Rabu, 07/04/2010 17:29 WIB
Mantri Desa Dipidana
Misran Jaga Kesehatan 9 Ribu Warga Desa Terpencil
Andi Saputra - detikNews
Jakarta - Misran kini hanya bisa pasrah. UU 36/2009 tentang Kesehatan, tidak membolehkannya memberi obat keras untuk mengobati pasien. Padahal, 9 ribu orang yang tersebar di 5 desa di Kutai Kertanegara, Kaltim, bergantung padanya.
"Dokter terdekat di ibukota kecamatan, jarak tempuh sekitar 30 KM. Ini sangat rentan bagi pasien untuk dapat tertolong," ujar sekretaris LKBH Korpri Kutai Kertanegara, Mukhlis saat berbincang-bincang dengan detikcom, Rabu (7/4/2010).
LKBH ini yang memberikan pendampingan hukum untuk Misran dari kepolisan sampai ke Mahkamah Konstitusi (MK). Misran selama 18 tahun mengabdi menjadi Kepala Puskesmas Pembantu, dia membawahi 5 desa, 3 diantaranya yaitu Desa Kuala Samboja, Pemedas dan Tanjung Harapan.
Dalam hal ekonomi, 5 desa tersebut lebih terbelakang dibandingkan daerah lain di Kutai Kertanegara. 9 ribu penduduk yang dibawahi Misran umumnya berprofesi sebagai buruh dan nelayan.
"Kalau ada nelayan yang kecelakaan saat melaut. Kan butuh pengobatan secepatnya," bebernya.
Selama puluhan tahun mengabdi, kedekatan dengan warga pun terjalin. Misran tak hanya memberikan pelayanan selama jam kerja tapi selama 24 jam. Bahkan masyarakat selalu keberatan jika Misran dipindahtugaskan.
"Akhirnya, ada masyarakat yang membagi sepetak tanahnya untuk Misran guna membangun rumah di situ. Semata-mata biar dekat dengan warga," tambahnya.
Keterpencilan desa Misran nampak dari jarak tempuh dari Kuala Samboja ke ibukota kabupaten, Tenggarong. Minimal butuh waktu setengah hari atau sepanjang 200 km untuk sampai ke Tenggarong. Jarak yang jauh tersebut pula yang menyebabkan mantri desa ini hanya mengambil obat per 3 bulan.
"Jadi sangat logis jika Misran memberikan pertolongan layaknya dokter," bebernya.
Nasib Misran ternyata juga dialami kurang lebih 1.000-an mantri desa yang tersebar di 500 lebih desa di seluruh Kabupaten Kutai Kertanegara. Selain Misran, banyak mantri desa yang lokasi pengabdiannya lebih terpencil dengan jarak yang lebih lama.
"Di sini, sebagian besar transportasi menggunakan perahu sungai. Kalau mantri tak boleh mengobati, bagaimana masyarakat di desa yang perlu waktu 3 hari perjalanan sungai dan darat hingga menemui dokter? Padahal di situ sudah ada mantri desa. Apa kita tega membiarkan orang sakit ? Itu baru di Kutai Kertanegara. Bagaimana dengan kabupaten lain di seluruh Indonesia ?" pungkas Mukhlis.
(asp/fay)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar