MELIPUT
BERITA HUKUM DAN KRIMINAL
Oleh
Syaefurrahman Al-Banjary
Pengertian
Yang
dimaksud dengan berita hukum dalam hal ini adalah berita yang berasal dari
badan atau lembaga hukum, tentang proses hukum seseorang yang karena sesuatu
sebab menjadikannya ditangkap polisi, diperiksa, dijadikan tersangka, diajukan
ke pengadilan untuk disidangkan dan dihukum penjara atau dibebaskan dari
tuntutan atau hukuman.
Sama
dengan berita kriminal, bedanya adalah kalau kriminal lebih pada peristiwa
kejahatan jalanan atau sering disebut street
crime. Mulai penjambretan, pencurian, perampokan, pembunuhan dan
sebagainya. Peristiwa kekerasan baik yang berdarah maupun tidak berdarah
termasuk di dalamnya. Penyidiknya adalah polisi.
Sedangkan
kalau kasus hukum lebih pada kejahatan “gedongan”, yang pelakunya orang-orang
dengan intelektual tinggi atau berdasi sehingga disebut kejahatan kerah putih
atau white collar crime. Penyidiknya
adalah Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK, khusus korupsi).
Persidangan dengan berbagai kasus masuk wilayah berita hukum, baik persidangan
di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi sampai Mahkamah Agung. Persidangan di
Mahkamah Konstitusi (MK) untuk kasus-kasus penyimpangan peraturan perundang-undangan.
Juga proses persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Demikian
juga pemikiran di bidang hukum dan hak asasi manusia, termasuk dalam wilayah
liputan masalah hukum.
Sebenarnya
pembedaan semacam ini tidaklah terlalu penting. Ini hanya sekadar pembagian
wilayah liputan saja. Yang penting adalah bahwa reporter harus memahami sistem
peradilan pidana terpadu atau integrated
criminal justice system. Sistem ini memandang bahwa penyelesaian perkara
pidana atau kriminal haruslah melalui sistem peradilan pidana, yang diawali
dari proses penyidikan (oleh polisi), penuntutan (oleh jaksa), persidangan
(oleh hakim), dan pelaksanaan hukum di lembaga pemasyarakatan.
Meskipun
telah ada pembagian peran dan fungsi semacam itu, masih ada prosedur hukum lain
yang juga sama-sama menangani perkara, yakni proses hukum di Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi, ada juga Mahkamah Konstitusi. Itulah sebabnya, dalam sistem
peradilan pidana terpadu, tidak dikenal pemisahan peran, melainkan keterpaduan.
Contoh perkara yang kurang lengkap penyidikannya dan jaksa memandang perlu agar
dilengkapi, maka jaksa dapat mengembalikannya kepada polisi agar dilengkapi.
Polisi
atau kepolisian RI menurut KUHAP adalah satu-satunya penyidik atau lembaga
penyidikan, dalam arti di luar lembaga itu kalau ada penyidik (seperti penyidik
pegawai negeri sipil atau PPNS, haruslah berkoordinasi dengan Polri. Menurut
Undang-undang Kejaksaan, Kejaksaan
adalah satu-satunya lembaga penuntutan. Tapi undang-undang kejaksaan
juga menyatakan sebagai penyidik dalam perkara tindak pidana khusus, seperti
korupsi dan penyelundupan, serta subversi.
Itulah
sebabnya pemahaman terhadap integrated
criminal justice system menjadi penting bagi reporter yang hendak meliput
hukum dan kriminal. Integrated criminal
justice system atau keterpaduan dalam system peradilan pidana, haruslah
dipandang sebagai sistem bagi tugas, karena pada akhirnya yang ingin dicapai
adalah proses hukum yang benar dan adil
atau due process of law. Bahkan dalam
system hukum kita, peradilan haruslah diselenggarakan dengan sederhana,
cepat, dan biaya ringan.
Dengan
demikian jelaslah bahwa keterpaduan itu mengandung arti berorientasi pada
tujuan penegakan hukum, bukan pemisahan kekuasaan atau kewenangan yang
masing-masing berdiri sendiri. Seorang pelanggar hukum, awalnya ditangkap dan
disidik oleh penyidik Polri, kemudian perkaranya dilimpahkan ke kejaksaan untuk
diajukan ke pengadilan (kalau berkas masih belum lengkap, jaksa dapat
mengembalikan berkas itu ke polisi untuk dilengkapi). Pengadilan menyidangkan
tersangka, kemudian memutuskannya, dan Lembaga Pemasyarakatan membina
terpidana. Begitulah urutannya.
Setting Sosial
Reporter
yang meliput berita hukum dan kriminal perlu mengetahui setting social, dalam arti liputan berita tidak hanya sekadar
menyampaikan fakta-fakta mati yang diperoleh di lapangan, melainkan lebih jauh
dari itu yakni mengungkapkan suasana sosiologis dari peristiwa yang terjadi.
Contoh kasus pencurian HP oleh seorang ibu muda di Cililitan Jakarta Timur.
Seorang reporter jangan sampai terjebak pada keterangan polisi saja. Keterangan
polisi hanya dijadikan sebagai informasi dasar, selebihnya reporter mencarinya
di lapangan dengan menggali keterangan lebih jauh kepada para saksi, tetangga,
dan bahkan datang ke rumahnya. Yang perlu dicari adalah mengapa ibu muda itu sampai
mencuri HP. Setelah reporter menelusuri lebih jauh ternyata diperoleh
keterangan bahwa ibu muda itu adalah janda yang baru ditinggal suaminya dan ia
mencuri HP karena terpaksa. Uang tidak ada, tetangga tidak ada yang membantu, hutang
menumpuk, dan anaknya yang baru lima bulan perlu susu. Tempat tinggalnya di
sebuah rumah kontrakan sekitar 200 meter
dari sebuah masjid besar. Pekerjaan sehari-hari hanya sebagai tukang cuci.
Jika
rentetan data ini dinarasikan dengan gambar-gambar yang mendukung, tentulah
akan berbeda pesan yang disampaikan jika dibandingkan dengan berita yang hanya
menerangkan seorang ibu muda ditangkap polisi karena mencuri HP, dengan gambar
tersangka sedang diperiksa polisi di
kantor polisi. Kesan yang terbangun pun akan berbeda. Pemirsa mungkin tidak
serta merta memusuhi ibu muda pencuri Hp, justru mungkin sebaliknya merasa iba,
kasihan dan tergerak untuk membantu merawat bayinya! Atau pengurus masjid
tempat ibu muda tinggal akan tergerak mengumpulkan zakat buat menyantuni
anaknya dan orang-orang miskin di sekitarnya.
Gambar
Sebuah
peristiwa akan dapat bercerita kalau gambar-gambar mendukung cerita itu. Bahkan
dengan gambar yang bagus, lengkap dan runtut, orang akan tahu ceritanya
meskipun tanpa naskah. Karena itu sedapat mungkin gambar lengkap sehingga
menjadi sebuah paket berita yng menarik dan mampu bercerita. Biasanya standar
gambar umum adalah ada establishing shot, gambar detil dengan berbagai komposisi
dan gambar netral atau neutral shot, agar jika diedit urutan
gambar itu dapat bercerita dan tidak jumping.
Contoh-1: Peristiwa hukum
(persidangan) adalah :
- Wide shot gedung pengadilan
- Close up papan nama gedung pengadilan
- Terdakwa memasuki ruang sidang. Hakim dan jaksa memasuki ruang sidang
- Persidangan
- Close up atau tunjukkan ekspressi para pihak (hakim, terdakwa, penasihat hukum, jaksa, pengunjung sidang
- Close up palu
- Proses persidangan (jaksa membaca dakwaan, tanya jawab pemeriksaan saksi, penasehat hukum membaca pembelaan, jaksa membaca tuntutan, terdakwa atau penasihat hukum membaca pembelaan, hakim membaca pertimbangan hukum dan mengucapkan putusan, dan sebagainya)
- Reaksi terdakwa ketika hakim menjatuhkan palu putusan
- Reaksi pengunjung atau keluarga terdakwa ketika mendengar putusan
- Wawancara dengan hakim/jaksa/terdakwa/penasihat hukumnya
Contoh-2: Kasus
pemeriksaan tersangka di kepolisian atau kejaksaan
Jika anda
meliput pemeriksaan seorang tersangka kasus korupsi di kepolisian atau di
kejaksan. Gambar yang
sebaiknya ada adalah:
- Kantor pemeriksaan (kantor polisi/kejaksaan)
- Tersangka turun dari mobil, atau jalan menuju ruang pemeriksaan
- Tersangka duduk di kursi, mungkin didampingi penasihat hukumnya
- Gambar close up pemeriksa
- Detil perlengkapan di sekitar pemeriksaan: mesin ketik, buku dsb
Catatan:
Biasanya seorang tersangka kasus-kasus besar seperti korupsi, penyidik akan
melarang wartawan mengambil gambar di ruang pemeriksaan karena berkaitan dengan
persoalan azaz praduga tidak bersalah. Sesuatu yang berbeda dengan kasus-kasus
kriminal semacam pencurian.
Oleh karena itu
dalam kasus-kasus besar di bidang tindak pidana khusus seperti kasus korupsi,
tersangka yang akan diperiksa sudah ditunggui di kantor polisi atau kejaksaan,
sehingga ketika tersangka turun dari mobil, wartawan dapat mengambil gambar.
Ada juga wartawan yang menunggui di depan rumahnya ketika tersangka akan keluar
rumah. Pendek kata, banyak cara dilakukan wartawan untuk mendapatkan gambar
tersangka ketika diperiksa atau hendak diperiksa.
Gambar
lain yang dibutuhkan adalah simbolisasi kasus yang didakwakan. Misalnya dalam
kasus korupsi pengadaan turbin PLTG Borang Sumatera Selatan, maka carilah
gambar kantor PLN dimana tersangka berkantor, dan gambar PLTG Borang.
Untuk
pendalaman berita, dalam kasus korupsi wartawan tidak hanya terbatas menulis
berita pemeriksaan tersangka yang sedang berlangsung saja. Bisa juga wartawan
melakukan penyelidikan lain, misalnya siapa pemasok barang PLTG Borang. Maka
pemasoknya juga harus diwawancarai, digali siapa dia, dan seberapa kekayaan
atau asetnya.
Dengan
peliputan komprehensif semacam ini, maka liputan akan lebih lengkap dan membuat
pemirsa mendapatkan nilai lebih dari sekadar apa yang terlihat dalam
pemeriksaan awal di kantor kepolisian. Berilah konteks liputan jika anda
memproduksi berita, agar pemirsa lebih tahu banyak tentang kasus yang sedang
ditangani penyidik.
Contoh-3:
Peristiwa kriminal
Gambar-gambar
peristiwa kriminal akan lebih hidup dan dinamis jika gambar bergerak. Karena
itu seorang wartawan televisi acapkali mencari momentum agar gambar yang akan
ditayangkan adalah yang bergerak. Tentu saja gambar berita kriminal bukan yang
berasal dari komando (istilah untuk menyebut kantor polisi), seperti gambar
tersangka sedang duduk diperiksa dihadapan penyidik; dan barang bukti sudah
dijejerkan di meja penyidik. Lebih dari itu yang baik adalah gambar-gambar TKP
(istilah untuk menyebut tempat kejadian perkara), artinya berita itu berasal
dari lapangan.
Untuk
kasus-kasus yang berhasil diliput dari TKP, maka jangan lupa untuk wawancara
dengan masyarakat sekitar yang menyaksikan kejadian. Gambaran lingkungan
masyarakat sekitar juga kan memberi warna dalam berita anda. Misalnya pencurian
di komplek perumahan, yang dijaga ketat satpam, harus tergambar jelas.
Hal yang
sama juga dilakukan terhadap tersangka jika sudah tertangkap. Siapa tersangka,
dimana rumahnya, seperti apa keluarganya, dan sebagainya. Ingat setting social seperti sudah dikemukakan
di atas.
Untuk
menyiasati agar gambar lebih hidup terhadap kasus kriminal yang sudah ditayangkan
polisi adalah, dengan cara menunggu momentum agar tersagka keluar dari tahanan
dan dibawa ke ruang tahanan. Demikian juga sebaliknya ketika dia keluar tahanan
dan masuk ruang tahanan. Ada juga cara lain, misalnya seorang tersangka dengan
seijin polisi diminta memperagakan bagaimana kejahatan itu dilakukan.
Dalam
kasus penodaan agama (shalat sambil bersiul), seorang tersangka diminta
memperagakan bagaimana shalat dengan bersiul. Peragaan ini akan menarik
ditonton dan pemirsa pun akan mendapat penjelasan yang cukup mengenai shalat
sambil bersiul.
Naskah
Naskah
berita hukum tidak selalu harus mengikuti bahasa hukum yang rumit dan njelimet. Usahakan berita hukum dapat
dipahami dengan mudah, ringan dan menarik. Berikut ini adalah beberapa pedoman
naskah:
1. Naskah berita hukum dan kriminal tetap pada
pedoman 5 W + 1 H, yakni:
Who= siapa
Berita-berita
hukum dan pengadilan, biasanya berbicara soal tindak kejahatan atau pelanggaran
hukum. Di sini ada sejumlah pihak yang harus dipahami denan peran masing-masing.
Mereka adalah tersangka (jika masih dalam pemeriksaan penyidik
polisi/kejaksaan), terdakwa (jika sudah disidangkan), terpidana (jika sudah
diputuskan pengadilan. Di samping itu jug ada penyidik polisi dan jaksa, dan hakim.
What = apa
Ini berarti
mempertanyakan apa yang terjadi. Bunuh dirikah? Mencuri? Merampok? Atau seorang
direktur ditangkap dan diperiksa polisi karena melakukan tindak pidana korupsi?
Untuk berita
pengadilan, berarti menanyakan apa yang dituduhkan. Bisa juga apa akibat dari
tindakan yang dilakukan, apakah merugikan negara misalnya?
Why=mengapa
Ini berarti
menanyakan alasan atau penyebab tindakan itu dilakukan. Misalnya mengapa
seorang direktur ditangkap polisi, apakah karena ada dugaan menyalahgunakan
wewenang misalnya? Ataukah karena mark up?
Pencuri ditangkap karena lapar, ataukah karena sebab lain?
When= kapan
Berarti
menanyakan kapan tindak pidana itu dilakukan, atau kapan pencuri itu ditangkap.
Where= dimana
Berarti
menanyakan tempat kejadian perkara.
How – bagiamana
Ini berarti
mananyakan bagaimana tindak pidana itu dilakukan atau berarti menanyakan modus
operandi. Apakah dengan cara membius korban sehingga pencurian dapat dengan
mudah? Atau dengan kekerasan sehingga perampok dapat mudah masuk ke rumah, dan
sebagainya. Bisa juga menanyakan bagaimana polisi menangkap, dengan cara apa,
dan sebagainya.
How juga berarti
menanyakan berpa kerugian (how much), berapa banyak orang yang terlibat, berapa
banyak orang yang menjadi korban, dan sebagainya.
2. Pegang teguh
azaz praduga tidak bersalah dengan cara tidak menggunakan kalimat yang
mengandung opini, menuduh dan menghakimi. Misalnya dengan menyatakan perampok,
pencuri, koruptor, teroris, dan sebagainya.
3. Gunakan kata
yang netral seperti: tersangka pencuri, tersangka korupsi, dituduh melakukan
korupsi, diduga menganiaya, dan sebagainya.
Tidak menjadi
masalah jika anda mengutip penjelasan polisi atau jaksa yang menyatakan.
Misalnya: Nurdin M Top yang oleh polisi disebut sebagai dalang teroris kemarin
kabur dari persembunyiannya di Semarang Jawa Tengah. Dengan mengutip sumber pun
sebenarnya masih harus berimbang. Untuk kasus yang bukan buron, masih harus ada
cover both sides, sehingga orang yang
dituduh itu harus dimintai pendapatnya, diberi kesempatan menjelaskan tuduhannya.
Dengan demikian wartawan tidak terjebak pada tindakan menzalimi orang yang
belum jelas kesalahannya.
4. Hindari
bahasa hukum yang rumit, seperti onrechmatigedaad
untuk perbuatan melawan hukum, incrach
van gewisde untuk menyatakan putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap, vrijpraak atau putusan bebas demi hukum.
5. Naskah berita
hukum maupun kriminal tidak perlu rinci menjelasakan modus operandi maupun
bercerita bagaimana kejahatan itu dilakukan. Kemukakan saja garis besarnya, apa
kesalahannya seseorang ditangkap polisi sehingga ia harus meringkuk di
tahanan. Ingat bahwa berita adalah
resume, ringkasan, namun jelas. Karena itu jika anda akan bercerita tentang
penangkapan bandar sabu-sabu di sebuah hotel dan tersangka itu ditembak polisi
hingga mati, anda tidak perlu bercerita bagaimana polisi mengintai dari hari ke
hari. Katakan saja: “Seorang tersangka bandar sabu-sabu tewas terkena peluru
ketika polisi menangkapnya di Hotel Braga Bogor Kamis malam. Polisi berhasil
menangkap tersangka setelah mengintai gerak-geriknya hampir satu minggu.”
6. Data harus
akurat, karena berita yang tidak akurat bukan saja ditinggalkan pemirsa tetapi
juga dapat berdampak pada hukum. Anda dapat dihukum sebagai pembohong karena
beritanya tidak akurat.
Sumber-sumber liputan
Tidak sulit
untuk mendapatkan informasi berita kejahatan atau krimnal dan hukum. Kebanyakan wartawan terbiasa
mendapatkan informasi dari:
- Panitera pengadilan
- Kantor Kejaksaan
- Kantor kepolisian di bagian penyidikan, pusat pelayanan masyarakat, humas
- Radio polisi
- Radio lokal dan publik
- Sumber dari masyarakat
- Siaran televisi
- Internet
- Sumber-sumber informasi dari berbagai pihak
- Kamar mayat
- Instalasi gawat darurat rumah sakit
- Palang hitam (untuk menyebut ambulan pembawa jenazah korban kejahatan), dan sebagainya
Biasanya data yang didapat dari
sumber informasi hanya sedikit sehingga terkadang tidak cukup untuk sebuah
berita. Namun dari sumber informasi yang singkat itu dapat
ditelusuri hingga mendapatkan data dan gambar yang lengkap. Awalnya mungkin
dari kamar mayat, tetapi dicek ke lapangan, ke keluarganya, dan kantor polisi,
akhirnya didapat banyak data dan gambar pun variatif.
Delik pidana
Delik
pidana dalam bidang pers atau pemberitaan tersebar pada beberapa pasal
undang-undang. Pokoknya adalah dalam KUHP yang di dalam kitab hukum warisan
Belanda ini menggunakan istilah kejahatan dengan barang cetakan. Tapi sejalan
dengan perkembangan teknologi, esensi dari pemahaman hukum diperluas termasuk
pada media radio dan televisi, bahkan media dengan menggunakan internet.
Yang
paling menonjol tindak pidana di bidang ini adalah penghinaan, berita bohong,
pencemaran nama baik, fitnah dan sebagainya. Di luar itu ada di Undang-undang
Pers Nomor 40 tahun 19999 dan Undang-undang Penyiaran Nomor 32 tahun 2002.
Pencemaran nama baik.
Ini
adalah delik pidana yang cukup banyak menimpa jurnalis, berkaitan dengan
pemberitaan yang tanpa dasar.[1] Seorang
wartawan mungkin akan berdalih bahwa dia memberitakan seorang diduga melakukan
korupsi berdasarkan keterangan dari seorang pelapor. Tetapi berita itu sudah
terlanjur tersiar dan informasi ini sudah diketahui publik bahwa seseorang
diduga melakukan korupsi, padahal belum tentu laporan itu benar. Sementara
terlapor tidak diberi hak untuk berbicara atau dikonfirmasi. Maka wajar jika
orang itu merasa dicemarkan dan pelapor bisa saja dituntut karena melakukan
pencemaran nama baik. Wartawan atau medianya juga dapat dituntut melakukan
pencemaran dan tidak dapat berdalih hanya mengutip ucapan pelapor. Inilah yang
di Inggris sangat ketat aturannya jangan sampai seorang wartawan sembarang
memberitakan orang tanpa dasar yang sah dan konfirmasi dari yang bersangkutan.
Delik pencemaran diatur dalam pasal 310 ayat 1 dan
2 KUHP.
Pasal 310 ayat
(1): “Barang siapa dengan sengaja
menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan suatu hal, yang
maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam dengan pencemaran,
dengan pidana penjara paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Pasal 310 ayat
(2): “Dalam hal dilakukan dengan tulisan
atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum,
maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu
tahun empat bulan atau oidana denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah.”
Pasal 310 ayat
(3): “Tidak merupakan pencemaran atau
pencemaran tertulis jika perbuatan jelas dilakukan untuk kepentingan umum atau
karena terpaksa untuk membela diri,”
Istilah
“demi kepentingan umum” yang dimaksud adalah masyarakat akan dirugikan jika hal
yang dituduhkan tidak diungkap di depan umum. Seperti dalam asas oportunitas
yang dimiliki Kejaksaan, bahwa Kejaksaan dapat menghentikan penuntutan demi
kepentingan umum. Di sini kepentingan umum diartikan bahwa jika penuntutan
perkara akan mengakibatkan kerugian lebih besar bagi masyarakat dibanding
kepentingan hukum yang dilindungi.
Atas
dasar ini pula maka seorang wartawan yang memengumumkan gambar Nurdin M Top
tersangka teroris, tidak akan dikenai tuduhan pencemaran nama baik, karena ada
kepentingan yang lebih besar daripada melindungi sang tersangka teroris itu.
Pasal 311 ayat
(1): “Jika yang melakukan kejahatan
pencemaran atau pencemaran tertulis dibolehkan untuk membuktikan apa yang
dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya, dan tuduhan dilakukan bertentangan
dengan apa yang diketahui, maka ia diancam dengan melakukan fitnah dengan
pidana penjara paling lama empat tahun.”
Perbuatan yang
diuraikan dalam pasal tersebut disebut delik fitnah, karena di dalamanya ada
unsur di mana si terdakwa diberi hak
oleh pengadilan untuk membuktikan tuduhannya, namun ia tidak menggunakan
haknya. Yang kedua tuduhan itu bertentangan dengan apa yang diketahuinya,
artinya terdakwa memang mengetahui fakta yang benar tapi tidak disiarkan
seperti apa yang diketahuinya.
Berita Bohong
Berita
bohong adalah berita yang tidak sesuai dengan kenyataan, ynag sumberjnya tidak
jelas nbamun disiarkan juga. Jika ini terjadi dan berakibat publik tertipu
karenannya, atau bahkan terjadi keonaran, maka yang menyiarkan dapat dihukum
pidana.
Pasal XIV UU Nomor 1 Tahun 1946
(KUHP) berbunyi:
- Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya sepuluh tahun.
- Barang siapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu bohong, dihukum dengan penjara selama-lamanya tiga tahun.
Pasal XV UU
Nomor 1 Tahun 1946
Barang siapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar
yang berlebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti,
setidak-tidaknya patut dapat menduga, bahwa kabar demikian akan atau mudah
dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara
selama-lamanya dua tahun.
Untuk berita
televisi, gambar lebih berbicara daripada naskah, sehingga delik pidana kabar
bohong mungkin dapat dihindari. Kita bicara kecelakaan, ada gambar kecelakaan.
Orang diperiksa polisi, ada gambarnya. Tetapi jangan lupa bahwa isi atau content daripada berita itu sendiri
tidak sesuai fakta alias bohong dapat saja terjadi. Misalnya televisi
memberitakan “ratusan orang keracunan setelah makan siang di Hotel Barata
Semarang.” Gambar orang keracunan terlihat jelas di selasar rumah sakit. Tapi
apakah benar mereka keracunan setelah makan di Hotel Barata? Kalau berita itu
mengakibatkan tamu Hotel Barata menyusut atau bahkan tidak laku, jelas berita
anda membuat kerugian bagi orang lain dan ternyata memang karena kecerobohan
dan berita anda dapat dikategorikan sebagai berita bohong. Hotel Barata dapat
menuntut ke pengadilan dan anda dapat dipidana. Itulah sebabnya, akurasi data
itu sangat penting, dan check and recheck
harus dilakukan.
10 Pedoman Meliput Masalah Hukum
Persatuan
wartawan Indonesia (PWI) pada 30 Juli 1977 telah mengeluarkan pedoman penulisan
tentang hukum. Saat itu memang belum ada pemberitaan hukum dan kriminal seperti
sekarang, sehingga aspek gambar hidup dan suara tidak menjadi perhatian. Meski
demikian kita dapat menjadikan pedoman itu sebagai bagian dari apa yang harus
kita lakukan.
Kesepuluh pedoman itu adalah:
- Pemberitaan mengenai seseorang yang disangka/dituduh tersangkut dalam suatu perkara hendaknya ditulis dan disajikan dengan menjunjung tinggi asas praduga tidak bersalah. Artinya seorang belum dapat dianggap bersalah sampai ada keputusan hukum yang menyatakan ia bersalah.
- Pers dapat menyebut nama lengkap tersangka jika untuk kepentingan umum. Namun haruslah memperhatikan prinsip adil dan “fairness”, memberitakan kedua belah pihak atau “cover both sides”.
- Nama, identitas dan potret gadis/wanita yang menjadi korban pemerkosaan, begitu juga remaja yang tersangkut perkara pidana, terutama yang menyangkut asusila dan korban narkotika, tidak dimuat lengkap/jelas.
- Anggota keluarga yang tidak ada sangkut pautnya dengan perbuatan yang dituduhkan dari salah seorang tersangka/terhukum, hendaknya tidak ikut disebut-sebut dalam pemberitaan.
- Dalam rangka mengungkapkan kebenaran dan tegaknya prinsip-prinsip proses hukum yang wajar (due process of law) pers seyogyanya mencari dan menyiarkan pula keterangan yang diperoleh di luar persidangan, apabila terdapat petunjuk-petunjuk tentang adanya sesuatu yang tidak beres dalam keseluruhan proses jalannya acara.
- Untuk menghindari “trial by the press” pers hendaknya memperhatikn sikap terhadap terhukum dan sikap terhadap tertuduh. Tertuduh jangan sampai dirugikan posisinya berhadapan dengan penuntut umum. Perlu diperhatikan supaya tertuduh kelak bisa kembali dengan wajar ke dalam masyarakat.
- Untuk menghindari “trial by the press” nada dan gaya tulisan atau berita jangan sampai menuduh, tidak menggunakan kata yang mengandung opini, seperti kata-kata “saksi-saksi memberatkan terdakwa” atau “tertuduh memberikan keterangan yang berbelit-belit”
- Pers hendaknya tidak berorientasi pada posisi jaksa atau polisi centris, tetapi memberikan kesempatan yang seimbang kepada polisi, jaksa, hakim pembela dan tersangka/tertuduh.
- Pemberitaan mengenai suatu perkara hendaknya proporsional, menunjukkan garis konsisten dan ada kelanjutan tentang penyelesaiannya.
- Berita hendaknya memberikan gambaran yang jelas mengenai duduk perkara (kasus posisi) dan pihak-pihak dalam persidangan dalam hubungan dengan hukum yang berlaku.
Dalam
kaitannya dengan hukum, apa yang boleh
dan apa yang tidak boleh diliput sebenarnya tidak ada aturan yang spesifik
melarang. Yang tidak boleh justru pada penayangannya, karena berkaitan dengan
urusan publik. Namun pengetahuan tentang itu diperlukan agar teknik pengambilan
gambar dapat dilakukan sedemikian rupa sehingga terhindar dari berbagai
larangan.
Misalnya,
peraturan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) melarang menyiarkan gambar korban
perkosaan, atau anak di bawah umur. Kalaupun akan menayangkan haruslah dengan
cara bijak, misalnya dengan menyamarkan wajah dan suaranya. Dari teknik
jurnalistik televisi, cara menutup
sebagian pandangan lensa kamera dengan ujung daun (jika wawancara di taman),
akan diperoleh gambar yang cukup baik. Teknik semacam ini lebih artistik,
daripada gambar harus disamarkan ketika dalam proses mixing. (end)
[1] Lihat buku Panduan Hukum Untuk
Jurnalis, terbitan AJI Jakarta dan US Embassy tahun 2005 halaman 13 hingga 17.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar