Jumat, April 23, 2010

TRAGEDI UU KESEHATAN

Senin, 12/04/2010 04:41 WIB
Mantri Desa Tolong Pasien Dipidana
Tragedi Misran, Tragedi Hukum Indonesia
Andi Saputra - detikNews

Jakarta - Pengadilan Tinggi Samarinda Jumat kemarin memberikan putusan banding dengan menguatkan putusan PN Tenggarong yaitu penjara selama 3 bulan kepada Misram, mantri desa di pedalaman Kalimantan. Kecaman pun langsung mengalir dari berbagai kalangan, bahkan dari kalangan medis sendiri.

"Hakim adalah yang paling dekat dengan lokasi. Harusnya memahami permasalahan keterbatasan alam dan geografis yang menjadi alasan mantri desa berpraktek. Jelas ini pengadilan berjalan kurang baik," kata pengamat kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Firman Lubis saat berbincang dengan detikcom, Jumat (9/4/2010) malam.

Kritikan pedas juga dilontarkan kriminolog yang menilai UU yang menjerat Misran hanya menggunakan kaca mata Jakarta yang mudah diakses oleh siapapun. Padahal geografis alam Indonesia tidak bisa sama.

"Ini menggunakan cara pandang pusat. UU tersebut menggunakan kaca mata Jakarta. Padahal, banyak di daerah yang susah terjangkau oleh dokter," kata Kriminolog Universitas Jenderal Soedirman, Jawa Tengah, Angkasa.



Kalangan masyarakat pun menyesalkan putusan pengadilan tersebut. LBH Jakarta menilai kasus ini akibat kelalai pemerintah dalam menyiapkan struktur medis. Seharusnya Departemen Kesehatan segera membuat struktur organisasi untuk mendukung perintah UU tersebut.

"UU Kesehatan menyebutkan yang dapat memberikan pertolongan kesehatan tertentu adalah dokter. Maka Depkes harusnya menyiapkan tenaga dokter hingga ke pelosok Indonesia," ujar pengacara publik LBH Jakarta, Eddy Halomoan.

Tapi yang terjadi, lanjut Eddy, pemerintah tidak melaksanakan perintah UU untuk menyiapkan tenaga medis. Sehingga yang terjadi adalah kriminalisasi profesi mantri/bidan desa. Padahal di Indonesia, mantri desalah yang berperan sebagai ujung tombak pelayan kesehatan masyarakat.

"Kalau ada yang sakit, apa masyarakat dibiarkan mati? Padahal disitu ada orang yang tahu cara menyembuhkan. Inikan sangat tidak manusiawi," bebernya.

Keprihatinan buruknya putusan pengadilan juga diutarakan oleh pakar hukum pidana, Andi Hamzah. Dalam wawancara singkatnya dengan detikcom, dia menilai seharunya Misran tidak perlu dihukum.

Menurut Andi, yang dilakukan oleh mantri desa terpencil tersebut tidak menyalahi hukum pidana secara materil. Sebabnya, tidak ada orang yang berwenang memberikan pertolongan di daerah tersebut. "Kalau tidak ada dokter, siapa yang menolong?" ujarnya.

Andi menilai, hakim hanya memandang kesalahan Misran secara hukum formil semata. Dalam UU Kesehatan, mantri desa tidak mempunyai wewenang memberikan pertolongan seperti tertulis UU.

"Lah, dia kan sudah 18 tahun mengabdi di situ. Pasti sudah seperti dokter. Bahkan mungkin lebih pinter dari dokter," tambah perumus revisi KUHP ini.

Bahkan, menurut sosiolog Imam Prasojo, kasus Misran bukanlah kasus pertama. Dia mengaku kasus seperti Misran sudah sering terjadi di Indonesia. Imam memberikan contoh kasus di Purwakarta, Jawa Barat. Di kabupaten tersebut, ada sebuah SD yang memiliki berbagai kekurangan sehingga tukang kebon yang hanya lulusan SD pun menjadi guru. Jika menggunakan kacamata UU semata, jelas guru dadakan ini melanggar UU.

"Tapi kalau dia nggak mengajar, apa murid-murid SD tidak mendapat pendidikan? Meski secara aturan, hal tersebut melanggar Peraturan Menteri," ujar mantan anggota KPU ini.

Dia juga mencontohkan, kasus Suster Apung, yang terpaksa menggunakan infus kadaluarsa karena alasan keterbatasan barang. Alasan lain, jika tak diinfus, maka pasien akan meninggal dunia. Sedangkan dengan infus kadaluarsa, maka pasien akan mempunyai harapan hidup.

"Apa iya, Suster Apung juga harus dipidana?," tanyanya.

Kasus Misran bermula ketika hakim PN Tenggarong yang diketuai oleh Bahuri dengan hakim anggota Nugraheni Maenasti dan Agus Nardiansyah memutus hukuman 3 bulan penjara, denda Rp 2 juta rupiah subsider 1 bulan pada 19 November 2009. Hakim menjatuhkan hukuman berdasarkan UU 36/ 2009 tentang Kesehatan pasal 82 (1) huruf D jo Pasal 63 (1) UU No 32/1992 tentang Kesehatan yaitu Mirsam tak punya kewenangan memberikan pertolongan layaknya dokter.

Putusan ini lalu dikuatkan oleh PT Samarinda, kemarin. Akibat putusan pengadilan ini, 13 mantri memohon keadilan ke MK karena merasa dikriminalisasikan oleh UU Kesehatan. Lantas, bagaimanakah ending tragedi dari pedalaman Kalimantan ini? Kita lihat bagaimana palu keadilan MK memutus.

(asp/irw)

Tidak ada komentar: