Selasa, Maret 18, 2008

Wartawan Bukan Profesi Eksklusif


Kamis, 23 Oktober 2003

Tjipta Lesmana
PADA bulan Oktober 2001, di depan peserta seminar yang diselenggarakan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), saya mengemukakan pendapat, kebebasan pers Indonesia sebenarnya sudah kebablasan. UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers adalah salah satu undang-undang pers yang paling bebas di dunia. Dalam seminar itu juga tampil sebagai pembicara Jakob Oetama, Pemimpin Umum Kompas; DH Assegaff, ilmuwan komunikasi; Inspektur Jenderal (Pol) Saleh Saaf, Kepala Badan Hubungan Masyarakat Polri dan Ishadi SK, seorang praktisi pertelevisian.
BANYAK orang, terutama wartawan, tidak sependapat, bahkan tidak senang dengan penilaian saya. Jakob Oetama senyum-senyum mendengar tudingan saya. Dalam forum itu Jakob mengingatkan segenap insan pers, dalam kebebasan (pers) melekat pertanggungjawaban.
Keduanya harus berjalan seimbang. Di berbagai kesempatan saya tetap "berkhotbah" bahwa kebebasan pers kita memang sudah kebablasan!
Di depan para peserta perwira Pendidikan dan Latihan Reserse Kriminal Polri di Megamendung, 3 Oktober 2003, saya mengemukakan wartawan kita, sebagian, merasa dirinya paling hebat, paling benar, dan paling dibutuhkan negara. Bahkan, ada kesan wartawan itu manusia yang tak tersentuh hukum.
Semua ini tampaknya merupakan ekses negatif dari eforia reformasi. Dalam alam reformasi, pers nasional kembali ke alam liberal, mirip pada zaman pers liberal tahun 1950-1959.
Dan, pers menurut teori libertarian, seperti ditulis Siebert (Four Theories of the Press), merasa berhak menikmati kebebasan mutlak. Berita, bagi penganut pers liberal, tidak lain, anything that fits to print. Pokoknya, apa saja menurut wartawan layak dipublikasikan, itulah berita. Maka, mutlak diberitakan kepada publik. Kalaupun berita itu salah, wartawan tetap tidak bisa disalahkan.
Namun, teori libertarian sudah usang. Bahkan di AS, negara kelahirannya, teori ini tidak lagi dipraktikkan, sebab mendapat banyak kecaman dari teoritisi dan praktisi pers sendiri. Sejak setengah abad lalu, teori ini telah diganti teori pertanggungjawaban sosial yang intinya seperti apa yang dikatakan Jakob Oetama: kebebasan pers dan pertanggungjawaban sosial harus berjalan beriringan.
Pers harus mempertanggungjawabkan tiap berita, tiap tulisan yang dipublikasikan kepada publik. Bila tidak bisa? Hukum akan berbicara!
Salah satu pandangan keliru yang dianut wartawan penganut teori libertarian adalah, pers takkan mampu menjalankan fungsinya secara baik dan independen bila pemerintah dapat menjeratnya di pengadilan karena tulisan yang dibuatnya. Padahal pers mempunyai peran vital dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pers merupakan alat kontrol sosial yang penting; tanpa kehadiran pers yang bebas, demokrasi takkan hidup, apalagi berkembang.
Persepsi untouchable tampak dari reaksi sejumlah insan dan pengamat pers atas delik pers yang dihadapi dua harian Ibu Kota. Mereka mempertanyakan (a) Mengapa wartawan diseret ke pengadilan. Bukankah dalam UU Pers sudah diatur mekanisme penyelesaian delik pers? (b) Mengapa jaksa/penuntut umum menggunakan pasal dalam KUHP, bukan UU Pers; (c) Mengapa wartawan yang bersalah harus dihukum penjara, tidak cukup dikenakan denda. Di luar negeri, wartawan yang bersalah tidak bisa dikenakan criminal laws, sehingga tidak bisa dipenjara.
Benarkah demikian?
Di AS pun, wartawan yang dituduh memfitnah seseorang atau satu institusi melalui tulisannya bisa dimeja-hijaukan dan dihukum. Dalam putusannya terhadap delik pers New York Times versus Sullivan pada 1964, Mahkamah Agung AS dengan tegas mengatakan: "Public officials no longer could sue successfully for liberal unless reporters or editors were guilty of actual malice when publishing false statements about them." Ini berarti wartawan bisa dituntut secara hukum jika tulisannya ternyata tidak benar dan wartawan bersangkutan tidak mempunyai upaya untuk mengecek kebenaran informasi yang diperolehnya.
Istilah malice menjadi kunci penentu apakah wartawan bisa dituntut atau tidak. Majelis Hakim Agung yang mengadili delik New York Times versus Sullivan mengartikan malice sebagai "knowledge that (the publishing information) was false or that it was published with reckless disregard of whether it was false or not." (Ia tahu, informasi itu tidak benar, atau kalaupun tidak tahu tapi ia bersikap ceroboh untuk tidak mau mengecek terlebih dahulu kebenaran dari informasi yang diberitakannya).
Dengan demikian, dalam delik pers penghinaan, yang dibuktikan lebih dulu adalah (a) Apakah berita itu benar atau salah; (b) Apakah ada kesengajaan bagi wartawan untuk memberitakan informasi yang sebenarnya diketahui tidak benar dan (c) Apakah ia sama sekali tidak menempuh upaya untuk mengecek kebenaran informasi yang diberitakan. Tuduhan menghina terbukti manakala salah satu unsur tadi bisa dibuktikan.
Di AS, setiap tahun ratusan kasus delik penghinaan (libel) menimpa penerbitan koran, majalah, dan radio. Sebagian terbukti, sebagian lagi tidak. Jika terbukti, hukuman denda yang ditanggung tergugat umumnya amat berat. Bulan Mei 1991, misalnya, seorang pengusaha di Chicago, Robert Crinkley, memperkarakan harian Wall Street Journal.
Sebuah tulisan di koran ini menuduh Robert menyuap sejumlah pejabat asing. Wall Street Journal kalah dan harus membayar ganti rugi 2,25 juta dollar AS. Seorang Hakim Agung di Mahkamah Agung Pennsylvania marah dan menuntut Harian Philadelphia Inquiry yang menuduhnya menerima suap dalam sebuah kasus yang ditanganinya pada 1983. Setelah menjalani proses hukum cukup lama, Hakim Agung itu memenangkan perkara dengan menerima ganti rugi sebesar 6 juta dollar AS.
Barangkali contoh klasik dari delik penghinaan yang menimpa pers AS adalah gugatan hukum Jenderal Westmoreland, mantan panglima pasukan AS di Vietnam atas stasiun televisi CBS. Westmoreland naik pitam karena CBS menayangkan serangkaian reportase yang intinya menuduh sang Jenderal memberi laporan menyesatkan kepada Gedung Putih sehingga Pemerintah AS membuat kebijakan perang Vietnam yang keliru.
Setelah melewati proses hukum cukup melelahkan, CBS akhirnya mengalah dan bersedia membayar kompensasi yang tidak kecil kepada Westmoreland, selain minta maaf secara terbuka.
Di luar AS, jumlah delik pers penghinaan amat banyak. Di Korea Selatan (1999), 12 jaksa menuntut Harian Chosun Libo, karena menuduh mereka melakukan penyadapan dalam satu sidang pengadilan. Harian itu didenda 180 juta won.
Di Polandia, Presiden Aleksander Kwasniewski memperkarakan Harian Zycie, karena merasa namanya tercemar gara-gara tulisan di koran itu yang menuding sang Presiden menikmati liburan bersama seorang perwira intel Rusia bernama Alganov.
Pertanyaan kita, bagaimana bila ada penerbitan pers kita yang dinilai telah melakukan tindak pidana penghinaan karena tulisan atau reportase yang dipublikasikannya? Praktisi pers dan sejumlah ahli hukum menuntut semua delik pers supaya diselesaikan dengan berpedoman pada UU No 40/1999 tentang Pers. Bukan sesuai asas Lex Specialis?
Bila tidak demikian, buat apa kita membuat UU Pers? Sayang, orang-orang pers lupa, jaksa dan hakim kita tidak bodoh. Mengapa? Karena UU No 40 /1999 hanya mengatur "3 kejahatan" yang bisa dilakukan pers, yaitu pelanggaran terhadap norma agama, norma susila, dan prinsip praduga tak bersalah (Pasal 5 Ayat 1). Bila wartawan dinilai melakukan fitnah atau menghina, lalu jaksa tetap menggunakan pasal dalam UU No 40 Tahun 1999, wartawan itu akan lolos dari jeratan hukum!
Untuk itu, jaksa dan hakim "terpaksa" menggunakan pasal KUHP, yaitu Pasal 310 bis. Sikap itu jelas, dan sah. Bukankah pasal-pasal dalam KUHP selalu didahului kata "Barangsiapa"? "Barangsiapa" mengandung makna setiap saja, tanpa kecuali, apakah dia presiden, tukang becak, tentara atau wartawan.
Pokoknya, bila "barangsiapa" terbukti melakukan tindak pidana, dia harus dihukum. Bukankah negara kita berasas hukum? Tiap warga negara berkedudukan sama di muka hukum?
Masalahnya, banyak wartawan diam-diam menganggap dirinya hebat, dan amat penting bagi kehidupan negara sehingga tidak bisa dituntut hukum. Kalaupun wartawan bersalah, ya, diselesaikan oleh wartawan sendiri (via Dewan Pers).
Bukankah masyarakat yang merasa dirugikan bisa menggunakan hak jawab? Sedang pers wajib melayani hak jawab? Wartawan pura-pura lupa, ralat yang dipasang pers terlalu sering tidak proporsional dan mengalami time lag cukup lama, sehingga penghinaan itu sudah merangsak kuat dalam otak publik. Lagipula, sesuai teori first order dalam ilmu komunikasi, substansi ralat biasanya kurang dipercaya masyarakat.
Tjipta Lesmana Dosen "Etika dan Filsafat Komunikasi" Universitas Bung Karno, Jakarta

Tidak ada komentar: