MELIPUT
PERISTIWA TRAUMATIK
Oleh Syaefurrahman Al-Banjary
Pengertian
Peristiwa
traumatik adalah peristiwa yang dapat menimbulkan gangguan psikologis, seperti
trauma, perasaan takut dan gangguan fisik serta mental. Peristiwa ini dapat
saja terjadi sesaat maupun berkelanjutan.
Contoh-contoh
peristiwa traumatik adalah bencana alam, ledakan bom, perang, perkosaan,
kekerasan dalam rumah tangga, kecelakaan lalu lintas, pengungsian, dan
sebagainya.
Dampak
Peristiwa
tersebut jika tidak tepat dalam meliput dan menyiarkannya dapat membuat dampak
buruk bagi korban, keluarga, bahkan bagi jurnalis sendiri. Misalnya seorang
korban ledakan bom akan merasa ketakutan ketika mendengar ledakan. Ia masih
trauma dengan ledakan bom yang meluluhlantakkkan gedung dan mengakibatkan
puluhan orang tewas, termasuk dirinya yang menderita luka. Bahkan korban ini
pun trauma ketika melihat tayangan ledakan bom diulang. Ia tidak dapat tidur
ketika mengingat kasus yang dialaminya itu.
Contoh
lain adalah seorang korban perkosaan, yang muak dengan wawancara televisi
ketika ia menjadi saksi di pengadilan. Sudah sakit, masih ditambah sakit dengan
dimunculkan gambarnya di televisi. Dan ini akan menghambat proses pemulihan
psikisnya.
Di luar
dampak buruk pemberitaan peristiwa traumatis tersebut, ada juga dampak
positifnya. Yakni memberikan berita dan informasi kepada keluarga mengenai apa
yang terjadi, siapa saja yang menjadi korban, dan apabila diperlukan, keluarga
mereka pun dapat mencari tahu dimana korban di rawat. Dampak positif lainnya
adalah menggalang solidaritas kemanusiaan, misalnya dalam bentuk bantuan bagi
pemulihan yang bersangkutan.
Cara meliput
Menjadi
pertanyaan: Jika anda menghadapai kecelakaan tragis, apakah anda akan
mengutamakan liputan, misalnya mengambil gambar, ataukah menolong korban? Anda
dalam posisi yang serba sulit, karena pada saat yang bersamaan kedua bidang itu
secara kemanusiaan harus dilakukan. Mungkin anda sebagai jurnalis professional
akan mengatakan menjalankan tugas jurnalistik lebih dahulu, sebab anda bukan
petugas palang merah. Mungkin juga anda akan mengambil langkah menolong korban
demi kemanusiaan, menyelamatkan nyawa, tokh berita dapat dibuat belakangan, dan
gambar pun dapat saja diambil sekadarnya. Jawaban yang tepat adalah ada pada
naluri kemanusiaan kitalah yang menentukan, saat mana kita mendahulukan
menolong korban, dan kapan kita harus membantu korban.
Beberapa hal
yang perlu diperhatikan ketika meliput peristiwa traumatik adalah:
- Megutamakan keselamatan. Tidaklah ada artinya mengejar berita tapi mengorbankan keselamatan. Berita terbaik adalah keselamatan itu sendiri. Jadi meskipun kita mendapatkan berita eksklusif, keselamatan jurnalis harus tetap menjadi perhatian utama.
- Perhatian dan peka terhadap kondisi psikologis sumber berita. Jurnalis harus tahu diri terhadap korban sehingga jangan sampai menghadapi korban membuat mereka makin tertekan. Situasi akan menentukan cara jurnalis menghadapi nara sumber.
- Menghargai sikap korban. Korban yang menolak diwawancarai harus dihormati. Kalaupun harus ada keterangan korban, maka harus diacari cara lain, misalnya melalui keterangan tetangganya atau perlu kita cari dokter atau psikolog untuk mendampinginya.
- Memperkenalkan diri dengan jelas
- Memberikan pengertian kepada korban. Dalam hal ini mungkin korban khawatir terhadap wartawan jika namanya disebut. Berilah pengertian bahwa jurnalis dapat merahasiakan nara sumber jika diperlukan untuk melindungi nara sumber.
- Memulai dengan ungkapan simpatik. Misalnya dengan mengatakan, “ saya ikut prihatin dengan kejadian yang Ibu alami.”
- Tidak dimulai dengan pertanyaan sulit. Mulailah dengan pertanyaan ringan seperti menanyakan kesehatan, kondisi korban.
- Menghindari pertanyaan mencecar. Pertanyaan yang menginterogasi seperti terhadap tersangka, biasanya tidak disukai oleh nara sumber/korban. Tanyakan dengan cara sopan, misalnya: di mana anda saat terjadinya kecelakan itu?” Pertanyaan ini akan memberikan kesan seolah korban dijadikan saksi mata dan bukan tersangka.
- Banyak mendengar dan bukan berbicara. Harus selalu diingat bahwa wawancara diperlukan untuk menggali sedalam mungkin informasi dari nara sumber, bukan sebaliknya.
- Berhati-hati menyela pembicaraan
- Mengetahui saat mulai dan berhenti
- Menyampaikan terima kasih
Pengambilan
dan Penayangan gambar
- Hati-hati dengan lampu kamera, mungkin akan menjadikan nara sumber trauma.
- Hati-hati ketika merekam korban dengan kamera besar. Jika diperlukan dengan kamera kecil saja.
- Tayangkan gambar yang benar-benar mencerminkan berita yang dimaksud, memiliki relasi kuat dengan naskah berita.
- Penayangan gambar-gambar luka korban tidak terlalu detil, close up maupun big close up.
- Pilih gambar korban kekerasan yang tidak vulgar.
- Hindari penayangan berulang-ulang
- Periksalah ketepatan gambar dan akurasi data (caption atau telop)
Kiat
menghadapai nara
sumber
- Memperkenalkan diri dengan sopan
- Berpakaianlah dengan sopan
- Hindari “jurnalisme keroyokan” dalam melakukan wawancara
- Jika nara sumber masih trauma menolak wawancara, bersikaplah arif.
- Bila diperlukan, ajaklah dokter atau psikolog untuk menemani wawancara
- Hati-hati menggunakan istilah “korban”, “tragedi”, “cobaan”, “ujian hidup”. Pilih kata yang menenangkan.
Aturan
KPI
Komisi Penyairan
Indonesia (KPI) telah menggariskan bagaimana menyiarkan peristiwa traumatik
dilakukan. Dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program
Siaran (Keputusan KPI Nomor 009/SK/KPI/8/2004, antara lain dinyatakan:
Pasal 23
Dalam meliput dan/atau menyiarkan program yang melibatkan pihak-pihak yang
terkena musibah, lembaga penyiaran harus mengikuti ketentuan sebagai berikut;
a.
Peliputan subyek yang tertimpa musibah harus dilakukan
dengan mempertimbangkan proses pemulihan korban dan keluarganya.
b.
Lembaga penyiaran tidak boleh menambah penderitaan orang
yang sedang dalam kondisi gawat darurat, korban kecelakaan atau korban
kejahatan atau orang yang sedang berduka dengan cara memaksa, menekan,
mengintimidasi orang bersangkutan untuk diwawancarai atau diambil gambarnya.
c.
Penyajian gambar korban yang sedang dalam kondisi
menderita hanya diperbolehkan dalam konteks yang dapat mendukung tayangan.
d.
Terhadap korban kejahatan seksual, lembaga penyairan
tidak boleh mewawancarai korban mengenai proses tindak asusila tersebut secara
terperinci.
Pelaporan peristiwa traumatik
Pasal 25
Dalam mengulas
atau merekonstruksi peristiwa traumatik (misalnya pembantaian, kerusuhan
social, bencana alam), lembaga penyiaran harus mempertimbangkan perasaan
korban, keluarga korban, maupun pihak terkait dengan peristiwa traumatik
tersebut.
Pasal 33
Kekerasan, Kecelakaan dan Bencana dalam Program Faktual
Lembaga penyiaran harus memperhatikan keseimbangan antara
kebutuhan untuk memperlihatkan realitas dan mempertimbangkan tentang efek
negatif yang
dapat ditimbulkan. Karena itu, penyiaran adegan kekerasan, kecelakaan dan
bencana dalam program faktual harus mengikuti ketentuan sebagai berikut:
a.
Gambar luka-luka yang diderita korban kekerasan, kecelakaan dan bencana
tidak boleh disorot secara close up (big close up, medium close up, ekstrim
close up).
b.
Gambar korban kekerasan tingkat
berat, serta potongan organ tubuh korban dan genangan darah yang diakibatkan
tindak kekerasan, kecelakaan dan bencana harus disamarkan.
c.
Durasi dan frekuensi penyorotan
korban yang eksplisit harus dibatasi
d.
Saat-saat kematian tidak boleh
disiarkan.
------------------00000----------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar