Pertanggungjawaban Pidana Pers dan Penyiaran
Oleh
Syaefurrahman Al-Banjary*)
Hampir sepuluh tahun kebebasan pers
berlangsung dengan beragam bentuk dan manifestasinya. Bahkan terkadang sering
kebablasan karena mengartikan kebebasan sebagai tanpa aturan. Sebenarnya,
kebebasan itu esensinya adalah tidak diperkenankannya langkah-langkah preventif
ataupun represif dalam kehidupan hukum kita. Dalam kehidupan pers, maka harus
bebas dari larangan sensor pembredelan dalam bentuk apapun.
Kebebasan
pers adalah refleksi dari jaminan kebebasan berpendapat dengan lisan dan
tulisan, dan dalam perkembangannya juga melalui media televisi dan radio,
sebagai media yang dapat menyampaikan pesan kepada publik. Karena menyangkut
publik itulah maka ucapan, pernyataan, yang kemudian dituliskan atau disiarkan,
memiliki dampak yang luar biasa. Karena dampaknya itu pula, maka dalam sejarah
pers dan penyiaran di Indonesia,
pernah terjadi pengekangan (istilah orde baru adalah pengendalian) kebebasan
pers untuk menjamin kepentingan publik. Dengan kata lain, sebenarnya kebebasan
itu harus disertai dengan tanggungjawab sosial (social responsibility)
Pemerintahan Orde Baru mengakui
adanya kebebasan pers tanpa ada sensor dan breidel. Tetapi pemerintah juga yang
mengharuskan penerbitan media harus dengan Surat izin Terbit, kemudian SIUPP (Surat Izin
Usaha Penerbitan Pers). Semua itu adalah bentuk-bentuk sensor. Bahkan dengan
alasan administrative itulah, pemerintah yang berkuasa dapat mencabut izinnya,
sehingga pers tak lagi dapat terbit. Jadi esensi dari pencabutan SIT dan SIUPP
sebenarnya adalah pembredelan.
Ketika orde reformasi khususnya sejak
zaman Menteri Penerangan Yunus Yosfiah, SIUPP –yang sering mengganjal kebebasan
pers itu – ditiadakan. Artinya setiap penerbitan pers tidak lagi memakai izin.
Tetapi khusus untuk penyairan televisi dan radio, ketentuan izin masih tetap
diberlakukan, karena pertimbangannya adalah, lembaga penyiaran menggunakan
ranah publik yang jumlahnya terbatas, sehingga harus diatur sedemikian rupa agar
dapat dimanfaatkan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Begitu juga dalam UU Penyiaran
yang baru (UU 32/2002), izin penyiaran tetap diperlukan, semuanya dalam rangka
memenuhi hak-hak publik akan informasi yang sehat.
Atas
dasar inilah maka segala sesuatu yang melanggar kepentingan publik dapat
dipidana. Kebebasan itu juga berarti kebebasan individu dari gangguan pihak lain, maka pemidanaan
bukan hanya bagi pihak yang menghalang-halangi kebebasan pers, tetapi juga bagi
setiap orang yang menyampaikan kabar bohong melalui pers. Jurnalis dan media pers karena posisinya
sebagai alat kontrol dan penyalur informasi publik, mestinya hanya berlaku kode
etik jurnalistik. Setiap karya jurnalistik pada dasarnya tidak dapat dipidana.
Pesoalannya adalah saat ini sistem
pertanggungjawaban pidana di bidang pers yang sudah mengalami kemajuan tetapi
dalam pelaksanaannya selalu kembali kepada sistem lama, yakni sistem pidana “penyertaan”
yang diatur dalam KUHP. Undang-Undang Pers 40/ 1999 menjamin kebebasan pers,
dan menjamin tidak adanya kriminalisasi karya jurnalistik. Karena itu barang
siapa yang menghalang-halangi tugas jurnalistik dapat dipidana pejara dan/atau
denda.
Pasal 18 ayat 1 dari Undang-undang
Pers 40/1999 menyatakan: “Setiap
orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang
berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan pasal 4 ayat 2 dan
ayat 3 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling
banyak Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah).”
Pasal 4 ayat 2 berbunyi: Terhadap
pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pemberedelan atau pelarangan
penyiaran.
Pasal 4 ayat 3 berbunyi: Untuk
menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan
menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Meski sudah jelas jaminan hukumnya,
tapi secara faktual di lapangan tidaklah demikian. Polisi, jaksa dan hakim masih
menggunakan KUHP warisan kolonial dalam
memeriksa, menuntut hingga mengadili terdakwa, dengan mengabaikan pendapat
kalangan pers bahwa undang-undang pers adalah lex specialis (lex specialis
derogate lex generali, hukum khusus menghapuskan hukum umum). Jadilah
wartawan selalu menjadi tumbal atas pernyataan maupun data yang dia siarkan. Padahal
sudah ada mekanisme hak jawab, hak koreksi dan pengdilan internal (Dewan Pers) yang
dapat digunakan jika ada pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan. Jika
pers terbukti bersalah, maka hukuman yang pantas adalah denda yang tidak
membangkrutkan usaha pers. Inilah semangat UU Pers nomor 40 tahun 1999. Karena
itu pula Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia (KEWI) menyatakan dalam pasal
4 : “Wartawan Indonesia
tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul. Pers atau wartawan yang
melanggar ini dapat dikenakan sanksi berat dalam pengadilan etik jurnalistik
oleh organisasi jurnalis yang sah dan oleh Dewan Pers sebagai “pengadilan pers
tertinggi”.
Sistem Pertanggungjawaban Pidana Menurut KUHP
Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di Indonesia menganut sistem
pertanggungjawaban “pernyertaan”. Artinya, tindak pidana itu dilakukan oleh
sejumlah orang. Ada
pelaku utama, pelaku pembantu, dan ada pelaku peserta atau turut serta.
Dasarnya adalah pasal 55 KUHP:
(1) Dipidana sebagai pelaku tindak
pidana:
a.
Mereka
yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan
perbuatan.
b.
Mereka
yang dengan memberi bantuan atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan
kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman kekerasan atau penyesatan,
atau memberi kesempatan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan
perbuatan.
(2) Terhadap penganjur, hanya perbuatan
yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.
Menurut pasal ini ada empat golongan
pelaku, yakni (1) orang yang melakukan (pleger); (2) orang yang meyuruh melakukan
(doen pleger); (3) orang yang turut melakukan (medepleger); (4) orang yang
membujuk melakukan (uitlokker). Semua golongan dalam pasal 55 KUHP ini
disamakan sehingga hukumannya juga disamakan.
Pasal 56 KUHP:
Dipidana sebagai pembantu kejahatan:
1.
Mereka
yang memberi bantuan waktu kejahatan dilakukan
2.
Mereka
yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan
kejahatan.
Pasal 56 KUHP ini mengatur mengenai
orang yang digolongkan sebagai “orang yang membantu” melakukan tindak pidana (medeplichting)
atau “pembantu”
Jika dalam suatu tindak pidana
terlibat beberapa orang sekaligus, maka untuk menentukan hukuman masing-masing
orang itu, harus dilihat lebih dahulu bagaimana dan sejauh mana keterlibatan
mereka dalam tindakan itu.
Contoh kasus: Penghinaan
Pasal
310:
(1)
Barang
siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan
sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam
karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana
denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2)
Jika
hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukkan
atau ditempelkan di muka umum, maka karena pencemaran tertulis dengan pidana
penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak empat ribu
lima ratus rupiah.
(3) Tidak termasuk pencemaran atau
pencemaran tertulis, jika perbuatan itu jelas dilakukan demi kepentingan umum
atau karena terpaksa untuk membela diri.
Berdasarkan pasal ini, maka pelaku
penyiaran televisi yang menyiarkan berita ataupun gambar yang dapat digolongkan
sebagai pencemaran, maka yang bertanggungjawab bukan hanya penyiarnya.
Katakanlah kalau siaran berita, yang bertangungjawab adalah bukan hanya si
reporter, tetapi juga produser, news manajer bahkan pemimpin redaksinya. Dalam
sistem KUHP ini, maka akan dicari yang paling bertanggungjawab dalam hal
menyiarkan berita atau gambar tersebut.
Pada dasarnya KUHP mengatur sistem
penyertaan ini, tetapi tidak secara murni karena di sana sini terdapat pengecualian. Artinya,
dalam posisi sebagai apakah seseorang yang dituduh, semuanya mengikuti asas
ini, termasuk dalam masalah pers dan penyiaran. Namun dalam beberapa hal bisa
menyimpang dari asas ini. Misalnya soal pertanggugjawaban yang berhubungan dengan
tindak pidana percetakan. Percetakan atau penerbit yang memenuhi pasal 61 dan
62 KUHP tidak dapat dihukum berdasarkan sistem penyertaan. Misalnya karena si
penulisnya itu sudah diketahui
identitasnya, dan si penerbit sudah mencantumkan nama dan tempat tinggalnya.
Pertanggungjawaban menurut UU Pers
Pasal 15 UU Pokok Pers Nomor 21 tahun 1982 mengatur siapa yang dapat
dimintai pertangguhgjawaban. Mereka adalah:
1.
Pemimpin
umum bertanggungjawab atas keseluruhan
penerbitan, baik ke dalam maupun keluar
2.
Pertanggungjawaban
pemimpin umum dapat dipindahkan kepada pemimpin redaksi mengeni isi penerbitan
(redaksional) dan kepada pemimpin perusahaan mengeni soal-soal perusahaan
3.
Pemimpin
redaksi bertanggungjawab atas pelaksanaan redaksional dan wajib melayani hak jawab
dan hak koreksi
4.
Pemimpin
redaksi dapat memindahkan pertanggungjawabannya terhadap hukum mengenai suatu
tulisan kepada anggota redaksi lain atau kepada penulisnya yang bersangkutan
5.
Dalam
pertanggungjawaban sesuatu tulisan terhadap hukum, pemimpin umum, pemimpin
redaksi, anggota redaksi atau penulisnya mempunyai hak tolak.
Inilah yang dimaksud dengan sistem
pertanggungjawaban air terjun atau waterfall, artinya pertangungjawaban
pidana dapat dilimpahkan kepada orang lain di bawahnya secara struktural. Tetapi
sebenarnya, dengan adanya kata “dapat” dalam pasal tersebut, maka
pertanggungjawaban sistem air terjun tidaklah sepenuhnya, dan sifatnya
fakultatif, artinya pilihan, diserahkan kepada mereka yang berperkara. Jadi,
dapat dilimpahkan, dapat juga tidak dilimpahkan kepada orang lain di bawahnya.
Kalau pemimpin redaksi tidak mengalihkan tanggungjawabnya kepada reporter, maka
substansi pemberitaan akan menjadi tanggungjawab pemimpin redaksi.
Hingga saat ini perbedaan
pendapat masih melingkupi makna pertanggungjawaban pers dalam kaitannya dengan
substansi pemberitaan, apakah menjadi tanggungjawab perusahaan/pemimpin redaksi
ataukah menjadi tanggungjawab individu reporter.
Dengan berlakunya UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pokok
Pokok Pers, persoalan pertanggungjawaban Pers diatas memiliki keterkaitan
antara (penjelasan) pasal 12 dengan Pasal 18. Penjelasan pasal 12 menyatakan : “yang
dimaksud penanggungjawab adalah penanggungjawab perusahaan pers yang meliputi
bidang usaha dan bidang redaksi”. “Sepanjang menyangkut pertanggungjawaban
pidana menganut ketentuan perundang-undangan yang berlaku”.
Mengenai sanksi pidana pada Pasal 18 ayat (1) meliputi pidana
penjara paling lama 2 tahun atau denda terhadap setiap orang yang melakukan
perbuatan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan keiatan
jurnalistik, larangan sensor, breidel atau larangan penyiaran, sedangkan pada
ayat (2) menentukan bahwa dalam hal pelanggaran pidana yang dilakukan oleh
perusahaan pers, maka perusahaan pers tersebut diwakili oleh Penanggungjawab
sebagaimana dimaksud dalam penjelasan pasal 12 (Penanggungjawab dibidang usaha
dan bidang redaksi).
Penjelasanan ayat (2) pasal 18 menyatakan :
“Dalam hal pelanggaran pidana yang dilakukan oleh
Perusahaan Pers maka perusahaan tersebut diwakili oleh Penaggungjawab
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12”.
Dengan adanya ketentuan di atas, maka pakar hukum
Indrianto Seno Aji menyimpulkan bahwa UU Pokok Pers yang baru ini meliputi
pertanggungjawaban yang dapat dianggap pertanggungjawaban fiktif, karena masih
menempatkan penanggungjawab perusahaan pers yang meliputi bidang usaha dan
bidang redaksi. Namun dengan memperhatikan penjelasan pasal 12 yang menyangkut
pertanggungjawaban pidana menganut ketentuan perundang-undangan yang berlaku,
maka makna yang berlaku adalah azas umum dari pertanggungjawaban pidana berupa
“individual responsibility”.
UU Penyiaran 32/2002
Sistem pertanggungjawaban yang
terdapat pada UU Penyiaran sama dengan yang berlaku dalam KUHP yakni menganut sistem
penyertaan. Artinya, jika dalam sebuah siaran televisi ataupun radio terdapat
siaran yang termasuk dalam delik pidana, maka yang dimintai pertanggungjawaban
adalah penanggungjawab siaran itu,
secara berantai. Bisa jadi banyak orang yang tekena pidana. Katakanlah
pelanggaran siaran iklan rokok yang memperagakan wujud rokok di TV. Menurut UU
Penyiaran, pelanggaran tersebut dipidana
2 tahun penjara atau denda 5 milyar
rupiah. Siapa yang dapat dipidana? Haruslah dicari yang bertanggungjawab,
mungkin produser, pembuat iklannya, atau penanggungjawab siaran yang lalai
tidak melakukan kontrol, bahkan dapat pula banyak orang yang terkena pidana
sesuai sistem “penyertaan”.
Lihatlah pasal 54 UU Penyairan:
“Pimpinan badan
hukum lembaga penyiaran bertanggungjawab secara umum atas penyelenggaraan
penyiaran dan wajib menunjuk penangungjawab atas tiap-tiap program yang
disiarkan”.
Pasal
ini memberikan gambaran jelas bahwa, sekalipun secara umum pemimpin lembaga
penyiaran bertanggungjawab secara umum, tetapi di dalamnya terdapat bagian dan masing-masing
bagian memiliki tanggungjawab professional atas bidang kerjanya, maka menjadi
tanggungjawab hukum pula bagi yang melaksanakannya. Misalnya di bagian pemberitaan, ada
berbagai program berita, di sana
ada produser yang bertanggungjawab. Maka dialah yang dapat dimintai
pertanggungjawaban pidana. Tetapi karena yang membuat berita adalah reporter,
dan data-data yang dibuat reporter ternyata salah fatal sehingga mencemarkan
nama baik seseorang, maka reporter juga
dapat dimintai pertanggungjawaban.
Jadi dalam UU Penyiaran masih
menganut sistem pertanggungjawaban pidana seperti KUHP sebagaimana dinyatakan
dalam pasal 55 dan 66 KUHP. Maka dalam dakwaan jaksa, biasanya selain
mencantumkan pasal yang dilanggar dalam UU Penyairan, juga akan mencantumkan
pasal 55 atau 56 KUHP sebagai rujukan tindak pidana “penyertaan”.
Yang
lebih celaka adalah adanya aturan yang mestinya masuk wilayah kode etik, tetapi
dikriminalisasi. Misalnya pasal 36 ayat
5 UU Penyiaran yang mengatur bahwa isi siaran dilarang bersifat fitnah,
menghasut, menyesatkan dan/atau bohong. Juga dilarang menonjolkan unsur
kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang; atau
mempertentangkan suku, agama, ras dan antar golongan. Pelanggaran pasal ini
dapat dikenai pidana 5 tahun dan/atau denda paling banyak satu milyar rupiah
(untuk penyiaran radio), dan pidana penjara lima tahun dan/atau denda paling
banyak 10 miliar rupiah (untuk penyiaran televisi).
Kita
tidak dapat membayangkan jika pasal ini diterapkan. Misalnya stasiun televisi
menyiarkan berita yang ternyata ditanggapi seseorang yang mengaku merasa
difitnah (misalnya dalam kasus korupsi). Karena terkena pasal penyertaan, maka
dari pemimpin redaksi sampai reporter dan video editor secara bersama-sama
dituduh melakukan serangkaian penistaan, pencemaran nama baik. Kasus ini sampai
ke pengadilan, dan mereka dipidana. Jika ini yang terjadi, maka tamatlah
riwayat pemberantasan korupsi.
Berdasarkan
uraian di atas, kalangan jurnalis maupun pelaku penyiaran televisi dan radio
masih tetap berada dalam ancaman. Ini karena sistem pertanggungjawaban pidana
masih belum ada keseragaman dan mengancam jurnalis, di sisi lain jaminan
kebebasan pers ternyata mulai digerogoti oleh aturan baru yang justru lebih
kejam. Kriminalisasi karya jurnalistik dan penyiaran yang terdapat dalam UU
Penyiaran 32/2002, kini akan dikuatkan lagi oleh RUU KUHP. Kalau dalam KUHP
warisan kolonial hanya terdapat 37 pasal, maka dalam RUU KUHP terdapat sekitar 49 pasal yang dianggap menghantui kerja pers. Belum lagi terdapat pidana tambahan yang
mengancam wartawan dicabut haknya untuk menjalankan profesinya. Jika ini yang
terjadi, maka cita-cita good government
dan pemenuhan hak publik akan informasi kembali terpasung. Maka, waspadalah,
waspadalah!
*) Penulis adalah seorang jurnalis di antv, alumnnus Pascasarjana Kajian
Ilmu Kepolisian UI angkatan IV (lulus 2001), dan penulis buku “Hitam Putih
Polisi dalam Memberantas Jaringan Narkoba”. Tinggal di bogor, alamat surat: aiagallery@yahoo.com. Tulisan ini disiapkan
untuk Buku 70 Tahun Prof. Mardjono Reksodiputro.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar