau perilaku jujur sebagai seorang terpelajar. Seorang mahasiswa harus mampu secara jelas membedakan pemikirannya sendiri yang asli atau orisinil dengan pemikiran orang lain yang ia pinjam menghasilkan/menjelaskan pemikirannya. Dengan cara itulah ilmu pengetahuan menghasilkan karya yang dapat dipertanggung jawabkan yang akan memperkaya wawasan bagi pembacanya. Begitulah peradaban ilmu pengetahuan berkembang.
Bagi mahasiswa, pengetahuan terkait masalah plagiarism dan pendidikan menjadi sangat penting untuk dikaji lebih dalam. Dalam menulis karya ilmiah keberadaan citation tidak dapat tidak dicantumkan. Selain sebagai unsur yang harus ada dalam sebuah karya tulis, sitasi juga memiliki fungsi pendukung diantaranya:
1. Membedakan antara karya asli yang kita buat dengan rujukan yang kita pakai sebagai referensi.
2. Mempermudah pembaca untuk menemukan informasi yang lebih lengkap dari sumber yang dicantumkan.
3. Menambah nilai suatu karya tulis tertentu karena dapat memperkuat dan menjadi lebih bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya.
4. Dengan merujuk hasil pemikiran orang lain kita secara tidak langsung telah mengembangkan dan memperkaya ide yang telah ada sebelumnya.
Setelah memiliki pengetahuan yang cukup tentang pentingnya mencantumkan sumber asli dalam tulisan kita, semoga kita bisa menulis dengan lebih baik lagi dan lebih bisa mempertanggung jawabkan apa yang telah kita tulis kepada para pembaca. Kemampuan untuk menghindari plagiarism tidak cukup diberikan sebatas pemberian pengetahuan (cognitive), akan tetapi harus dilatih sepanjang proses pendidikan sehingga menjadi keterampilan yang penting dimiliki yang nantinya mampu melahirkan perilaku (behavior) sesuai nilai/kode etik dalam menulis. Karena itu membangun “perilaku anti plagiarism” harus menjadi bagian penting dalam proses belajar bagi mahasiswa khususnya bagi penulis pemula yang butuh lebih banyak pengetahuan baru tentang menulis .
Rabu, Maret 19, 2008
Hukum dan Etika Jurnalistik
3. Hukum dan Etika Jurnalistik
Istilah “etika” berasal dari akar Yunani ethikos yang berarti karakter. Istilah itu sinonim dengan filosofi normal, yang lebih umum di universitas dan literature Eropa.Etika dapat dijelaskan sebagai cabang filosofi yang peduli dengan studi tentang apa yang secara moral benar dan salah, baik dan buruk. Benar dan salah adalah kualitas yang biasanya ditetapkan untuk keindahan, kelakuan, dan tingkah laku.
Definisi etika yang lebih praktis adalah aturan prinsip. Konsisten dengan definisi ini, tindakan apapun, pernyataan, atau tingkah laku, yang tidak mendasarkannya pada sebuah prinsip adalah dapat dipertanyakan, dan mungkin immoral. Contoh dari prinsip etika termasuk kejujuran, keadilan, kesetiaan, kerendahaan hati, tugas, kewajiban, loyalitas, patriotisme, dan belas kasihan.[1]
Etika dan Hukum
Etika berbeda dengan hukum. Kalau etika adalah aturan moral yang tidak dilegalisasi, dan kekuatan berlakunya tergantung kepada orang yang mengemban profesi agar berlaku etis. Sanksinya adalah moral. Sedangkan hukum adalah aturan yang dirumuskan dan dilegalisasi lembaga pembuat undang-undang untuk mengatur masyarakat secara keseluruhan. Yang harus taat pada hukum adalah masyarakat, tanpa kecuali. Sanksinya adalah hukuman badan, denda dan administrative. Hukum diberlakukan untuk menjaga eksistensi masyarakat.Sam S. Souryal dalam bukunya Ethic in Criminal Justice System halaman 154 menulis Hubungan antara etika dan hukum sebagai berikut:Tujuan dari etika bukanlah untuk merusak undang-undang atau menggantinya, tetapi untuk melengkapi dengan menghormati jiwa undang-undang dan mengatur keadilan.
Undang-undang hanya dapat diterapkan pada tingkah laku dimana pembuat hukum memilih untuk mengatur; sedangkan etika dilain pihak, menempatkan semua kegiatan manusia;Hukum berusaha mengubah orang dari sisi luarnya, sedangkan di lain pihak, etika mencoba untuk mengubah mereka dari sisi dalam;Hukum berubah berkali-kali, tetapi etika konstan, universal dan abadi;Hukum adalah instrumen yang logis dari pengawasan sosial paling penting, bukanlah hasil yang penting dari kebijaksanaan. Etika, dalam kebalikannya adalah didasarkan secara kuat pada proses pertimbangan yang perlu bagi kebijaksanaan yang layak;Hukum adalah dasar instrumen yang reaktif, sementara etika yang paling penting, adalah memberikan petunjuk secara alamiah;Hukum tergantung pada keefektifannya dalam prosedur hukum dan peraturan yang kompleks dari bukti, dan etika tergantung pada pengetahuan, rasionalitas dan keinginan baik.
Etika dan Kode Etik
Kalau etika adalah aturan prinsip, maka kode etik adalah aturan prinsip yang dirumuskan oleh pengemban etika. Siapa mereka? Mereka adalah orang-orang professional yang mengemban profesi. Pada awalnya, etika dirumuskan oleh para dokter, advokat, hakim, pastur, wartawan.[2] Belakangan juga ada petugas lembaga pemasyarakatan dan polisi.[3]Kode etik tidak dibuat sebagai cara yang mendetail dalam pemecahan masalah etika, tapi prinsip umum yang dapat mendorong pilihan moral. Kode etik didesain untuk memotivasi pekerja, memperkuat stamina etika mereka, dan membantu dalam pengembangan pekerjaan (Sam S. Souryal, halaman 155).
Fungsi kode etik
Fungsi utama dari kode etik adalah agar para pengemban profesi berlaku etis sesuai dengan standar moral yang berlaku. Tujuan standar ini adalah untuk menjamin kaum professional dapat bertanggungjawab dalam tingkat tertinggi dari penampilannya dan mempertahankan mereka untuk setia pada kewajiban kejujuran, kesetiaan dan kewajiban.
Ketika kaum professional mematuhi kode etik, maka hasilnya lingkungan yang kondusif akan sempurna. Kaum professional akan tahu apa tanggungjawab mereka yang harus dilakukan oleh mereka tanpa pengawasan yang semestinya. Mereka akan merasa bangga pada pekerjaan mereka. Mereka akan bertoleransi terhadap setiap orang dan dalam berhubungan dengan klien mereka. Mereka akan dapat menghindari “tingkah laku licik” seperti kecemburuan, fitnah, dan kelicikan, dan belajar untuk tidak menyukai tingkah laku yang tidak beradab seperti diskriminasi, favorit dan egois. Jika kode etik dikuti dengan baik, maka kaum professional yang memegang kode etik akan menjadi insan yang beradab.Pada pokoknya, semua kode etik berusaha untuk memperkuat dua kebaikan utama; etika pelayanan masyarakat dan etika profesionalisme. Hal ini pada hakekatnya adalah kebaikan; mendasar dan tidak dapat dinegosiasikan.Tetapi kunci utama dari semua ini adalah kepercayaan. Seorang pastor yang tidak dapat mengemban kepercayaan dari kliennya, atau juga advokat dan dokter yang membocorkan rahasia kliennya, maka mereka akan ditinggalkan oleh masyarakat.Demikian juga wartawan, jika mereka tidak dapat memegang rahasia nara sumber, maka mereka akan ditinggalkan masyarakat. Seorang nara sumber hanya mau bercerita dengan wartawan jika mereka yakin bahwa sang wartawan dapat dipercaya. Karena itu wartawan yang profesional rela menjadi terdakwa dan dihukum, karena memegang prinsip melindungi nara sumber yang harus dijaganya, seperti yang terjadi pada wartawan HB Yasin yang tetap merahasiakan siapa penulis cerpen Ki Pnji Kusmin.Kode Etik JurnalistikTugas wartawan Indonesia, baik wartawan media cetak maupun media elektronik adalah mengumpulkan dan menyajikan berita secara benar dan menarik minat masyarakat secara jujur dan bertanggungjawab. Untuk pekerjaan ini Undang-undang Pers Nomor 40 tahun 1999 telah memberikan landasan hukum yang tepat berupa jaminan kebebasan pers. Dan jaminan masyarakat mendapatkan informasi secara benar. Untuk menjaga keseimbangan dua kepentingan itu, diperlukan wartawan yang memiliki integritas moral yang tinggi. Karena itu pula ditetapkan kode etik bagi para watawan atau jurnalis.Wartawan Indonesia yang tergabung dalam PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) telah lama merumuskan kode etiknya yang harus dilaksanakan oleh segenap anggotanya. Demikian juga Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) telah merumuskan kode etiknya pada 9 Agustus 1998. Kode etik Jurnasis Televisi diartikan sebagai “penuntun perilaku jurnalis televisi dalam melaksanakan profesinya. (pasal 1).Berbagai organisasi wartawan juga telah menyepakati satu kode etik wartawan Indonesia yang ditetapkan di Bandung pada 6 Agustus 1999. Intinya adalah sebagai berikut[4]:Wartawan Indonesia menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benarWartawan Indonesia menempuh tata cara yang etis untuk memperoleh dan menyiarkan informasi serta memberikan identitas kepada sumber informasi.Wartawan Indonesia menghormnati asas praduga tidak bersalah, tidak mencampur adukkan fakta dengan opini, berimbang dan selalu meneliti kebenaran informasi, serta tidak melakukan plagiat.Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis, cabul, serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan susila.Wartawan Indonesia tidak menerima suap, dan tidak menyalahgunakan profesi.Wartawan Indonesia memiliki hak tolak, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang dan off the record sesuai kesepakatan.Wartawan Indonesia segera mencabut dan meralat kekeliruan dalam pemberitaan serta melayani hak jawab.Pengawasan dan penetapan sanksi atas pelanggaran Kode Etik ini sepenuhnya diserahkan kepada jajaran pers dan dilaksanakan oleh organisasi yang dibentuk untuk itu.Dalam Kode Etik IJTI, karena anggotanya adalah jurnalis televisi, dan televisi adalah media pandang dengar, maka kode etiknya memiliki beberapa kekhususan. Di antaranya adalah yang menyangkut gambar dan suara: Tidak menayangkan materi gambar maupun suara yang menyesatkan pemirsa; Tidak merekayasa peristiwa, gambar, maupun suara, untuk dijadikan berita. Lihat selengkapnya dalam “Kebenran Berita dan Kode Etik” terbitan IJTI 1999.Untuk menegakkan kode etik tersebut, dibentuklah Dewan Kehormatan, yang bertugas antara lain menerima pengaduan, melakukan pemeriksaan dan memberikan penilaian atas pelanggaran kode etik. Dewan Kehormatan pula yang menetapkan sanksi bagi anggotanya yang dinilai terbukti telah melanggar kode etik.UU Pers dan UU PenyiaranDalam rangka menjamin kebebasan pers dan informasi kepada publik, telah diundangkan Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang pers, dan Undang-undang nomor 32 tentang Penyiaran. Kedua undang-undang ini mengamanatkan agar wartawan dalam menjalankan tugasnya tunduk pada kode etik jurnalistik (lihat pasal 7 UU Pers dan pasal 42 UU Penyiaran).Undang-undang Pers dengan mantapnya menjamin kemerdekaan pers. Bahkan siapa saja yang menghalang-halangi tugas jurnalistik dapat dipidana pejara dan/tau denda.Pasal 18 ayat 1: Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan pasal 4 ayat 2 dan ayat 3 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah).Pasal 4 ayat 2 berbunyi: Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pemberedelan atau pelarangan penyiaran.Pasal 4 ayat 3 berbunyi: Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.Sementara itu Undang-Undang Penyiaran, sekalipun sama-sama menjamin kebebasan pers, tetapi sifat represifnya sangat kental dengan dimungkinkannya sanksi administrative yang dapat mencekal penyiaran atau memberangus informasi kepada publik. Lihat pasal 55 UU Penyiaran, yang menetapkan sanksi administrative dapat berupa- teguran tertulis- penghentian sementara mata acara yang bermasalah setelah melalui tahap tertentu- pembatasn durasi dan waktu siaran- denda administrative- pembekuan kegiatan siaran untuk waktu tertentu- tidak diberi perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran- pencabutan izin penyelenggaraan penyiaranTindakan apa saja yang dapat dikenai sanksi administrative dapat dilihat dalam pasal 55 ayat 1, antara lain pelanggaran cakupan wilayah siaran; pelanggaran tidak melakukan sensor internal, tidak mencantumkan hak siar, dan lain-lain.Yang berkaitan dengan tugas jurnalistik adalah: tidak melakukan ralat apabila isi siaran dan/atau berita diketahui terdapat kekeliruan dan/atau kesalahan, atau terjadi sanggahan atas isi siaran dan/atau berita (pasal 44 ayat 1). Jadi tidak melakukan ralat meskipun sanggahannya tanpa bukti, dapat dijatuhi sanksi administrative! Sebuah aturan yang sangat bertentangan dengan prinsip kebebasan pers dan kode etik jurnalistik!Ketentuan pidana UU Penyiaran yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kebebasan pers adalah adalah ancaman pidana sebagaimana diatur dalam pasal 57, yang mengancam pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000 (satu milyar rupiah) untuk penyiaran radio dan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau denda paling banyak Rp 10.000.000.000 (sepuluh milyar rupiah) untuk penyiaran televisi, setiap orang, melanggar pasal 36 ayat 5 dan pasal 36 ayat 6.Pasal 36 ayat 5: isi siaran dilarang:bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong;menonjolkan unsure kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang; ataumempertentangkan suku, agama, ras dan antargolongan.Pasal 36 ayat 6: isi siaran dilarang memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional.Dilihat dari kajian kode etik, pasal-pasal pidana tersebut sebenarnya merupakan bentuk kriminalisasi kode etik jurnalistik. Mestinya, ketentuan kode etik itu bukan ditegakkan oleh lembaga hukum seperti kepolisian, jaksa dan hakim, tetapi oleh organisasi profesi seperti PWI, IJTI dan AJI.Terjadinya kriminalisasi kode etik jurnalistik adalah sebuah kemunduran dalam hukum pers di Indonesia. Semestinyalah aturan ini ditinjau kembali agar kebebasan pers terjamin, dan wartawan tidak takut melakukan tugasnya karena adanya ancaman yang berat. Cukuplah kiranya kembali kepada Undang-undang yang sudah ada,yakini delik-deliik pers sebagaimana diatur dalam KUHP. Bahkan dalam KUHP yang akan direvisi itu pun seharusnya tidak lagi mencantumkan pasal-pasal penyebar kebencian dan pasal-pasal karet, karena akan mematikan kebebasan pers dan mematikan demokrasi. Jika ketakutan menimpa jurnalis karena tidak adanya kepastian hukum, maka yang akan menanggung akibatnya adalah masyarakat luas: akses informasi terganggu.Implikasi Moral Etika JurnalistikSeberapa sukses kode etik dalam memelihara pelaksanaan etika di antara pekerja? Tidak ada jawaban yang pasti. Tetapi resep dari Sam. S. Souryal (halaman 167) tiga pengamatan berikut akan memberikan arah bagi pertanyaan ini:Supaya kode etik bermakna, harus dilaksanakan secara serius. Ketika pegawai “percaya” dalam peraturan pelaksanaan, tingkah laku etika adalah hasilnya.Supaya kode etik berhasil, baik administrator maupun pengwas harus mengerti betapa pentingnya kode etik dan mematuhinya. Kode etik memiliki kesempatan yang kecil untuk sukses jika personel pengawasan mengacuhkan atau gagal mengikuti prinsipnya. Lebih jauh, kode etik akan merusak secara serius apabila pengawas tegas pada pemenuhan pegawai, tapi bertingkah laku secra tidak etis. Tingkahlaku pengawas berlawanan dengan etika memiliki efek yang sama sebagai orang tua yang mengajar anaknya “Kerjakan apa yang saya katakana, dan bukan seperti yang sayalakukan”Akhirnya, supaya kode etik menjadi efektif, lingkungan kelembagaan harus sehat. Organisasi yang berkubang dengan “maasalah kesehatan” seperti gaji yang tidak layak, pengawasan yang kurang, kebijakan yang tidak realistik, hubungan interpersonal yang tegang dan keamanan kerja yang kurang, dikelilingi dengan masalah etika. Organisasi yang mengikuti faktor-faktor ini, dilain pihak, lebih dapat untuk mempromosikan pelaksana etioka dan kebanggan pada anggota mereka[1] Lihat Sam S. Souryal, Ethics in Criminal Justice, yang disadur Kunarto, menjadi Etika dalam Peradilan Pidana, edisi kedua, Cipta Manunggal Jakarta, 1999 halaman 82-85.[2] Iskandar Siahaan, dalam Kebenaran Berita dan Kode Etik, Publikasi IJTI 1999, halaman 14.[3] Lihat Kunarto dalam Tri Brata dan Catur Prasetya, Sejarah-Prespektif dan Prospeknya, Cipta Manunggal Jakarta 1997. Lihat juga Sejarah Singkat Kode Etik Polisi dalam bukunya Peter Villiers: Better Police Etics a practical guide (terjemahan) Cipta Manunggal, 1999 halaman 113.[4] Kode Etik Wartawan Indoensia ini disetujui oleh 26 organisasi wartawan Indonesia dalam rapat koordinasi Dewan Pers dengan organisasi wartawan di Bandung Jawa Barat, tanggal 6 Agustus 1999
Label: Artikel, foto, video
Reportase dan Produksi Berita TV
Sikap Dasar Jurnalis
2. Sikap Dasar Jurnalis
Jurnalalis adalah mata pubik. Ia membawa pesan suci agar menyampaikan sebuah kebenaran. Dalam posisi yang demikian, maka harus ada sikap dasar yang harus dimiliki seorang jurnalis. Di antara sikap dasar itu adalah:ObyektifSikap dasar seorang jurnalis adalah obyektif dalam melihat fakta dan informasi yang didapatkan di lapangan termasuk ketika menuliskan dan menyiarkannya. Ini adalah sikap profesonal jurnalis sejati. Tetapi sikap obyektif saat ini sering digugat dengan alasan tidaklah mungkin jurnalis dapat benar-benar obyektif sedang mereka sendiri adalah makhluk yang subyektif. Karena itu obyektifitas tidak lebih dari sebuah mitos.[1]Pemilihan angle atau sudut pandang, ataupun berita ini penting dan tidak penting, adalah salah satu contoh argumen yang mempertanyakan obyektifitas ini. Demikian juga memilih nara sumber adalah subyektif. Seorang jurnalis dapat saja memilih unjuk rasa anti Megawati sebagai berita pertama dalam program beritanya. Sedangkan jurnlis lain justru sebaliknya tidak menjadikannya sebagai bahan berita yang patut ditayangkan. Soal pemilihan ini, meskipun memiliki argumen masing-masing menunjukkan betapa pemilihan berita dan penentuan berita yang ini ditayangkan atau tidak, adalah soal subyektifitas. Seberapapun kecilnya, sebuah berita yang ditayangkan karena hasil dari keputusan reporter dan produser, dan vide editor dalam memilih gambar, mengandung bias. Jadi obyektifitas adalah sebuah idealisasi seorang jurnalis yang dalam prakteknya akan dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, kemampuan menganalisis masalah, dan pandangan hidupnya. Karena itu untuk mejaganya adalah dipenuhinya standar-standar profesional serta kontrol yang ketat dari jajaran redaksi untuk meminimalisir bias itu tadi.BerjarakSeorag jurnalis yang sedang meliput harus mengambil jarak dengan subyek yang diliputnya. Ini penting agar obyektifitas dapat terjaga. Seorang jurnalis yang tidak menjaga jarak dengan subyek yang diliputnya akan menghasilkan berita yang subyektif dan tidak dapat mengambil sisi lain dari apa yang diliputnya itu. Sekadar contoh adalah seorang jurnalis harus memberitakan berita buruk menyangkut perusahaan yang tergabung dalam kelompoknya. Dapat diduga bahwa ada pesan-pesan tertentu agar pemberitaan tidak memojokkan perusahaan tempatnya bernaung,atau bahkan tidak memberitakannya sama sekali.Seorang jurnalis Indonesia meliput jajak pendapat di Timor Timur, mungkin rasa nasionalismenya akan terusik melihat kenyataan di lapangan. Demikian juga seorang jurnalis yang diterjunkan meliput konflik etnis dan konflik antar agama di Poso, akan sulit menjaga jarak dengan apa yang menjadi keyakinannya. Oleh karena itu sejumlah media televisi memberlakukan kebijakan: orang yang meliput di tempat konflik, haruslah bukan orang yang berasal dari kelompok mereka agar dapat mengambil jarak sehingga penglihatannya lebih jernih dan tidak terbawa emosinya pada pertikaian tersebut.ImparsialImparsial atau tidak memihak, adalah sikap dasar jurnalis yang harus dipegang para jurnalis. Para jurnalis tidak boleh memilih-milih nara sumber berdasarkan suka atau tidak suka, tetapi mestinya didasarkan pada relevansi dengan topik yang sedang diliput. Seorang jurnalis televisi yang pernah dipukul oleh seorang kader partai, jelas mereka marah dan memang telah melaporkannya ke polisi. Suatu ketika sang jurnalis korban pemukulan diminta meliput peristiwa yang kebetulan ditangani oleh kader partai yang memukul tadi. Konflik batin memang terjadi dalam hal ini: untuk apa mewawancarai orang yang memukul wartawan itu. Tetapi sebagai seorang jurnalis mustilah dapat membedakan relevansi dari orang yang memukul itu tadi dalam peristiwa yang sedang diliput. Marah boleh tetapi sikap profesional tetap dipegang teguh, sejauh memang relevan dengan apa yang diliput. Artinya jurnalis tetap tidak boleh memihak pada salah satu pihak. Tetapi di lapangan, dalam soal-soal keadilan, acapkali jurnalis harus memihak. Apakah anda tega melihat warga Kedung Ombo Boyolali Jawa Tengah yang sudah bertahun-tahun memperjuangkan haknya, tanah mereka tidak dihargai secara layak, dan mereka terusir dari kampung halamannya, sementara pembebasan tanah dilakukan dengan rekayasa sedemikian rupa? Apakah anda akan berdiam diri ketika melihat anak-anak tak berdosa diperkosa, warga rumah-rumah penduduk di Tanah Merah Plumpang Jakarta Utara dibakar hanya karena mereka adalah penduduk liar, sehingga mereka tidak ada tempat untuk berteduh? Lalu siapa yang bertanggungjawab terhadap anak terlantar, fakir dan miskin di republik ini?Contoh lain adalah dalam perang teluk tahun 1991 sebagaimana dicontohkan dalam buku Arya Gunawan. Dikatakannya bahwa Mark Urban seorang reporter senior BBC terpaksa harus memihak karena berita-berita dari pihak sekutu selalu disensor, sehingga rakyat Irak yang terbunuh secara sia-sia tidak dipertunjukkan. Sementara dari pihak Sadam Husein justru sebaliknya, anak-anak dan wanita korban pemboman mati sia-sia diperlihatkan dengan jelas. Karenanya pemberitaan perang teluk tahun 1991 adalah sebuah pemberitaan yang tidak lebih dari sebuah propaganda Sekutu yang dipimpin Amerika Serikat.Oleh karena itu konsep imparsialitas atau ketidak berpihakan mulai berubah dipertanyakan. Jadilah wartawan boleh berpihak. Kemana keberpihakan jurnalis? Tidak lain adalah kepada kebenaran dan keadilan, sekalipun kedua hal yang ideal itu sulit juga terwujud. Perkembangan inilah yang kemudian melahirkan “journalism of attachment” atau jurnalisme keterikatan yang dikembangkan oleh Martin Bell, seorang wartawan BBC yang juga banyak makan asam garam dalam meliput perang. Konsep jurnalisme ini pun ada yang menentangnya. Mereka tetap berprinsip bahwa tugas wartawan atau jurnalis adalah menggali fakta yang melingkupi sebuah situasi atau peristiwa, baik soal politik maupun sosial. Wartawan boleh saja bersimpati kepada para korban tetapi tugas wartawan bukanlah untuk bersimpati melainkan mencari tahu atau memahami peristiwa itu.Dalam tulisannya di Kompas, Satrio Arismunandar juga berpendapat bahwa pers harus berpihak kepada perasaan keadilan masyarakat. Jadi pers tidak boleh netral. (Kompas, 2002). Terlepas dari perbedaan tersebut yang jelas pers harus mampu mengungkapkan kebenaran, jadi pers harus berpihak pada kebenaran. Dan karena itu pers tidak memanipulasi gambar dan informasi, karena dapat berakibat menyesatkan pemirsa.Dalam konteks politik, jurnalis adalah pilar keempat dalam proses demokratisasi. Tanpa jurnalis maka kontrol masyarakat tidak akan sampai. Bersyukurlah pemerintahan yang dapat dikontrol dengan bebas oleh pers, karena dengan demikian keputusan-keputusan yang diambil akan lebih kualitatif. Pemerintahan yang kuat adalah pemerintahan yang dikontrol oleh pers yang para pelakunya adalah para jurnalis. Itulah sebabnya, pers menjadi anjing penjaga tuannya. Pers menjaga agar tuannya tetap berada pada jalur yang benar.Pendek kata, meski diperlukan kebebasan, media penyiaran televisi tetap memperhatikan dampak yang mungkin timbul. Untuk itu gambar-gambar yang ditayangkan harus benar-benar diseleksi sebelum ditayangkan. Jurnalis adalah mata publik, karena itu karya jurnalismenya harus mendidik, menghargai setiap perbedaan dan menghindari situasi yang destruktif.Keharusan-keharusan tersebut adalah standar yang harus dimiliki Jurnalis dalam setiap peliputan dan penyiaran. Karena itu tidak mengherankan jika Jurnalis selalu memegang kode etik jurnalistik, karena dipundaknyalah segala kontrol informasi yang akan diluncurkan kepada publik. Sekalipun demikian, ia bukan satu-satunya yang dapat dimintai pertanggungjawaban, mengingat kerja jurnalisme adalah sebuah kerja kolektif dalam manajemen keredaksian. Dan lagi, aspek teknologi pertelevisian memungkinkan longgarnya kontrol penyiaran, terutama jika dilakukan siaran langsung atau live.Dapat dipercayaKepercayaan adalah kekuatan seorang jurnalis. Masyarakat maupun nara sumber tidak akan percaya kepada Anda jika Anda tidak dapat dipercaya, beritanya diplintir, sensasional, cedera janji, dan tidak akurat. Kredibilitas seorang jurnalis dan juga media penyiaran dapat diukur dari seberapa besar masyarakat mempercayai berita yang disiarkan. Jika beritanya penuh kebohongan pastilah berita itu akan ditinggalkan pemirsanya. Nara sumber pun tidak akan mau lagi diwawancarai.Salah satu tugas jurnalis adalah melindungi sumber berita. Karena itu jika seorang jurnalis diminta menjadi saksi di kepolisian ataupun pengadilan untuk memberitahukan sumber berita yang harus disembunyikan, haruslah tetap dipertahankan. Sebagai sebuah prinsip dipidana sekalipun harus dipegang. Dan inilah yang dilakukan HB Yasin ketika memperthankan sikapnya untuk tidak menyebut siapa Ki Paji Kusmin itu.ResponsifResponsif yang saya maksud di sini adalah sikap tanggap. Seorang jurnalis dengan sendirinya selalu tanggap dengan perkembangan peristiwa yang terjadi. Reporter tidak akan tinggal diam jika melihat bencana menimpa satu kaum yang memerlukan pertolongan dan memiliki nilai berita. Pendek kata, di manapoun berada, jurnalis harus menjadi penjaga gawang atas semua peristiwa di sekitarnya. Karena itu tidak perlu heran, jika seorang jurnalis yang sedang santai bersama keluarga di rumah makan, terpaksa harus meninggalkan keluarga dan mengambil kamera untuk meliput kebakaran. Inilah satu kondisi yang sering kita namakan kerja jurnalis adalah 24 jam! Bahwa kemudian, beritanya tidak dapat ditayangkan, karena sesuatu hal, itu soal lain, yang penting secara profesional telah kita tunjukkan pekerjaan seorang jurnalis!SensitifSensitif banyak maknanya. Ia bisa diartikan peka terhadap lingkungan alam dan sekitarnya, terhadap penderitaan banyak orang, dan peka terhadap isu-isu yang berkembang di masyarakat. Setiap jurnalis mustilah terus “membaca” dan mengikuti perkembangan berita. Setiap jurnalis mustilah terjun langsung bersama masyarakat agar tahu betul apa yang terjadi di lapangan, dan agar berita yang disampaikan mengenai sasaran.Jika seorang jurnalis sedang meliput peristiwa traumatik, maka ia akan mempertimbangkan betul dampak yang timbul dari aktivitas jurnalistiknya. Artinya sang jurnalis akan mempertimbangkan betul apa yang akan dilakukan, jangan sampai berakibat buruk terhadap masa depan keselamatan jiwa korban atau bahkan mungkin menambah trauma di kemudian hari akibat pemberitaan dan kelakuan jurnalis di lapangan. Atau bahkan mungkin akan menimbulkan konflik susulan di kemudian hari. Bahasa yang menghakimi, menyudutkan dan berita yang tidak berimbang biasanya menjadi pemicunya.Terus mencari kebenaranSemua orang sudah mafhum bahwa kebenaran yang kita sampaikan adalah kebenaran relatif, dan ada banyak pihak lain yang mengklaim sebagai dirinyalah yang benar. Dan kita tahu hanya DIA-lah yang memiliki kebenaran mutlak adanya. Karena itu kita terus dituntut mencari kebenaran. Itu pula sebabnya apa yang akan kita publikasikan harus memiliki dasar yang kuat. Dalil-dalil, nara sumber yang kompeten, nara sumber yang memiliki kredibilitas dan fakta-fakta yang ditemukan di lapangan, -- pendek kata mengikuti prinsip jurnalistik-- akan menentukan sejauh mana berita anda dinilai sebagai kebenaran oleh publik. Dan pada akhirnya, kepercayaan publik juga akan lahir dari sini.Selalu ingin tahuSatu hal yang harus diingat adalah bahwa wartawan juga harus memiliki sikap dasar ingin tahu (curiosity) yang tinggi. Ini modal untuk terus menerus mencari kebenaran. Ketika reporter melihat rumah di jalur hijau digusur, tentu dia harus bertanya mengapa digusur, apakah ada peringatan sebelumnya, apakah ada ganti rugi? Untuk apa peruntukan lahan di sana, dan sebagainya. Jika ini dikembangkan terus maka akan jadi sebuah laporan yang menarik. Seorang wartawan melihat tiga orang debitur BLBI datang ke istana, harus dilihat dengan penuh kecurigaan. Ada apa pengemplang BLBI datang ke istana, dan apaklah presiden SBY menerimanya? Mengapa harus diantar Kapolri? Begitulah seterusnya. Pendek kata, sikap kritis, dan sikap ingin tahu akan membentuk watak dasar wartawan yang baik.Pemimin redaksi antv Karni Ilyas dalam berbagai kesempatan menegaskan bahwa setiap reporter antv dan kontributor, harus memegang teguh pada empat hal, yakni cepat, kredibel, anti korupsi dan kritis.CepatCepat di sini banyak maknanya. Cepat bukan hanya berarti cepat bertindak ketika terjadi peristiwa tetapi juga cepat mengirimkan beritanya ke redaksi. Reporter antv tidak perlu menunggu perintah jika terjadi peristiwa yang memiliki nilai berita. Yang diperlukan adalah koordinasi, karena produser atau kordinator liputan akan memberikan masukan mengenai angel maupun visi yang perlu dikembangkan.KredibelSalah satu cara agar tayangan berita televisi dipercaya pemirsa adalah kalau ia tidak melakukan kesalahan. Kesalahan nama pada orang yang diwawancarai, kesalahan tempat dan waktu, serta data lain yang substansial, dapat menghancurkan reputasio reporter, program dan stasiun televisi yang memberitakan. Karena itu selalu diingatkan agar reporter selalu cek dan cek kembali mengenai data-data tersebut. Demikian juga ketika berita diproduksi, tidak boleh ada kesalahan.Kredibilitas sebuah berita juga ditentukan oleh orang yang meliput dan menggawangi liputan. Reporter yang terlibat dalam suatu partai atau LSM biasanya akan terpengaruh oleh sikap partai atau LSM. Intinya, idiologi dan sikap partai dan LSM dapat mempengaruhi objektifitas si reporter dan produser. Karena itu diingatkan agar setiap jurnalis tidak diperbolehkan ikut menjadi anggota partai ataupun LSM, karena dikhawatirkan akan mempengaruhi objektifitas terhadap berita.Anti KorupsiIni adalah idiologi stasiun televisi. Anti korupsi dalam segala lini, mulai dari bagian iklan, hingga redaksi pemberitaan. Kebiasaan memberikan upeti agar orang lain berbuat sesuatu, harus ditinggalkan, karena ini sumber kebocoran dan inefisiensi. Khusus di pemberitaan, maka siapapun tidak boleh menerima amplop yang berkaitan dengan liputan atau pemberitaan. Selain bertentangan dengan etika jurnalistik, juga akan berpengaruh terhadap objektifitas pemberitaan, dan menjadi kebiasaan. Karena itu Pemimpin redaksi akan memecat siapapun yang ketahuan menerima amplop, tanpa pemberitahuan lebih dahulu.KritisSikap kritis ini harus diterapkan dalam semua peristiwa. Misalnya seorang guru yang bertahan mengajar di lokasi tanah di Blok-M yang akan dibebaskan oleh Pemda DKI Jakarta (Kasus Nurlela), kita tidak harus membela Nurlela karena dia yang salah. Meskipun, banyak anak-anak yang dikoordinir dan tetap bersekolah di halaman sekolah karena sekolahnya digembok. Termasuk harus kritis juga terhadap kejadian apapun yang kelihatannya perlu dibela. Karena bisa jadi orang lemah dan miskin diperalat oleh mereka yang hendak mencari keuntungan dari kemiskinan itu.[1] Torben Brandt, Eric Sasono, Arya Gunawan (editor), Jurnlisme Radio: Sebuah Panduan Praktis, Diterbitkan atas kerjasama UNESCO dan Kedutaan Besar Jerman (2001) halaman 25.
Label: Artikel, foto, video
Reportase dan Produksi Berita TV
Selasa, Maret 18, 2008
Wartawan Bukan Profesi Kere
15/03/08 13:55
Tarman Azzam: Wartawan Bukan Profesi KereSurabaya (ANTARA News) - Ketua Umum PWI Pusat, Tarman Azzam mengemukakan bahwa wartawan bukan profesi kere, melainkan pekerjaan mulia yang fungsi dan perannya tidak kalah penting dibandingkan dengan pejabat pemerintah."Wartawan adalah profesi mulia dan merupakan pekerjaan intelektual. Wartawan bukan pekerjaan yang sekedar mencari makan. Kalau sekedar mencari makan, petani, tukang becak pun bisa makan," katanya pada peringatan hari pers dan pelantikan pengurus PWI Jatim di Surabaya, Sabtu.Pria asal Bangka Belitung itu mengemukakan, tugas wartawan salah satunya adalah mengontrol pejabat eksekutif maupun legislatif dalam menjalankan tugasnya, apakah mereka masih melayani rakyat atau tidak."Karena itu, tugas kita sama mulianya dengan bupati, walikota, gubernur dan pejabat lainnya dalam membawa bangsa ini menuju kemakmuran. Kita adalah khalifah Allah di muka bumi dan tugas wartawan itu merupakan bagian dari khalifah tersebut," katanya berapi-api.Pada kesempatan itu, ia mengemukakan bahwa wartawan harus menjalankan tugasnya secara profesional dengan mengedepankan etika dan kemampuan intelektualnya dalam menjalankan tugas peliputan.Ia juga mengungkapkan, kerasahannya mengenai perjalanan bangsa Indonesia yang hingga kini masih dalam keadaan terpuruk secara ekonomi. Karena itu, ia mengajak semua pihak untuk bersatu padu dalam bersama-sama membangun negeri."Untuk mencapai kemakmuran secara ekonomi kita butuh waktu berpuluh-puluh tahun, itupun kalau kita semua akur dan saling bekerja sama. Tapi kalau kita bertengkar terus (cakar-cakaran), tidak tahu lah kita," katanya menegaskan.Sementara Ketua PWI Jatim periode 2008-2012, Dhimam Abror Juraid meminta agar wartawan yang tergabung dalam PWI tidak menjadi tim sukses dalam pemilihan kepala daerah, baik gubernur maupun bupati dan walikota. "Itulah aturan yang ditetapkan oleh PWI. Kita jaga independensi dan netralitas," katanya. Pelantikan pengurus dan peringatan hari pers itu dihadiri sejumlah tokoh di Jatim, yakni, Ketua Umum PKNU Choirul Anam, mantan Gubernur Jatim, Basofi Soedirman yang sempat menyumbang suaranya dengan lagu "Tidak Semua Laki-laki", Ketua DPRD Jatim, Fathorrasjid serta Kepala Dinas Infokom Pemprov Jatim, Soewanto.Dalam kesempatan ini juga diserahkan hadiah kepada para jurnalis di Jatim piala "Prapanca", untuk katagori foto dan tulis.(*)
COPYRIGHT © 2008
Tarman Azzam: Wartawan Bukan Profesi KereSurabaya (ANTARA News) - Ketua Umum PWI Pusat, Tarman Azzam mengemukakan bahwa wartawan bukan profesi kere, melainkan pekerjaan mulia yang fungsi dan perannya tidak kalah penting dibandingkan dengan pejabat pemerintah."Wartawan adalah profesi mulia dan merupakan pekerjaan intelektual. Wartawan bukan pekerjaan yang sekedar mencari makan. Kalau sekedar mencari makan, petani, tukang becak pun bisa makan," katanya pada peringatan hari pers dan pelantikan pengurus PWI Jatim di Surabaya, Sabtu.Pria asal Bangka Belitung itu mengemukakan, tugas wartawan salah satunya adalah mengontrol pejabat eksekutif maupun legislatif dalam menjalankan tugasnya, apakah mereka masih melayani rakyat atau tidak."Karena itu, tugas kita sama mulianya dengan bupati, walikota, gubernur dan pejabat lainnya dalam membawa bangsa ini menuju kemakmuran. Kita adalah khalifah Allah di muka bumi dan tugas wartawan itu merupakan bagian dari khalifah tersebut," katanya berapi-api.Pada kesempatan itu, ia mengemukakan bahwa wartawan harus menjalankan tugasnya secara profesional dengan mengedepankan etika dan kemampuan intelektualnya dalam menjalankan tugas peliputan.Ia juga mengungkapkan, kerasahannya mengenai perjalanan bangsa Indonesia yang hingga kini masih dalam keadaan terpuruk secara ekonomi. Karena itu, ia mengajak semua pihak untuk bersatu padu dalam bersama-sama membangun negeri."Untuk mencapai kemakmuran secara ekonomi kita butuh waktu berpuluh-puluh tahun, itupun kalau kita semua akur dan saling bekerja sama. Tapi kalau kita bertengkar terus (cakar-cakaran), tidak tahu lah kita," katanya menegaskan.Sementara Ketua PWI Jatim periode 2008-2012, Dhimam Abror Juraid meminta agar wartawan yang tergabung dalam PWI tidak menjadi tim sukses dalam pemilihan kepala daerah, baik gubernur maupun bupati dan walikota. "Itulah aturan yang ditetapkan oleh PWI. Kita jaga independensi dan netralitas," katanya. Pelantikan pengurus dan peringatan hari pers itu dihadiri sejumlah tokoh di Jatim, yakni, Ketua Umum PKNU Choirul Anam, mantan Gubernur Jatim, Basofi Soedirman yang sempat menyumbang suaranya dengan lagu "Tidak Semua Laki-laki", Ketua DPRD Jatim, Fathorrasjid serta Kepala Dinas Infokom Pemprov Jatim, Soewanto.Dalam kesempatan ini juga diserahkan hadiah kepada para jurnalis di Jatim piala "Prapanca", untuk katagori foto dan tulis.(*)
COPYRIGHT © 2008
Label: Artikel, foto, video
Jurnalisme infotainment
Wartawan Bukan Profesi Eksklusif
Kamis, 23 Oktober 2003
Tjipta Lesmana
PADA bulan Oktober 2001, di depan peserta seminar yang diselenggarakan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), saya mengemukakan pendapat, kebebasan pers Indonesia sebenarnya sudah kebablasan. UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers adalah salah satu undang-undang pers yang paling bebas di dunia. Dalam seminar itu juga tampil sebagai pembicara Jakob Oetama, Pemimpin Umum Kompas; DH Assegaff, ilmuwan komunikasi; Inspektur Jenderal (Pol) Saleh Saaf, Kepala Badan Hubungan Masyarakat Polri dan Ishadi SK, seorang praktisi pertelevisian.
BANYAK orang, terutama wartawan, tidak sependapat, bahkan tidak senang dengan penilaian saya. Jakob Oetama senyum-senyum mendengar tudingan saya. Dalam forum itu Jakob mengingatkan segenap insan pers, dalam kebebasan (pers) melekat pertanggungjawaban.
Keduanya harus berjalan seimbang. Di berbagai kesempatan saya tetap "berkhotbah" bahwa kebebasan pers kita memang sudah kebablasan!
Di depan para peserta perwira Pendidikan dan Latihan Reserse Kriminal Polri di Megamendung, 3 Oktober 2003, saya mengemukakan wartawan kita, sebagian, merasa dirinya paling hebat, paling benar, dan paling dibutuhkan negara. Bahkan, ada kesan wartawan itu manusia yang tak tersentuh hukum.
Semua ini tampaknya merupakan ekses negatif dari eforia reformasi. Dalam alam reformasi, pers nasional kembali ke alam liberal, mirip pada zaman pers liberal tahun 1950-1959.
Dan, pers menurut teori libertarian, seperti ditulis Siebert (Four Theories of the Press), merasa berhak menikmati kebebasan mutlak. Berita, bagi penganut pers liberal, tidak lain, anything that fits to print. Pokoknya, apa saja menurut wartawan layak dipublikasikan, itulah berita. Maka, mutlak diberitakan kepada publik. Kalaupun berita itu salah, wartawan tetap tidak bisa disalahkan.
Namun, teori libertarian sudah usang. Bahkan di AS, negara kelahirannya, teori ini tidak lagi dipraktikkan, sebab mendapat banyak kecaman dari teoritisi dan praktisi pers sendiri. Sejak setengah abad lalu, teori ini telah diganti teori pertanggungjawaban sosial yang intinya seperti apa yang dikatakan Jakob Oetama: kebebasan pers dan pertanggungjawaban sosial harus berjalan beriringan.
Pers harus mempertanggungjawabkan tiap berita, tiap tulisan yang dipublikasikan kepada publik. Bila tidak bisa? Hukum akan berbicara!
Salah satu pandangan keliru yang dianut wartawan penganut teori libertarian adalah, pers takkan mampu menjalankan fungsinya secara baik dan independen bila pemerintah dapat menjeratnya di pengadilan karena tulisan yang dibuatnya. Padahal pers mempunyai peran vital dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pers merupakan alat kontrol sosial yang penting; tanpa kehadiran pers yang bebas, demokrasi takkan hidup, apalagi berkembang.
Persepsi untouchable tampak dari reaksi sejumlah insan dan pengamat pers atas delik pers yang dihadapi dua harian Ibu Kota. Mereka mempertanyakan (a) Mengapa wartawan diseret ke pengadilan. Bukankah dalam UU Pers sudah diatur mekanisme penyelesaian delik pers? (b) Mengapa jaksa/penuntut umum menggunakan pasal dalam KUHP, bukan UU Pers; (c) Mengapa wartawan yang bersalah harus dihukum penjara, tidak cukup dikenakan denda. Di luar negeri, wartawan yang bersalah tidak bisa dikenakan criminal laws, sehingga tidak bisa dipenjara.
Benarkah demikian?
Di AS pun, wartawan yang dituduh memfitnah seseorang atau satu institusi melalui tulisannya bisa dimeja-hijaukan dan dihukum. Dalam putusannya terhadap delik pers New York Times versus Sullivan pada 1964, Mahkamah Agung AS dengan tegas mengatakan: "Public officials no longer could sue successfully for liberal unless reporters or editors were guilty of actual malice when publishing false statements about them." Ini berarti wartawan bisa dituntut secara hukum jika tulisannya ternyata tidak benar dan wartawan bersangkutan tidak mempunyai upaya untuk mengecek kebenaran informasi yang diperolehnya.
Istilah malice menjadi kunci penentu apakah wartawan bisa dituntut atau tidak. Majelis Hakim Agung yang mengadili delik New York Times versus Sullivan mengartikan malice sebagai "knowledge that (the publishing information) was false or that it was published with reckless disregard of whether it was false or not." (Ia tahu, informasi itu tidak benar, atau kalaupun tidak tahu tapi ia bersikap ceroboh untuk tidak mau mengecek terlebih dahulu kebenaran dari informasi yang diberitakannya).
Dengan demikian, dalam delik pers penghinaan, yang dibuktikan lebih dulu adalah (a) Apakah berita itu benar atau salah; (b) Apakah ada kesengajaan bagi wartawan untuk memberitakan informasi yang sebenarnya diketahui tidak benar dan (c) Apakah ia sama sekali tidak menempuh upaya untuk mengecek kebenaran informasi yang diberitakan. Tuduhan menghina terbukti manakala salah satu unsur tadi bisa dibuktikan.
Di AS, setiap tahun ratusan kasus delik penghinaan (libel) menimpa penerbitan koran, majalah, dan radio. Sebagian terbukti, sebagian lagi tidak. Jika terbukti, hukuman denda yang ditanggung tergugat umumnya amat berat. Bulan Mei 1991, misalnya, seorang pengusaha di Chicago, Robert Crinkley, memperkarakan harian Wall Street Journal.
Sebuah tulisan di koran ini menuduh Robert menyuap sejumlah pejabat asing. Wall Street Journal kalah dan harus membayar ganti rugi 2,25 juta dollar AS. Seorang Hakim Agung di Mahkamah Agung Pennsylvania marah dan menuntut Harian Philadelphia Inquiry yang menuduhnya menerima suap dalam sebuah kasus yang ditanganinya pada 1983. Setelah menjalani proses hukum cukup lama, Hakim Agung itu memenangkan perkara dengan menerima ganti rugi sebesar 6 juta dollar AS.
Barangkali contoh klasik dari delik penghinaan yang menimpa pers AS adalah gugatan hukum Jenderal Westmoreland, mantan panglima pasukan AS di Vietnam atas stasiun televisi CBS. Westmoreland naik pitam karena CBS menayangkan serangkaian reportase yang intinya menuduh sang Jenderal memberi laporan menyesatkan kepada Gedung Putih sehingga Pemerintah AS membuat kebijakan perang Vietnam yang keliru.
Setelah melewati proses hukum cukup melelahkan, CBS akhirnya mengalah dan bersedia membayar kompensasi yang tidak kecil kepada Westmoreland, selain minta maaf secara terbuka.
Di luar AS, jumlah delik pers penghinaan amat banyak. Di Korea Selatan (1999), 12 jaksa menuntut Harian Chosun Libo, karena menuduh mereka melakukan penyadapan dalam satu sidang pengadilan. Harian itu didenda 180 juta won.
Di Polandia, Presiden Aleksander Kwasniewski memperkarakan Harian Zycie, karena merasa namanya tercemar gara-gara tulisan di koran itu yang menuding sang Presiden menikmati liburan bersama seorang perwira intel Rusia bernama Alganov.
Pertanyaan kita, bagaimana bila ada penerbitan pers kita yang dinilai telah melakukan tindak pidana penghinaan karena tulisan atau reportase yang dipublikasikannya? Praktisi pers dan sejumlah ahli hukum menuntut semua delik pers supaya diselesaikan dengan berpedoman pada UU No 40/1999 tentang Pers. Bukan sesuai asas Lex Specialis?
Bila tidak demikian, buat apa kita membuat UU Pers? Sayang, orang-orang pers lupa, jaksa dan hakim kita tidak bodoh. Mengapa? Karena UU No 40 /1999 hanya mengatur "3 kejahatan" yang bisa dilakukan pers, yaitu pelanggaran terhadap norma agama, norma susila, dan prinsip praduga tak bersalah (Pasal 5 Ayat 1). Bila wartawan dinilai melakukan fitnah atau menghina, lalu jaksa tetap menggunakan pasal dalam UU No 40 Tahun 1999, wartawan itu akan lolos dari jeratan hukum!
Untuk itu, jaksa dan hakim "terpaksa" menggunakan pasal KUHP, yaitu Pasal 310 bis. Sikap itu jelas, dan sah. Bukankah pasal-pasal dalam KUHP selalu didahului kata "Barangsiapa"? "Barangsiapa" mengandung makna setiap saja, tanpa kecuali, apakah dia presiden, tukang becak, tentara atau wartawan.
Pokoknya, bila "barangsiapa" terbukti melakukan tindak pidana, dia harus dihukum. Bukankah negara kita berasas hukum? Tiap warga negara berkedudukan sama di muka hukum?
Masalahnya, banyak wartawan diam-diam menganggap dirinya hebat, dan amat penting bagi kehidupan negara sehingga tidak bisa dituntut hukum. Kalaupun wartawan bersalah, ya, diselesaikan oleh wartawan sendiri (via Dewan Pers).
Bukankah masyarakat yang merasa dirugikan bisa menggunakan hak jawab? Sedang pers wajib melayani hak jawab? Wartawan pura-pura lupa, ralat yang dipasang pers terlalu sering tidak proporsional dan mengalami time lag cukup lama, sehingga penghinaan itu sudah merangsak kuat dalam otak publik. Lagipula, sesuai teori first order dalam ilmu komunikasi, substansi ralat biasanya kurang dipercaya masyarakat.
Tjipta Lesmana Dosen "Etika dan Filsafat Komunikasi" Universitas Bung Karno, Jakarta
Label: Artikel, foto, video
Jurnalisme infotainment
Ribut Jurnalisme Infotainment, dari kasus Nicky Astria
26.08.04 04:40
Liputan6.com, Jakarta: Nicky Astria benar-benar marah. Kaca mobil roker asal Bandung ini tidak bisa ditutup karena terhalang mik wartawan hiburan alias infotainment. Berkali-kali ibu dua anak itu meminta wartawan bertanya pada pengacaranya soal perceraian keduanya. Namun, wartawan malah mendesak. Bahkan ada yang menggedor-gedor mobil Nicky dan mengomel dengan suara keras. "Jangan kayak preman dong... Memang ada dalam undang-undang saya harus buka masalah pribadi saya," kata Nicky tak kalah keras.Begitulah cuplikan satu dari deretan kisah wartawan mendesak artis agar buka mulut soal berita miring yang menderanya. Masalah itu diangkat dalam Topik Minggu Ini bertajuk Jurnalisme Infotainment untuk Siapa? yang dipandu oleh reporter SCTV Rosianna Silalahi di Jakarta, Rabu (25/8) malam. Peserta diskusi dibagi dalam dua kubu, yakni artis dan mereka yang kerap menjadi bulan-bulanan tayangan hiburan. Ada Ulfa Dwiyanti, Eko Patrio, Raslina Rasyidin, Ray Sahetapy, Anwar Fuady, Tengku Firmansyah, dan Henry Yosodiningrat.Meja lain diisi oleh pengusaha infotainment, masing-masing Ilham Bintang dan Firman Bintang dari Bintang Advis Media, Gandung mewakili Rumah Produksi Shandika, dan Robby Winarko dari Indigo. Hadir juga Bayu dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Syaefurrahman al Banjary dari Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), dan Mayong Suryo Leksono, wartawan sekaligus selebritas.Semua peserta diskusi sepakat bahwa kejadian yang menimpa Nicky sudah tergolong pelanggaran jurnalisme. Mayong melihat bahwa masalah ini terjadi karena masing-masing pihak tidak menyadari definisi wilayah publik dan privasi. "[Masak sumber] harus ngomong, kan gila ini," ujar presenter sebuah televisi swasta ini, geleng-geleng kepala.Kejadian yang sama terjadi pada kasus Parto Patrio. Pelawak yang kondang dengan dialek Tegal ini menembakkan pistol berpeluru karet ke atap sebuah kafe untuk membubarkan kerumunan wartawan yang penasaran mengorek pernikahan keduanya. Eko Patrio, tuan rumah acara itu juga tak menyangka pesta ulang tahun anaknya diwarnai insiden. "Jangan lupa, Parto yang melaporkan ke polisi malam itu juga," kata presenter sekaligus pemilik tayanyan hiburan Eko Ngegosip ini.Wartawan tidak berhak memaksa sumber bicara. Menjadi publik figur tidak otomatis membuat si artis atau tokoh harus bercerita tentang masalah-masalah pribadinya. Wajar jika Nicky mempertanyakan nurani wartawan yang mengerubunginya selesai sidang pertama perceraiannya dua pekan silam. Ilham Bintang dan Fany Rahmasari--produser Cek & Ricek--yang menonton tayangan ini mengaku mencak-mencak dan menyemprit wartawannya yang termasuk dalam kerumunan yang mencegat Nicky.Syaefurrahman bersuara lebih lantang. Dia berpendapat, bahwa persoalan ini menunjukkan kekerasan yang dilakukan orang-orang yang bernama wartawan. Namun, dia melihat kerumunan itu bukan wartawan tapi orang-orang yang bekerja untuk industri hiburan. "Mereka bukan wartawan dan jurnalis," kata Syaefurrahman. Di mata dia, wartawan adalah mereka yang bekerja di lembaga penyiaran. "Ini penghinaan pada wartawan, apalagi ketika Nicky dengan santun mengatakan nuranimu di mana," kata dia.Sebaliknya, Anwar Fuady mengatakan diburu wartawan adalah risiko para artis. Sebab, semua orang ingin tahu tentang artis idolanya. Ulfa yang pernah beberapa kali dikejar pers lantaran perceraiannya sependapat dengan Anwar. Meski begitu, terus terang komedian yang laris manis sebagai bintang iklan itu melihat banyaknya tayangan infotainment memacu reporter untuk bertindak kejam pada sumber. Dia bahkan mengaku paranoid pada wartawan hiburan. Henry Yoso mencermati infotainment dibuat untuk pengusaha berita hiburan dan yang suka gosip. Idealnya, tayangan ini berisi informasi, hiburan, dan pendidikan. Namun, yang terjadi belakangan malah jauh dari tiga kriteria itu. "Kalau tidak menjawab dikatakan tidak koperatif sehingga ada kesan mau menjatuhkan reputasi seseorang," kata dia.Rata-rata para peserta diskusi tidak mau masalah pribadi mereka menjadi obrolan nasional. Wajar jika Ray kesal pada wartawan yang menguber-uber anak Astuti--calon istri keduanya--yang sama sekali tidak terkait dengan perceraian dia dengan artis Dewi Yull.Sebagai orang teater, Ray memang belajar cara menghadapi wartawan. Meski begitu, melihat kerumunan di bandar udara, pemimpin Teater Oncor ini kelabakan juga. Meski begitu dia tetap memberi konferensi pers. Dia mengaku telah menjawab semua pertanyaan dengan jujur. Namun, berita yang ditayangkan justru jauh dari apa yang dikatakan. "Narasinya menyesatkan," kata dia.Henry juga mengaku sering berada dalam keadaan terdesak, entah sebagai pengacara artis maupun tokoh yang cukup sering berseliweran di layar kaca. Padahal, tidak semua fakta untuk konsumsi publik, meski mereka adalah publik figur. Dia meminta agar kedua pihak saling menghargai kepentingan masing-masing untuk mencegah pertikaian.Fany mengingatkan, infotainment juga menjadi medium untuk mengklarifikasi isu sumbang yang beredar di masyarakat. Apalagi, tak sedikit rumor yang diangkat datang dari artis sendiri. Contohnya, istri seorang pengacara menelepon Cek & Ricek soal perkawinan kedua suaminya. Ilham menambahkan, tak sedikit artis yang menghubungi wartawan infotainment, termasuk minta diliput soal ngidam misalnya. "Ayo dong saya mau nyumbang nih," kata Ilham, menirukan salah satu artis.Bayu dari AJI mengatakan, persoalan ini bisa selesai jika baik artis maupun wartawan sepakat soal ruang publik yang bisa diutak-atik dan benar-benar tidak boleh disentuh. Syaefurrahman menambahkan, semua pemberitaan harus mengacu pada kepentingan publik. Sebut saja, mengangkat skandal perselingkuhan artis dan pejabat yang sampai menggunakan fasilitas negara. Anwar Fuady menyerocos, "Kejadian seperti ini baru bisa terjadi empat tahun sekali."Ilham, Gandung, Firman, Eko, dan Robby menegaskan bahwa tidak semua wartawan infotainment berlaku seenaknya pada narasumber. Sebab, mereka direkrut melalui seleksi ketat dan mendapat pembekalan soal kode etik jurnalistik. Di saat yang sama, mereka dituntut oleh stasiun televisi untuk menampilkan berita panas soal selebritas. Tidak lucu juga bila pemirsa lebih banyak menonton tayangan berisi jawaban no comment.Namun, mereka tidak menampik bahwa pelanggaran bisa saja terjadi di lapangan. Gandung mengatakan, jika sumber menolak memberi komentar, mau tak mau wartawan harus mundur. "Kalau diteruskan itu namanya preman," kata dia.Bayu menjelaskan, artis yang mendapat perlakuan tidak nyaman bisa menyampaikan komplain pada rumah produksi yang bersangkutan. Masyarakat juga perlu tahu sanksi yang diberikan oleh PH tertentu pada wartawan yang mempraktikkan premanisme.Mayong sepakat dengan Bayu. Suami artis Nurul Arifin ini menegaskan, selain merumuskan kembali definisi ruang publik, persaingan antarinfotainment bukan alasan untuk menyakiti hati dan merusak wilayah pribadi orang. "Jangan sampai menjadikan rating atau oplah sebagai alat ukur atau panglima."(TNA)
Label: Artikel, foto, video
Jurnalisme infotainment
Langganan:
Postingan (Atom)