Senin, Mei 13, 2013

Panduan Reportase (3)



MELIPUT PERISTIWA TRAUMATIK
Oleh Syaefurrahman Al-Banjary
 
Pengertian
Peristiwa traumatik adalah peristiwa yang dapat menimbulkan gangguan psikologis, seperti trauma, perasaan takut dan gangguan fisik serta mental. Peristiwa ini dapat saja terjadi sesaat maupun berkelanjutan.
Contoh-contoh peristiwa traumatik adalah bencana alam, ledakan bom, perang, perkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, kecelakaan lalu lintas, pengungsian, dan sebagainya.

Dampak
Peristiwa tersebut jika tidak tepat dalam meliput dan menyiarkannya dapat membuat dampak buruk bagi korban, keluarga, bahkan bagi jurnalis sendiri. Misalnya seorang korban ledakan bom akan merasa ketakutan ketika mendengar ledakan. Ia masih trauma dengan ledakan bom yang meluluhlantakkkan gedung dan mengakibatkan puluhan orang tewas, termasuk dirinya yang menderita luka. Bahkan korban ini pun trauma ketika melihat tayangan ledakan bom diulang. Ia tidak dapat tidur ketika mengingat kasus yang dialaminya itu.

Contoh lain adalah seorang korban perkosaan, yang muak dengan wawancara televisi ketika ia menjadi saksi di pengadilan. Sudah sakit, masih ditambah sakit dengan dimunculkan gambarnya di televisi. Dan ini akan menghambat proses pemulihan psikisnya.
Di luar dampak buruk pemberitaan peristiwa traumatis tersebut, ada juga dampak positifnya. Yakni memberikan berita dan informasi kepada keluarga mengenai apa yang terjadi, siapa saja yang menjadi korban, dan apabila diperlukan, keluarga mereka pun dapat mencari tahu dimana korban di rawat. Dampak positif lainnya adalah menggalang solidaritas kemanusiaan, misalnya dalam bentuk bantuan bagi pemulihan yang bersangkutan.

Cara meliput
Menjadi pertanyaan: Jika anda menghadapai kecelakaan tragis, apakah anda akan mengutamakan liputan, misalnya mengambil gambar, ataukah menolong korban? Anda dalam posisi yang serba sulit, karena pada saat yang bersamaan kedua bidang itu secara kemanusiaan harus dilakukan. Mungkin anda sebagai jurnalis professional akan mengatakan menjalankan tugas jurnalistik lebih dahulu, sebab anda bukan petugas palang merah. Mungkin juga anda akan mengambil langkah menolong korban demi kemanusiaan, menyelamatkan nyawa, tokh berita dapat dibuat belakangan, dan gambar pun dapat saja diambil sekadarnya. Jawaban yang tepat adalah ada pada naluri kemanusiaan kitalah yang menentukan, saat mana kita mendahulukan menolong korban, dan kapan kita harus membantu korban.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika meliput peristiwa traumatik adalah:

  1. Megutamakan keselamatan. Tidaklah ada artinya mengejar berita tapi mengorbankan keselamatan. Berita terbaik adalah keselamatan itu sendiri. Jadi meskipun kita mendapatkan berita eksklusif, keselamatan jurnalis harus tetap menjadi perhatian utama.
  2. Perhatian dan peka terhadap kondisi psikologis sumber berita. Jurnalis harus tahu diri terhadap korban sehingga jangan sampai menghadapi korban membuat mereka makin tertekan. Situasi akan menentukan cara jurnalis menghadapi nara sumber.
  3. Menghargai sikap korban. Korban yang menolak diwawancarai harus dihormati. Kalaupun harus ada keterangan korban, maka harus diacari cara lain, misalnya melalui keterangan tetangganya atau perlu kita cari dokter atau psikolog untuk mendampinginya.
  4. Memperkenalkan diri dengan jelas
  5. Memberikan pengertian kepada korban. Dalam hal ini mungkin korban khawatir terhadap wartawan jika namanya disebut. Berilah pengertian bahwa jurnalis dapat merahasiakan nara sumber jika diperlukan untuk melindungi nara sumber.
  6. Memulai dengan ungkapan simpatik. Misalnya dengan mengatakan, “ saya ikut prihatin dengan kejadian yang Ibu alami.”
  7. Tidak dimulai dengan pertanyaan sulit. Mulailah dengan pertanyaan ringan seperti menanyakan kesehatan, kondisi korban.
  8. Menghindari pertanyaan mencecar. Pertanyaan yang menginterogasi seperti terhadap tersangka, biasanya tidak disukai oleh nara sumber/korban. Tanyakan dengan cara sopan, misalnya: di mana anda saat terjadinya kecelakan itu?” Pertanyaan ini akan memberikan kesan seolah korban dijadikan saksi mata dan bukan tersangka.
  9. Banyak mendengar dan bukan berbicara. Harus selalu diingat bahwa wawancara diperlukan untuk menggali sedalam mungkin informasi dari nara sumber, bukan sebaliknya.
  10. Berhati-hati menyela pembicaraan
  11. Mengetahui saat mulai dan berhenti
  12. Menyampaikan terima kasih


Pengambilan dan Penayangan gambar

  1. Hati-hati dengan lampu kamera, mungkin akan menjadikan nara sumber trauma.
  2. Hati-hati ketika merekam korban dengan kamera besar. Jika diperlukan dengan kamera kecil saja.
  3. Tayangkan gambar yang benar-benar mencerminkan berita yang dimaksud, memiliki relasi kuat dengan naskah berita.
  4. Penayangan gambar-gambar luka korban tidak terlalu detil, close up maupun big close up.
  5. Pilih gambar korban kekerasan yang tidak vulgar.
  6. Hindari penayangan berulang-ulang
  7. Periksalah ketepatan gambar dan akurasi data (caption atau telop)

Kiat menghadapai nara sumber

  1. Memperkenalkan diri dengan sopan
  2. Berpakaianlah dengan sopan
  3. Hindari “jurnalisme keroyokan” dalam melakukan wawancara
  4. Jika nara sumber masih trauma menolak wawancara, bersikaplah arif.
  5. Bila diperlukan, ajaklah dokter atau psikolog untuk menemani wawancara
  6. Hati-hati menggunakan istilah “korban”, “tragedi”, “cobaan”, “ujian hidup”. Pilih kata yang menenangkan.

Aturan KPI

Komisi Penyairan Indonesia (KPI) telah menggariskan bagaimana menyiarkan peristiwa traumatik dilakukan. Dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (Keputusan KPI Nomor 009/SK/KPI/8/2004, antara lain dinyatakan:

Pasal 23
Dalam meliput dan/atau menyiarkan program yang melibatkan pihak-pihak yang terkena musibah, lembaga penyiaran harus mengikuti ketentuan sebagai berikut;

a.      Peliputan subyek yang tertimpa musibah harus dilakukan dengan mempertimbangkan proses pemulihan korban dan keluarganya.
b.      Lembaga penyiaran tidak boleh menambah penderitaan orang yang sedang dalam kondisi gawat darurat, korban kecelakaan atau korban kejahatan atau orang yang sedang berduka dengan cara memaksa, menekan, mengintimidasi orang bersangkutan untuk diwawancarai atau diambil gambarnya.
c.      Penyajian gambar korban yang sedang dalam kondisi menderita hanya diperbolehkan dalam konteks yang dapat mendukung tayangan.
d.      Terhadap korban kejahatan seksual, lembaga penyairan tidak boleh mewawancarai korban mengenai proses tindak asusila tersebut secara terperinci.

Pelaporan peristiwa traumatik

Pasal 25
Dalam mengulas atau merekonstruksi peristiwa traumatik (misalnya pembantaian, kerusuhan social, bencana alam), lembaga penyiaran harus mempertimbangkan perasaan korban, keluarga korban, maupun pihak terkait dengan peristiwa traumatik tersebut.


Pasal 33
Kekerasan, Kecelakaan dan Bencana dalam Program Faktual

Lembaga penyiaran  harus memperhatikan keseimbangan antara kebutuhan untuk memperlihatkan realitas dan mempertimbangkan tentang efek negatif yang dapat ditimbulkan. Karena itu, penyiaran adegan kekerasan, kecelakaan dan bencana dalam program faktual harus mengikuti ketentuan sebagai berikut:
a.        Gambar luka-luka yang diderita korban kekerasan, kecelakaan dan bencana tidak boleh disorot secara close up (big close up, medium close up, ekstrim close up).
b.        Gambar korban kekerasan tingkat berat, serta potongan organ tubuh korban dan genangan darah yang diakibatkan tindak kekerasan, kecelakaan dan bencana harus disamarkan.
c.        Durasi dan frekuensi penyorotan korban yang eksplisit harus dibatasi
d.        Saat-saat kematian tidak boleh disiarkan.

------------------00000----------------

Tidak ada komentar: