1. Mengapa Jurnalisme Televisi?
Televisi dalam era informasi saat ini telah mejadi saluran utama perkembangan peristiwa aktual dari berbagai belahan dunia. Orang tidak lagi harus menunggu sehari untuk dapat melihatnya. Dalam hitungan jam, bahkan kurang dari satu jam pun, atau saat itu juga, kita sudah dapat menyaksikan bencana yang terjadi di seberang sana. Serangan Israel terhadap pejang Hizbullah di Lebanon, atau Palestina, dapat diikuti beritanya dengan gambarnya sekaligus dalam beberapa jam. Bahkan ketika Amerika menyerang Irak, sejumlah stasiun televisi melakukan siaran langsung dari lokasi konflik, dan kita bisa menyaksikannya saat itu juga. Bagi yang tidak sempat melihat tayangan pun, masih dapat melihat hasil tayangan melalui website televisi yang menyediakan saluran multimedia (video, audio, bahkan naskahnya sekaligus).
Intinya, televisi menjadi salah satu media terpenting dan unggul dibanding media lain, seperti media cetak dan radio sekalipun. Karena keunggulannya inilah televisi menjadi media yang sangat penting untuk menyampaikan realitas sosiologis dan membangun opini publik. Banyak keputusan-keputusan politik besar di negeri ini, karena pemberitaan televisi. Sebaliknya banyak juga orang masuk penjara karena pemberitaan televisi.
Pendek kata banyak orang mendapat kabar baik dan buruk, atau menjadi merasa beruntung dan buntung, karena pemberitaan televisi. Itulah demokrasi yang coba disuarakan media televisi melalui kegiatan jurnalistik para wartawannya (jurnalisnya). Kegiatan jurnalisme yang benar akan menentukan kualitas pemberitaan. Sebaliknya kegiatan jurnalisme yang salah akan menyesatkan pemirsa.
Ada empat alasan mengapa kegiatan jurnalisme televisi menjadi penting. Pertama, karena alasan sosiologis. Realitas kebutuhan masyarakat saat ini adalah informasi yang aktual, cepat dan lengkap dengan suara, naskah dan gambar sekaligus. Dan televisi memberikan semua itu. Secara sosial pula saat in masyarakat telah mengetahui bahwa cara-cara mencapai tujuan antara lain dapat dilakukan melalui pemberitaan televisi. Televisi telah menjadi alat mencapai tujuan. Banyak aksi massa justru dilakukan bukan karena kesadaran sosial agar hak-hak mereka dipenuhi, melainkan karena adanya pesanan. Di sinilah jurnalis harus kritis dan objektif.
Kedua, alasan politis. Saat ini adalah eranya televisi. Saatini tidak ada lagi pembatasan pemberitaan, pemerintah mengontrol berita, hanya ada pada zaman orde baru. Dengan semakin banyaknya televisi nasional berdiri --bahkan saat ini juga lebih dari tiga lusin televisi lokal di berbagai daerah-- membuktikan bahwa potret demokrasi di negeri ini sedang tumbuh cepat. Secara politis, keberadaan televisi dengan pemberitaannya yang beragam membuktikan adanya kebjakan politik yang terbuka dan semua orang bebas berbicara serta mengeluarkan pendapat dengan lisan dan tulisan termasuk denga siaran televisi. Ini juga membuktikan bahawa pelaksanaan hak publik untuk mengetahui (public right to know). Dan karenanya, keragaman pemberitaan dengan prinsip-prinsip jurnalistik, harus dipertahankan agara hak publik akan informasi yang benar dapat terpenuhi.
Ketiga, alasan yuridis. Secara yuridis kegiatan jurnalistik telah dijamin keberadaannya. Undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers adalah landasannya. Undang-undang inilah yang memberikan landasan yuridis bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak sasasi warga negara; bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan dan pelarangan penyiaran. Jaminan hukum pula bahwa pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh dan menyampaikan gagasan dan informasi. Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyaihak tolak. Hak tolak adalah hak wartawan karena profesinya untuk menolak pengungkapan nama dan atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakannya. Undang-undang pers juga menyatakan dengan tegas bahwa dalam menjalankan profesinya, wartawan mendapat perlindungan hukum. Tetapi kenyataannya masih jauh dari harapan. Banyak wartawan menjadi korban kekerasan, banyak profesi wartawan dijadikan alat pemerasan. Karena itu pentaatan terhadap Kode Etik Jurnalistik menjadi penting adanya, dan organisasi wartawan wajib mnegakannya. Secara khusus Undang-undang Penyiaran nomor 32 tahun 2002 juga menegaskan bahwa wartawan penyiaran dalam melakasnakan kegiatan jurnalistik media elektronik tunduk kepada Kode Etik Jurnalistik dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Keempat adalah alasan kebutuhan praktis. Berdirinya stasiun televisi secara serentak sebelum dan pasca Undang-undang Penyiaran nomor 32 tahun 2002 ternyata tidak diimbangi oleh ketersediaan sumber daya manusia di bidang jurnalisme dan penyiaran yang profesonal atau paling tidak siap pakai. Lulusan perguruan tinggi dari jurusan komunikasi hampir tidak mampu mengikuti kebutuhan riil di dunia penyiaran. Bahkan materi perkuliahaan pun tidak sejalan dengan perkembangan teknologi penyiaran yang terus berubah. Selama ini tenaga profesi penyiaran banyak berasal dari latarbelakang pendidikan yang beragam dan tidak ada kaitannya dengan jurnalisme.
Stasiun televisi lebih memilih sarjana dengan latar elakang beragam karena aspek dan ruanglingkup liputan juga beragam, sehingga kedalaman liputan dan kemampuan memahami persoalan diharapkan akan lebih baik dibanding dengan reporter yang berasal dari lulusan komunikasi atau jurnalistik. Lulusan ekonomi akan lebih baik memahami persoalan ekonomi ketimbang lulusan non ekonomi. Demikian juga sajana hukum akan lebih baik pemahamannya jika diminta meliput masalah hukum. Sedangkan untuk meningkakan pengetahuan penyiaran dan teknis menulis berita televisi dilakukan dengan kursus singkat dan langsung praktek lapangan. Inilah praktek yang terjadi selama ini.
Kondisi keterbatasan sumber daya di saat pertumbuhan stasiun penyiaran televisi banyak bermunculan, meNgakibatkan tejadi saling bajak produser, kamerawan, penyiar, video editor dan lain-lain. Berdasarkan data di Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) tahun 2003, dari 1181 anggota IJTI, hanya 492 orang atau sekitar 41 % yang memiliki keterampilan dari pelatihan jurnalisme televisi. Selebihnya yang 689 orang atau sekitar 58 % tidak memiliki keterampilan dari pelatihan jurnalisme televisi. Itulah yang kemudian mendorong perlunya pendidikan khusus televisi, kursus-kursus penyiaran televisi, dan perlunya buku-buku pengalaman praktek bagaimana melakukan reportase dan memproduksi berita.
Sebagai tambahan data perlu juga dikemukakan di sini bahwa sejak lahirnya Undang-undang Penyiaran Nomor 32 tahun 2002, telah muncul ratusan televisi lokal. Peta pertelevisian akan berubah, karena menurut undang-undang ini, jasa penyairan radio dan televisi diselenggarakan oleh (a). Lembaga penyiaran publik; (b). Lembaga penyiaran swasta; (c) Lembaga penyiaran komunitas; dan (d) Lembaga Penyiaran berlangganan.
Lembaga penyiaran swasta nasional yang selama ini dimiliki oleh 10 stasiun televisi (RCTI, SCTV, TPI, antv, Indosiar, Metro TV, Trans TV, Global TV, TV-7 dan Lativi), nantinya akan menjadi televisi lokal. Jika siarannya ingin diterima lebih luas hingga diterima di daerah lain, maka televisi tersebut harus berjaringan dengan televisi lokal.
Menurut data Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI) hingga Agustus 2003, jumlah televisi lokal mencapai 50 stasiun, tersebar dari Papua hingga Pematang Siantar. Ini adalah jumlah yang tidak sedikit mengingat kelahirannya sangat singkat, mulai tahun 1997. Televisi lokal itu mengindikasikan tiga kategori: televisi komunitas, televisi komersial lokal, dan televisi publik daerah.
v Televisi lokal daerah (24 stasiun)
v Televisi publik daerah (18 stasiun)
v Televisi komunitas (7 stasiun)
Semua stasiun televisi tersebut umumnya membutuhkan jurnalis, karena salah satu fungsi televisi adalah sebagai media informasi. Dan karenanya program berita akan menjadi salah satu bagian yang dikerjakan oleh para jurnalis televisi.
Selama ini rata-rata stasiun televisi memiliki program berita mencapai 30%. Data tahun 1994 yang pernah dipublikasikan oleh Ishadi SK, TVRI menayangkan berita/penerangan mencapai 36,71%, RCTI 28,42%, TPI 24,12%, SCTV 35,28% dan antv 27,27%.
Saat ini komposisi muatan berita di sejumlah stasiun televisi tentu berubah-ubah, bahkan Metro TV hampir seluruhnya berisi berita. Tetapi inti dari semua itu adalah bahwa program berita televisi membutuhkan jurnalis yang memiliki kemampuan lebih dari jurnalis lainnya, karena jurnalis televisi bekerja untuk mata dan telinga. Bahkan dengan alasan efisiensi, nantinya jurnalis televisi akan bekerja sendiri. Ia seorang reporter, juga kamerawan dan editor gambar sekaligus. Bahkan ada kecenderungan reporter televisi bisa mengisi dua media sekaligus, yakni media cetak dan radio, bahkan internet sekaligus.
Pendek kata, jurnalis berperan penting dalam sebuah pengambilan keputusan politik, ekonomi, keamanan, sampai pada urusan rumah tangga dan pribadi. Karya jurnalisme atau berita televisi mampu mempengaruhi sikap dan gaya hidup seseorang. Karena itu buku ini menjadi penting adanya, karena di dalamnya menjelaskan bagaimana melakukan reportase dan memproduksi berita televisi sesuai dengan kaidah dan kode etik yang berlaku.
Senin, Maret 17, 2008
Mengapa Jurnalis TV?
Label: Artikel, foto, video
Reportase dan Produksi Berita TV
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar