MELIPUT
KONFLIK DAN JURNALISME DAMAI
Oleh
Syaefurrahman Al-Banjary
Pengertian konflik
Konflik
adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih mengenai nilai atau anggapan
yang dianggap tinggi[1]. Contoh
hak hidup adalah nilai kemanusiaan yang paling tinggi, sehingga tidak ada hak
manusia untuk mengakhiri hidup manusia. Karena itu pembunuh akan dikecam bahkan
dihukum karena perbuatannya bertentangan dengan hak hidup orang lain. Sama juga
dengan hak akan berusaha, setiap orang boleh berdagang tapi ketika orang
berdagang di jalan umum dan mengganggu ketertiban maka ia mengundang konflik
dengan pemerintah setempat. Pertentangan nilai ini biasanya melibatkan status,
kekuasaan dan sumber daya yang langka.
Konflik
juga dapat dikatakan sebagai sebuah proses di mana dua atau lebih pelaku
mencoba untuk mencapai tujuan yang saling berlawanan dengan mengabaikan proses
pencapaian tujuan dari pihak (-pihak) lain.[2] Karena
sifatnya yang mengabaikan proses inilah seringkali konflik menjadi destruktif.
Padahal sebenarnya konflik juga dapat dikelola menjadi sesuatu yang produktif
asalkan ada proses pencerahan, komunikasi yang baik, informasi yang cukup dan
beragam.
Macam-macam
Konflik
Menarik kembali
dikemukakan di sini tentang macam-macam konflik yang telah disampaikan LSPP
dalam buku Konflik Multi Kultur, Panduan Meliput Bagi Jurnalis.[3]
1. Konflik data,
yakni konflik yang terjadi ketika orang kekurangan informasi yang dibutuhkan
untuk mengambil keputusan yang bijaksana mendapat informasi yang salah, tidak
sepakat mengenai apa saja data yang relevan, menterjemahkan informasi dengan
cara yang berbeda, atau memakai tata cara pengkajian yang berbeda.
2. Konflik
kepentingan, yakni konflik yang disebabkan oleh persaingan kepentingan yang
dirasakan atau yang secara nyata memang tidak bersesuaian. Konflik ini dapat
terjadi karena masalah mendasar (uang, sumber daya, fisik, waktu dll). Juga
dapat bersumber pada masalah tata cara (sikap dalam menangani masalah). Atau
masalah psikologis (persepsi atau rasa percaya, keadilan, rasa hormat, dll).
3. Konflik
hubungan antar manusia, yakni konflik yang terjadi karena adanya emosi-emosi
negatif yang kuat, salah persepsi atau stereotif, salah komunikasi atau tingkah
laku negatif yang berulang (repetitive).
4. Konflik
nilai, yakni konflik yang terjadi karena system kepercayaan yang tidak
bersesuaian. Perbedaan kepercayaan tidak harus mnyebabkan konflik, bahkan dapat
hidup berdampingan secara damai. Konflik baru dapat timbul ketika satu pihak
memaksakan kepercayaan kepada pihak lain.
5. Konflik
struktural. Konflik ini terjadi ketika terdapat ketimpangan untuk melakukan
akses dan kontrol terhadap sumber daya. Pihak yang berkuasa memiliki kewenangan
formal untuk menguasai sumber alam, juga mengontrol pihak lain. Perebutan
pembagian hasil sumber alam antara pemerintah pusat dan daerah adalah salah
contohnya.
Tahapan konflik
Konflik akan
meletus atau bahkan meluas kalau ada percikan api, dan api bisa menyala kalau
ada penyulutnya. Awalnya mungkin hanya ada orang menjelek-jelekkan suku A
sebagai bengis dan haus darah, kemudian dibalas melalui media pula, lalu
konflik mulai muncul ke permukaan dengan unjuk rasa, diberitakan lagi, hingga
pecah menjadi eskalasi yang tadinya hanya tembak-tembakan dengan peluru tumpul
berubah menjadi senjata tajam. Begitu seterusnya, seperti yang dijelasakan
dalam buku Konflik Multi Kultur, tahapan konflik dimulai dari yang tersembunyi
(laten), mencuat (emerging), terbuka (manifest), dan meningkat (eskalasi). Di
sini pers memegang peranan penting apakah akan meredakan konflik atau ikut
menyulut konflik, ataukah memberikan peta jalan damai agar keluar dari konflik?
Analisis Stakeholder
Sebuah
konflik sering cepat diselesaikan, dapat pula berlarut-larut, tergantung
kepentingan yang terlibat di dalamnya. Sebagai ilustrasi, dalam sebuah diskusi
dianalisis siapa saja yang berkepentingan terhadap konflik, yakni masyarakat,
LSM, Pemda, pemerintah Pusat, Militer, pemerintah Asing , dan sebagainya.
Pemahaman terhadap kepentingan para stakeholder ini menjadi penting supaya
peliputan tidak terjebak pada kepentingan tertentu saja, dan media menjadi alat
propaganda, tanpa menghiraukan korban yang menjadi obyek konflik. [4]
Stakeholder
|
Kepentingan
|
|
|
Militer
|
Karir/kekuasaan ekonomi
|
Sipil
|
Karir
|
Agama
|
Fanatisme
|
Masyarakat
|
Popularitas egoisme
kelompok/individu
|
Media
|
Peluang pasar/perbanyak oplah
|
LSM
|
Peluang dana
|
Pemerintah Asing
|
Intervensi – supremasi asing/Barat
|
Peran media dalam konflik
Fungsi
utama media adalah menyebarkan informasi. Dengan demikian media dapat
menyebarkan berita konflik. Media dapat mempertajam dan memperluas konflik,
dapat pula menyadarkan kepada pihak-pihak yang bertikai. Media dapat menyulut
perang, dapat pula memadamkan perang.
Kita ingat
kata-kata Bertolt Brecht dalam kumpulan
Cerita tentang Tuan Keuner (Geschicten vom Herrn Keuner) yang menyatakan: “Jika
Koran dipandang sebagai sarana membuat kekacauan, koran pun dapat digunakan
sebagai sarana untuk menciptakan ketertiban.” [5]
Kata-kata
ini persis seperti yang sering kita alami di lingkungan kita. Ada konflik lokal
yang lingkupnya sangat kecil, tapi diberitakan oleh media, maka seluruh penjuru
tanah air bahkan dunia tahu semua. Jadilah media menjadi sarana untuk
melegitimasi konflik. Sebaliknya jika tidak diberitakan, media pun dapat saja
melakukannya. Tapi media telah menyembunyikan fakta, sesuatu yang tidak
seharusnya dilakukan sebagai bagian dari kewajiban menjamin hak publik untuk
tahu (rights to know). Dengan demikian persoalannya terpulang kepada politik
media yang bersangkutan, karena di dalamnya terdapat kepentingan bisnis, di
samping kepentingan ideal misi jurnalistik.
Perlu
diingat bahwa bukanlah peran wartawan untuk menyelesaikn konflik, melainkan
mencari dan melaporkan kebenaran, melaporkan kedua pihak yang konflik namun
tidak memihak. “Bukan tugas wartawan untuk mengarahkn apa yang sebaiknya
dilakukan. Menyebarkan informasi dengan benar, sedikitnya bisa menggerakkan
untuk membuat keputusan, melakukan tindakan dan pertolongan.”[6]
Jurnalisme perang
Untuk
memberikan pemahan apa itu jurnalisme damai, maka ada baiknya kita ketahui
dahulu apa itu jurnalisme perang. Sebab jurnalisme perang selalu dikaitkan
dengan siapa kawan dan siapa lawan, siapa salah dan siapa benar, siapa saya dan
siapa mereka. Hanya pihak “kita” yang benar dan mereka salah, sehingga sering
disebut separatis, ekstremis, dan sebagainya.
Menurut
Johan Galtung, professor kajian jurnalisme perdamain dalam bukunya Global
Glasnot (1992), jurnalisme perang adalah
praktek jurnalisme yang cenderung terfokus pada kekerasan sebagai penyebabnya
dan enggan untuk menggali asal-usul struktural sebuah konflik secara mendalam.[7]
Dalam
jurnalisme perang, jurnalis terlampau terkonsesntrasi pada efek-efek yang
terlihat, seperti korban tewas atau terluka, kerusakan material yang kelihatan,
bukan kerusakan psikologis, struktur atau budaya.
Jurnalisme
perang mereduksi pihak-pihak yang bertikai menjadi dua, kalau bukan teman
pastilah lawan. Sikap Sadam Husein dalam krisis inspeksi senjata di Irak,
dinilai telah melawan dunia internasional. Tapi media Amerika dan Inggris tidak
kritis soal ini.
Jurnalisme
perang menggambarkan polarisasi “kami-mereka”. Lihatlah apa yang sering
digembar-gemborkan oleh TNI terhadap GAM beberapa tahun silam, sikap Amerika
terhadap Irak, atau bahkan sekarang Amerika terhadap Iran dalam kasus nuklir.
Semua menganggap bahwa Amerikalah yang benar dan pihak mereka (Irak dan Iran)
adalah pihak yang salah.
Jurnalisme
perang membutuhkan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Ia menyembunyikan
inisiatif perdamaian pihak lain atau pihak ketiga, khususnya beberapa opsi
untuk solusi tanpa kekerasan yang tidak memberikan kemenangn utuh buat pihak
“kita”.
Jurnalisme
perang akhirnya terfokus pada peran kalangan elit sebagai juru damai dengan
menonjolkan kemenangan. Perdamaian didefinisikan sebagai kemenangan plus
genjatan senjata. Mereka lupa bahwa akibat sebuah kejahatan akan meninggalkan
konflik yang tak terselesaikan, yang dapat meletus di kemudian hari (lihat
penjelasan soal ini dalam buku Konflik
Multi Kultur, Panduan Meliput bagi Jurnalis, LSPP 2000).
Jurnalisme damai
Tidak
ada definisi baku apa yang dimaksud dengan jurnalisme damai. Dari sejumlah
referensi dan bacaan tentang jurnalisme damai dapatlah dikatakan bahwa
junalisme damai adalah lawan dari jurnalisme perang seperti dijelaskan di atas.
Karena itu pada dasarnya jurnalisme damai adalah teknik jurnalisme yang
menempatkan sumber daya manusia pada
posisi yang tinggi, yang harus dihormati, yang potensial mencegah dan
menurunkan kejahatan. Karena itu jurnalisme damai tidak berakhir pada soal
kalah-menang, atau salah – benar, tetapi membuka jalan bagi pihak yang bertikai
untuk mencari solusi. Di dalamnya diperlukan dialog dan menghargai hak-hak yang
melekat pada sisi kemanusiaan.
Definisi
umum yang ditulis LSPP dalam buku
Jurnalisme Damai, Bagaimana Melakukannya[8]
menyatakan: “Jurnalisme Damai (JD) melaporkan suatu kejadian dengan bingkai
(frame) yang lebih luas, yang lebih berimbang dan lebih akurat, yang didasarkan
pada informasi tentang konflik dan perubahan-perubahan yang terjadi.”
Pendekatan
jurnalisme damai memberikan semacam peta jalan baru yang menghubungkan para
jurnalis dengan sumber-sumber informasi mereka, liputan yang mereka kerjakan
dan konsekuensi etis dari liputan tersebut – etika intervensi jurnalistik.
Jurnalisme
damai membuka peluang pada pemahaman “non-kekerasan” (non-violence) dan
kreativitas seperti yang diaplikasikan sehari-hari oleh para jurnalis dalam
membuat liputan.
Perbedaan
antara jurnalisme damai dengan jurnalisme perang, dapat dipahami dari tabel
yang dibuat oleh professor Galtung sebagai berikut:
Tabel 1. Perbedaan Jurnalisme Damai dan Jurnalisme Perang[9]
Jurnalisme
Damai
|
Jurnalisme Perang |
|
Penentuan Angle dan Fokus
|
1.
Fokus pada proses terjadinya konflik: pihak-pihak yang
terlibat, penyebab pertikaian, permasalahan yang menyertai, berorientasi pada
opsi “memang-menang”
2. Ruang dan waktu yang terbuka; sebab-akibat dalam perspektif sejarah
3.
Memberitakan konflik apa adanya
4. Memberi ruang pada semua suara/versi; menampilkan empati dan pengertian
5. Melihat konflik atau perang sebagai sebuah masalah, fokus pada hikmah
konflik
6. Melihat aspek humanisasi di semua sisi/pihak
7. Pro-aktif: pencegahan sebelum konflik/perang terjadi
|
1. Fokus pada arena konflik: dua kubu bertikai, hanya satu tujuan
(kemenangan), situasi peperangan, orientasi “memang-kalah”
2. Ruang dan waktutertutup; sebab-akibat terbatas arena konflik, mencari
siapa yang menyerang duluan
3.
Ada fakta yang
sengaja disembunyikan
4.
Berita memilahkan “kita-mereka”, nuansa propaganda,
suara dari dan untuk “kita”
5. Melihat “mereka” sebagai masalah, fokus pada siapa yang menang perang
6. Dehumanisasi di pihak “mereka”, humanisasi di pihak “kita”
7. Reaktif: Menunggu terjadi konflik, baru buat reportase
|
Orientasi Liputan
|
Ketidak-benaran di kedua-
belah pihak, membongkar
“cover up”
|
Hanya mengungkap
ketidak-benaran “mereka”
dan menutup-nutupi
ketidak-benaran “kita”
|
Cara Pandang Terhadap Akhir Konflik
|
1.
Fokus pada penderitaan semua: perempuan, anak-anak,
orang tua; memberi suara pada korban
2. Menyebut nama pelaku kejahatan di kedua-belah pihak
3.
Fokus pada para penggiat perdamaian di tingkat akar
rumput
|
1.
Fokus pada penderitaan “kita”; memberi suara hanya
pada panglima perang
2. Menyebut nama pelaku kejahatan di pihak “mereka”
3. Fokus pada penggiat perdamaian di tingkat elit
|
Pandangan
Terhadap “Akhir” Konflik
|
1.
Perdamaian = anti-kekerasan + hikmah
2. Mengangkat inisiatif perdamaian dan mencegah perang lanjutan
3. Fokus pada struktur dan budaya masyarakat yang damai
4. Usai konflik: resolusi, rekonstruksi dan rekonsiliasi
|
1.
Perdamaian = kemenangan + gencatan senjata
2.
Menyembunyikan inisiatif perdamaian, sebelum
kemenangan diraih
3. Fokus pada pakta dan institusi masyarakat yang terkendali
4. Usai konflik: siap bertempur lagi bila “luka lama kambuh”
|
Bagaimana meliput konflik
Robert
Karl Manoof, dalam buku Konflik Multikultur: Panduan Meliput bagi Jurnalis halaman
62, mengisyaratkan bahwa jurnalisme damai membawa peran kenabian dalam
kerjanya. “Media mengangkat sumber daya manusia terbesar, yang potensial
mencegah dan menurunkan kejahatan sosial, memintanya untuk didiskusikan,
dinilai, dan bila perlu dimobilisasi.
Menurutnya
pula, jurnlisme damai mempunyai tugas utama yaitu memetakan konflik,
mengidentifikasikan pihak-pihak yang terlibat, dan menganalisis tujuan-tujuan
mereka, dan membicarkan informasi yang mereka sediakan dalam agenda khusus
mereka.
Dalam
jurnalisme damai, jurnalis harus mencari tahu suara yang berbeda dan
mengartikulasikan luasnya kepentingan dalam situasi sebelumnya. Hal ini untuk
menangkal polarisasi penjelek-jelekan dan pembagusan dalam jurnalisme perang.
Sebelum
memasuki daerah konflik.
Banyak
saran yang dikemukakan oleh sejumlah wartawan senior dalam meliput konflik.
Wartawan perang Hendro Subroto, misalnya menyarankan agar ketika memasuki
daerah konflik, wartawan haruslah memahmi kultur masyarakat tersebut. Ketika
memasuki daerah konflik, wartawan juga harus menjaga keselamatan diri. Di luar itu, wartawan juga harus:
-
Memiliki pengetahuan umum tentang pihak yang bertikai
-
Mengenal geografi, demografi dan sifat-sifat masyarakat
setempat
-
Membangun hubungan dengan pihk-pihak yang bertikai.
Sementara itu
Johan Galtung menyarankan jurnalis dalam meliput konflik perlu:
-
memahami apa konflik yang terjadi? Siapa yang terlibat?
Apa tujuan mereka, termasuk kepentingan pihak-pihak di luar aren konflik
-
apa penyebab konflik yang sesungguhnya, dampak pada
struktur dan budaya, termasuk akar histories dari struktur dan budaya
-
gagasan pemecahan apa yang muncul oleh pihak-pihak yang
bertikai, adakah gagasan kreatif dan baru? Cukup kuatkah gagasan itu untuk menghindari kekerasan?
-
Jika kekerasan terjadi, bagimana dampak yang tak terlihat
seperti trauma dan kebencin? Bagiamana
pula keinginan untuk membalas dendam dan kinginan untuk menang?
-
Siapa saja yang bekerja untuk menghindari kekerasan,
pandangan yang mereka miliki untuk mengatasi konflik, metodanya, bagaamana
mereka dapat didukung?
-
Siapa yang memulai rekonstruksi, rekonsiliasi dan
resolusi, dan siapa yang menangguk untung seperti kontrak-kontrak rekonsiliasi?
Melaporkan
berita konflik
Banyak hal yang
dapat dilakukan untuk melaporkan berita konflik, beberapa di antaranya adalah;
- Menghindari penggambaran bahwa konflik hanya terdiri dari dua pihak yang bertikai atas satu isu tertentu. Konsekuensi dari penggambaran ini adalah ada satu pihak yang menang dan ada satu pihak yang kalah. Lebih baik menggambarkan ada banyak kelompok kecil yang terlibat mengejar berbagai tujuan, dengan membuka lebih banyak kemungkinan kreatif yang akan terjadi.
- Hindari peneriman perbedaan tajam antara “aku” dan “yang lain”, sebab ini dapat digunakan untuk membuat perasaan bahwa pihak lain adalah “ancamn” atau “tidak bisa diterima” tingkah laku yang beradab. Bila satu kelompok menampilkan dirinya sebagai “pihak yang benar”, tanyakan bagaimana perbedaan perilaku yang sesungguhnya dari “pihak yang salah” dari mereka –apakah ini tidak mebuat mereka malu?
- Hindari memperlakukan konflik seolah-olah ia hanya terjadi pada satu tempat kekerasan terjadi. Lebih baik mencoba menelusuri hubungan dan akibat-akibat yang terjadi bagi masyarakat di tempt lain pada saat ini dan mendatang.
- Hindari pemberian penghargaan kepada tindakan ataupun kebijakan dengan menggunakan kekerasan hanya karena dampak yang terlihat. Lebih baik mencari cara untuk melaporkan dampak yang justru tidak terlihat, misalnya kerusakan psikis dan trauma.
- Hindari pengidentifikasian suatu kelompok hanya dengan mengulang ucapan para pemimpin mereka ataupun tuntutan yang telah dikemukakan.
- Hindari pemusatan perhatian hanya pada pihak yang bertikai. Lebih baik mencoba bertanya yang bisa memunculkan kesaman-kesamaan.
- Hindari pelaporan yang hanya menonjolkan unsur kekerasan dan mendeskrepsikan tentang “horror”. Lebih baik menunjukkan bagaimana orang-orang telah menjadi buntu dan frustasi atau mengalami kerugian dalam kehidupan sehari-hari sebagai hasil dari tindak kekerasan.
- Hindari menyalahkan salah satu pihak karena memulai perselishin. Lebih baik menunjukkan bagmana problem dan isu bersama bisa menimbulkan dampak yang tidak diinginkan oleh kedua belah pihak.
- Hindari laporan yang hanya berfokus pada penderitaan, ketakutan, dan keluhan hanya dari satu sisi. Lebih bik memperlakukan kedua belah pihak mengalami kesengsaraan, ketakutan dan keluhan yang sama.
- Hindari penggunaan bahasa yang menonjolkan sosok korban seperti kata “miskin”, “hancur”, “tak berdaya”, memelas”, “tragedi”. Lebih baik melaporkan apa yang telah dan mungkin dilakukan oleh masyarakat.
- Hindari pengunan kata-kata emosional, seperti “genocide” atau genosida, yang berarti menyingkirkan seluruh manusia (pembasmian).; “pembersihan” atau decimated, pembunuhan karakter atau assassination, massacre atau pembantaian, dan kejahatan “sistematis” seperti perkosaan dan pemaksaan orang meninggalkan rumah mereka.
- Hindari kata sifat seperti “kejam”, “barbar”, “brutal”.
- Hindari penggunan label kata seperti “teroris”, ekstremis” “kelompok fanatik”, atau juga “fundamentalis”[10]
[1] Konflik Multi Kultur Panduan Meliput bagi
Jurnalis, LSPP halaman17
[2] Annabel McGoldrick, Jake Lynch:
Jurnalisme Damai Bagaimana Melakukannya? LSPP, hal 2
[3] Konflik Multi Kultur, Panduan Meliput bagi
Jurnalis, LSPP halaman 20, mengutip dari Tim BSP Kemala
[4] Lihat Konflik Multi Kultur, Panduan
Melipu bagi Jurnalis halaman 27-28
[5] Dikutip dari buku Konflik Multi Kultur
Panduan Meliput bagi Jurnalis, LSPP halaman 31
[6] Lukas Luwarso dan Solahudin, Meliput
Pertikaian: Pegangan buat Wartawan, SEAPA November 2000, halaman 13
[7] Pakar Jurnalisme Damai. Gagasannya
pertama kali disampaikan pada ceramah
pakar dalam sebuah kulaih sekolah musim panas di Taplow Court,
Buckinghamshire, Inggris pada Agustus 1997. Dalam perkuliahan yang dihadiri para
wartawan, ilmuwan dan mahasiswa media dari Eropa, Afrika, Asia dan Amerika
tersebut berhasil dirumuskan antara lain pembedaan antara “ideologi” jurnalisme
perang dan jurnalisme damai.
[8] Annabel McGoldrick dan jake Lynch:
Jurnalisme Damai, Bgaiamana melakukannya, terbitan LSPP bekerjasama dengan
Kedutaan Inggris dan British Council, Jakarta 2001 halaman 1.
[9] Bahan
ini diadaptasi dari lampiran pada The
Peace Jurnalism Option, Transcend Peace and Development Network, 1998, hal.
44.
[10] Selanjutnya dapat dipahami dalam buku: Jurnalisme Damai,
Bagaimana Melakukannya, halaman 27 hingga 35. Masalah yang sama juga dapat
dipahami lebih jauh pada buku: :Jadi, bagaiman menurut pendapat anda? Buku
paduan praktis bagi wartawan, terbitan BBC dan British Council, tahun 2003,
halaman 22 – 31 pada bab tentang Meliput perang dan kerusuhan .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar