Rabu, Maret 19, 2008

Hukum dan Etika Jurnalistik

3. Hukum dan Etika Jurnalistik
Istilah “etika” berasal dari akar Yunani ethikos yang berarti karakter. Istilah itu sinonim dengan filosofi normal, yang lebih umum di universitas dan literature Eropa.Etika dapat dijelaskan sebagai cabang filosofi yang peduli dengan studi tentang apa yang secara moral benar dan salah, baik dan buruk. Benar dan salah adalah kualitas yang biasanya ditetapkan untuk keindahan, kelakuan, dan tingkah laku.
Definisi etika yang lebih praktis adalah aturan prinsip. Konsisten dengan definisi ini, tindakan apapun, pernyataan, atau tingkah laku, yang tidak mendasarkannya pada sebuah prinsip adalah dapat dipertanyakan, dan mungkin immoral. Contoh dari prinsip etika termasuk kejujuran, keadilan, kesetiaan, kerendahaan hati, tugas, kewajiban, loyalitas, patriotisme, dan belas kasihan.[1]
Etika dan Hukum
Etika berbeda dengan hukum. Kalau etika adalah aturan moral yang tidak dilegalisasi, dan kekuatan berlakunya tergantung kepada orang yang mengemban profesi agar berlaku etis. Sanksinya adalah moral. Sedangkan hukum adalah aturan yang dirumuskan dan dilegalisasi lembaga pembuat undang-undang untuk mengatur masyarakat secara keseluruhan. Yang harus taat pada hukum adalah masyarakat, tanpa kecuali. Sanksinya adalah hukuman badan, denda dan administrative. Hukum diberlakukan untuk menjaga eksistensi masyarakat.Sam S. Souryal dalam bukunya Ethic in Criminal Justice System halaman 154 menulis Hubungan antara etika dan hukum sebagai berikut:Tujuan dari etika bukanlah untuk merusak undang-undang atau menggantinya, tetapi untuk melengkapi dengan menghormati jiwa undang-undang dan mengatur keadilan.
Undang-undang hanya dapat diterapkan pada tingkah laku dimana pembuat hukum memilih untuk mengatur; sedangkan etika dilain pihak, menempatkan semua kegiatan manusia;Hukum berusaha mengubah orang dari sisi luarnya, sedangkan di lain pihak, etika mencoba untuk mengubah mereka dari sisi dalam;Hukum berubah berkali-kali, tetapi etika konstan, universal dan abadi;Hukum adalah instrumen yang logis dari pengawasan sosial paling penting, bukanlah hasil yang penting dari kebijaksanaan. Etika, dalam kebalikannya adalah didasarkan secara kuat pada proses pertimbangan yang perlu bagi kebijaksanaan yang layak;Hukum adalah dasar instrumen yang reaktif, sementara etika yang paling penting, adalah memberikan petunjuk secara alamiah;Hukum tergantung pada keefektifannya dalam prosedur hukum dan peraturan yang kompleks dari bukti, dan etika tergantung pada pengetahuan, rasionalitas dan keinginan baik.
Etika dan Kode Etik
Kalau etika adalah aturan prinsip, maka kode etik adalah aturan prinsip yang dirumuskan oleh pengemban etika. Siapa mereka? Mereka adalah orang-orang professional yang mengemban profesi. Pada awalnya, etika dirumuskan oleh para dokter, advokat, hakim, pastur, wartawan.[2] Belakangan juga ada petugas lembaga pemasyarakatan dan polisi.[3]Kode etik tidak dibuat sebagai cara yang mendetail dalam pemecahan masalah etika, tapi prinsip umum yang dapat mendorong pilihan moral. Kode etik didesain untuk memotivasi pekerja, memperkuat stamina etika mereka, dan membantu dalam pengembangan pekerjaan (Sam S. Souryal, halaman 155).
Fungsi kode etik
Fungsi utama dari kode etik adalah agar para pengemban profesi berlaku etis sesuai dengan standar moral yang berlaku. Tujuan standar ini adalah untuk menjamin kaum professional dapat bertanggungjawab dalam tingkat tertinggi dari penampilannya dan mempertahankan mereka untuk setia pada kewajiban kejujuran, kesetiaan dan kewajiban.
Ketika kaum professional mematuhi kode etik, maka hasilnya lingkungan yang kondusif akan sempurna. Kaum professional akan tahu apa tanggungjawab mereka yang harus dilakukan oleh mereka tanpa pengawasan yang semestinya. Mereka akan merasa bangga pada pekerjaan mereka. Mereka akan bertoleransi terhadap setiap orang dan dalam berhubungan dengan klien mereka. Mereka akan dapat menghindari “tingkah laku licik” seperti kecemburuan, fitnah, dan kelicikan, dan belajar untuk tidak menyukai tingkah laku yang tidak beradab seperti diskriminasi, favorit dan egois. Jika kode etik dikuti dengan baik, maka kaum professional yang memegang kode etik akan menjadi insan yang beradab.Pada pokoknya, semua kode etik berusaha untuk memperkuat dua kebaikan utama; etika pelayanan masyarakat dan etika profesionalisme. Hal ini pada hakekatnya adalah kebaikan; mendasar dan tidak dapat dinegosiasikan.Tetapi kunci utama dari semua ini adalah kepercayaan. Seorang pastor yang tidak dapat mengemban kepercayaan dari kliennya, atau juga advokat dan dokter yang membocorkan rahasia kliennya, maka mereka akan ditinggalkan oleh masyarakat.Demikian juga wartawan, jika mereka tidak dapat memegang rahasia nara sumber, maka mereka akan ditinggalkan masyarakat. Seorang nara sumber hanya mau bercerita dengan wartawan jika mereka yakin bahwa sang wartawan dapat dipercaya. Karena itu wartawan yang profesional rela menjadi terdakwa dan dihukum, karena memegang prinsip melindungi nara sumber yang harus dijaganya, seperti yang terjadi pada wartawan HB Yasin yang tetap merahasiakan siapa penulis cerpen Ki Pnji Kusmin.Kode Etik JurnalistikTugas wartawan Indonesia, baik wartawan media cetak maupun media elektronik adalah mengumpulkan dan menyajikan berita secara benar dan menarik minat masyarakat secara jujur dan bertanggungjawab. Untuk pekerjaan ini Undang-undang Pers Nomor 40 tahun 1999 telah memberikan landasan hukum yang tepat berupa jaminan kebebasan pers. Dan jaminan masyarakat mendapatkan informasi secara benar. Untuk menjaga keseimbangan dua kepentingan itu, diperlukan wartawan yang memiliki integritas moral yang tinggi. Karena itu pula ditetapkan kode etik bagi para watawan atau jurnalis.Wartawan Indonesia yang tergabung dalam PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) telah lama merumuskan kode etiknya yang harus dilaksanakan oleh segenap anggotanya. Demikian juga Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) telah merumuskan kode etiknya pada 9 Agustus 1998. Kode etik Jurnasis Televisi diartikan sebagai “penuntun perilaku jurnalis televisi dalam melaksanakan profesinya. (pasal 1).Berbagai organisasi wartawan juga telah menyepakati satu kode etik wartawan Indonesia yang ditetapkan di Bandung pada 6 Agustus 1999. Intinya adalah sebagai berikut[4]:Wartawan Indonesia menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benarWartawan Indonesia menempuh tata cara yang etis untuk memperoleh dan menyiarkan informasi serta memberikan identitas kepada sumber informasi.Wartawan Indonesia menghormnati asas praduga tidak bersalah, tidak mencampur adukkan fakta dengan opini, berimbang dan selalu meneliti kebenaran informasi, serta tidak melakukan plagiat.Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis, cabul, serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan susila.Wartawan Indonesia tidak menerima suap, dan tidak menyalahgunakan profesi.Wartawan Indonesia memiliki hak tolak, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang dan off the record sesuai kesepakatan.Wartawan Indonesia segera mencabut dan meralat kekeliruan dalam pemberitaan serta melayani hak jawab.Pengawasan dan penetapan sanksi atas pelanggaran Kode Etik ini sepenuhnya diserahkan kepada jajaran pers dan dilaksanakan oleh organisasi yang dibentuk untuk itu.Dalam Kode Etik IJTI, karena anggotanya adalah jurnalis televisi, dan televisi adalah media pandang dengar, maka kode etiknya memiliki beberapa kekhususan. Di antaranya adalah yang menyangkut gambar dan suara: Tidak menayangkan materi gambar maupun suara yang menyesatkan pemirsa; Tidak merekayasa peristiwa, gambar, maupun suara, untuk dijadikan berita. Lihat selengkapnya dalam “Kebenran Berita dan Kode Etik” terbitan IJTI 1999.Untuk menegakkan kode etik tersebut, dibentuklah Dewan Kehormatan, yang bertugas antara lain menerima pengaduan, melakukan pemeriksaan dan memberikan penilaian atas pelanggaran kode etik. Dewan Kehormatan pula yang menetapkan sanksi bagi anggotanya yang dinilai terbukti telah melanggar kode etik.UU Pers dan UU PenyiaranDalam rangka menjamin kebebasan pers dan informasi kepada publik, telah diundangkan Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang pers, dan Undang-undang nomor 32 tentang Penyiaran. Kedua undang-undang ini mengamanatkan agar wartawan dalam menjalankan tugasnya tunduk pada kode etik jurnalistik (lihat pasal 7 UU Pers dan pasal 42 UU Penyiaran).Undang-undang Pers dengan mantapnya menjamin kemerdekaan pers. Bahkan siapa saja yang menghalang-halangi tugas jurnalistik dapat dipidana pejara dan/tau denda.Pasal 18 ayat 1: Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan pasal 4 ayat 2 dan ayat 3 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah).Pasal 4 ayat 2 berbunyi: Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pemberedelan atau pelarangan penyiaran.Pasal 4 ayat 3 berbunyi: Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.Sementara itu Undang-Undang Penyiaran, sekalipun sama-sama menjamin kebebasan pers, tetapi sifat represifnya sangat kental dengan dimungkinkannya sanksi administrative yang dapat mencekal penyiaran atau memberangus informasi kepada publik. Lihat pasal 55 UU Penyiaran, yang menetapkan sanksi administrative dapat berupa- teguran tertulis- penghentian sementara mata acara yang bermasalah setelah melalui tahap tertentu- pembatasn durasi dan waktu siaran- denda administrative- pembekuan kegiatan siaran untuk waktu tertentu- tidak diberi perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran- pencabutan izin penyelenggaraan penyiaranTindakan apa saja yang dapat dikenai sanksi administrative dapat dilihat dalam pasal 55 ayat 1, antara lain pelanggaran cakupan wilayah siaran; pelanggaran tidak melakukan sensor internal, tidak mencantumkan hak siar, dan lain-lain.Yang berkaitan dengan tugas jurnalistik adalah: tidak melakukan ralat apabila isi siaran dan/atau berita diketahui terdapat kekeliruan dan/atau kesalahan, atau terjadi sanggahan atas isi siaran dan/atau berita (pasal 44 ayat 1). Jadi tidak melakukan ralat meskipun sanggahannya tanpa bukti, dapat dijatuhi sanksi administrative! Sebuah aturan yang sangat bertentangan dengan prinsip kebebasan pers dan kode etik jurnalistik!Ketentuan pidana UU Penyiaran yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kebebasan pers adalah adalah ancaman pidana sebagaimana diatur dalam pasal 57, yang mengancam pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000 (satu milyar rupiah) untuk penyiaran radio dan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau denda paling banyak Rp 10.000.000.000 (sepuluh milyar rupiah) untuk penyiaran televisi, setiap orang, melanggar pasal 36 ayat 5 dan pasal 36 ayat 6.Pasal 36 ayat 5: isi siaran dilarang:bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong;menonjolkan unsure kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang; ataumempertentangkan suku, agama, ras dan antargolongan.Pasal 36 ayat 6: isi siaran dilarang memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional.Dilihat dari kajian kode etik, pasal-pasal pidana tersebut sebenarnya merupakan bentuk kriminalisasi kode etik jurnalistik. Mestinya, ketentuan kode etik itu bukan ditegakkan oleh lembaga hukum seperti kepolisian, jaksa dan hakim, tetapi oleh organisasi profesi seperti PWI, IJTI dan AJI.Terjadinya kriminalisasi kode etik jurnalistik adalah sebuah kemunduran dalam hukum pers di Indonesia. Semestinyalah aturan ini ditinjau kembali agar kebebasan pers terjamin, dan wartawan tidak takut melakukan tugasnya karena adanya ancaman yang berat. Cukuplah kiranya kembali kepada Undang-undang yang sudah ada,yakini delik-deliik pers sebagaimana diatur dalam KUHP. Bahkan dalam KUHP yang akan direvisi itu pun seharusnya tidak lagi mencantumkan pasal-pasal penyebar kebencian dan pasal-pasal karet, karena akan mematikan kebebasan pers dan mematikan demokrasi. Jika ketakutan menimpa jurnalis karena tidak adanya kepastian hukum, maka yang akan menanggung akibatnya adalah masyarakat luas: akses informasi terganggu.Implikasi Moral Etika JurnalistikSeberapa sukses kode etik dalam memelihara pelaksanaan etika di antara pekerja? Tidak ada jawaban yang pasti. Tetapi resep dari Sam. S. Souryal (halaman 167) tiga pengamatan berikut akan memberikan arah bagi pertanyaan ini:Supaya kode etik bermakna, harus dilaksanakan secara serius. Ketika pegawai “percaya” dalam peraturan pelaksanaan, tingkah laku etika adalah hasilnya.Supaya kode etik berhasil, baik administrator maupun pengwas harus mengerti betapa pentingnya kode etik dan mematuhinya. Kode etik memiliki kesempatan yang kecil untuk sukses jika personel pengawasan mengacuhkan atau gagal mengikuti prinsipnya. Lebih jauh, kode etik akan merusak secara serius apabila pengawas tegas pada pemenuhan pegawai, tapi bertingkah laku secra tidak etis. Tingkahlaku pengawas berlawanan dengan etika memiliki efek yang sama sebagai orang tua yang mengajar anaknya “Kerjakan apa yang saya katakana, dan bukan seperti yang sayalakukan”Akhirnya, supaya kode etik menjadi efektif, lingkungan kelembagaan harus sehat. Organisasi yang berkubang dengan “maasalah kesehatan” seperti gaji yang tidak layak, pengawasan yang kurang, kebijakan yang tidak realistik, hubungan interpersonal yang tegang dan keamanan kerja yang kurang, dikelilingi dengan masalah etika. Organisasi yang mengikuti faktor-faktor ini, dilain pihak, lebih dapat untuk mempromosikan pelaksana etioka dan kebanggan pada anggota mereka[1] Lihat Sam S. Souryal, Ethics in Criminal Justice, yang disadur Kunarto, menjadi Etika dalam Peradilan Pidana, edisi kedua, Cipta Manunggal Jakarta, 1999 halaman 82-85.[2] Iskandar Siahaan, dalam Kebenaran Berita dan Kode Etik, Publikasi IJTI 1999, halaman 14.[3] Lihat Kunarto dalam Tri Brata dan Catur Prasetya, Sejarah-Prespektif dan Prospeknya, Cipta Manunggal Jakarta 1997. Lihat juga Sejarah Singkat Kode Etik Polisi dalam bukunya Peter Villiers: Better Police Etics a practical guide (terjemahan) Cipta Manunggal, 1999 halaman 113.[4] Kode Etik Wartawan Indoensia ini disetujui oleh 26 organisasi wartawan Indonesia dalam rapat koordinasi Dewan Pers dengan organisasi wartawan di Bandung Jawa Barat, tanggal 6 Agustus 1999








Tidak ada komentar: