Jumat, Januari 20, 2012

POLRI DALAM DILEMA PERLINDUNGAN HAM


Pendahuluan
Bentrokan antara warga dengan aparat Brimob di pelabuhan Sape Bima berakhir dengan kesimpulan bahwa Polri melanggar HAM. Ada kesalahan prosedur tetap (protap) yang dilakukan oleh polisi dalam menghadapi massa yang memblokir pelabuhan ketika menuntut pencabutan izin pertambangan PT Sumber Mineral Nusantara. Kesalahan Protap yang dimaksud adalah dalam hal penggunaan senjata api dalam menghadapi warga. Demikianlah kesimpulan yang dirilis Komnas HAM beberapa hari setelah timnya terjun ke lapangan. Komnas HAM mencatat tiga orang tewas dalam kasus ini.
Kasus Bima tersebut menambah panjang daftar kekerasan yang dilakukan oleh polisi. Sebelumnya, kasus Mesuji Lampung dan Sumatera Selatan, Komnas HAM mencatat tujuh warga tewas dalam bentrokan warga dengan aparat Brimob dalam sengketa lahan sawit di Kecamatan Mesuji Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumsel. Sedangkan di lahan sawit Mesuji Lampung satu orang dilaporkan tewas. Kasus Bima dan Mesuji juga semakin meyakinkan hasil survey Imparsial bulan Mei 2011 bahwa tingkat kepuasan masyarakat terhadap Polri khususnya di bidang penegakan hukum dan HAM baru mencapai 19,4% yang merasa puas, 58% warga mengatakan tidak puas dan 22% menjawab tidak tahu. [1]
Menanggapi kasus ini Kapolri Jenderal Polisi Timur Pradopo mengaku akan membahas hasil penyelidikan ini langsung bersama Ketua Komnas HAM. Kapolri menyatakan bahwa penggunaan senjata api sudah sesuai prosedur dan disepakati pimpinan di lapangan.[2] Dalam kesempatan lain, Kapolri menyatakan bahwa di lapangan Brimob harus menghormati HAM, namun sering menghadapi dilema terkait HAM ini. “Salah satu isu penting adalah penghargaan terhadap Hak Azasi Manusia. Ini harus diperhatikan, karena biasanya Brimob selalu dihadapkan pada masalah sulit, kebimbangan antara menjalankan tugas dan melanggar hak asasi manusia atau bukan,” kata Timur di Markas Komando Brimob, Kelapa Dua, Depok, Senin 14 November 2011.[3]
Masalah Pokok
Kekerasan dan pelanggaran HAM seperti dalam kasus Bima dan Mesuji adalah bagian dari persoalan yang dihadapi Polri dalam menjalankan fungsinya sebagai penjaga/menciptakan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum dan mewujudkan keadilan masyarakat. Pelaksanaan tugas itu memang harus dilakukan dengan senantiasa menghormati HAM, profesional dan akuntabel. Namun kenyataannya tugas mulia itu belum sepenuhnya mampu diwujudkan. Kasus-kasus HAM seperti di Bima dan Mesuji, akan selalu bergesekan dengan polisi, karena memang sudah menjadi tugasnya, bahwa polisi memang berada di masyarakat yang beragam watak dan sifatnya.
Persoalannya sekarang adalah bagaimana mewujudkan reformasi Polri khususnya dalam bidang penegakan hukum dan HAM setelah kedudukannya lepas dari TNI dan saat ini langsung di bawah Presiden. Tentu bukan persoalan mudah mewujudkannya, karena terkait dengan perubahan kultur dan pendidikan aparat kepolisian yang dilakukannya.

Oleh karena itu, perlu kiranya menyamakan persepsi memahami peran polisi dalam konteks perubahan sosial sehingga dapat dicari solusinya yang tepat dan tidak terlalu gampang menyatakan Polri melanggar HAM.
Polri dan HAM
Sebagaimana diketahui bersama bahwa inti dari reformasi Polri sejak dipisahkannya Polri adalah mengubah wajah Polisi yang bersifat militeristik menjadi berwajah peduli HAM. Perubahan itu dilakukan sejak Polri berpisah secara kelembagaan dari TNI (ABRI), pada April 1999 berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) No 2 Tahun 1999 tentang Langkah-langkah Kebijakan dalam Rangka Pemisahan Polri dan ABRI. Kebijakan tersebut kemudian diikuti dengan ditetapkannya TAP MPR No. VI Tahun 2000 Tentang Pemisahan Polri dan TNI, dan TAP MPR No. VII Tahun 2000 Tentang Peran Polri dan TNI.
Dengan pemisahan struktur Polri dari ABRI, maka aparat kepolisian diharapkan tidak lagi tampil dalam performance dan watak yang militeristik, dan dapat bekerja profesional sebagai aparat kepolisian sipil yang mandiri. Pemisahan tersebut mengandung tiga aspek perubahan:
1. Aspek Struktural: Meliputi perubahan kelembagaan kepolisian dalam ketatanegaraan, organisasi, susunan dan kedudukan.
2. Aspek Instrumental: Mencakup filosofi (visi, misi dan tujuan), doktrin, kewenangan, kompetensi, kemampuan fungsi dan Iptek.
3. Aspek kultural: Meliputi perubahan manajerial, sistem rekrutmen, sistem pendidikan, sistem material fasilitas dan jasa, sistem anggaran, dan sistem operasional.
Pemisahan Polri dari ABRI bukanlah tujuan melainkan pintu masuk menuju kemandirian Polri. Tujuan reformasi kepolisian sebenarnya adalah membangun kepolisian sipil yang profesional dan akuntabel dalam melayani masyarakat dengan menjunjung tinggi norma-norma demokrasi, menghormati HAM dan hukum internasional lainnya.
Polisi Sipil maksudnya adalah polisi yang menghormati hak-hak sipil; Masyarakat demokratis membutuhkan polisi sipil yang mampu berperan sebagai pengawal nilai-nilai sipil. Nilai-nilai ini telah dirumuskan dalam hak asasi manusia yang dijamin sebagai hukum positif negara (the guardian of civilian values). Polisi Sipil mengedepankan pendekatan kemanusiaan. Karakter sipil secara luas dikaitkan dengan nilai-nilai peradaban (civilization) dan keadaban (civility).
Pada polisi sipil melekat sikap budaya yang sopan, santun, ramah, tidak melakukan kekerasan, dan mengedepankan persuasi menjadi ciri utamanya. Polisi sipil juga berarti dia bukanlah personil yang diterjunkan untuk berperang (combatant) sebagaimana militer. Polisi sipil adalah non-combatant yang berfungsi sebagai penjaga (pencipta) keamanan dalam negeri, ketertiban dalam masyarakat, pelayanan dan bantuan kepada masyarakat, penegakan hukum dan pemolisian masyarakat (community policing). Jelaslah dengan gambaran ini, Polisi sipil akan tampil menghormati HAM dan jauh dari kesan represif.
Langkah Polri Peduli HAM
Hak Asasi Manusia atau sering disingkat dengan istilah HAM adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun..3
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM menjelaskan bahwa Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia . Pasal 1 angka 6 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM menjelaskan bahwa Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Dalam keadaan normal hak asasi manusia yang bersifat kodrati non deregoble human right tidak dapat disimpangi dalam keadaan apapun baik oleh Negara, Pemerintah, seseorang atau sekelompok orang. Kalau dalam keadaan normal Negara, Pemerintah, seseorang atau sekelompok orang mengurangi hak asasi manusia berarti melanggar hak asasi manusia. Kalau dalam keadaan tidak normal : Keadaan darurat, keadaan perang atau keadaan sengketa bersenjata Negara boleh mengurangi hak asasi manusia. Dalam keadaan tidak normal deregoble human right, dapat disimpangi atau dapat dikurangi misal dalam keadaan perang, sengketa bersenjata, Negara dapat mengurangi hak keluar rumah bagi warga sipil.
Kewajiban Negara untuk melindungi rakyatnya dalam keadaan perang atau sengketa bersenjata. Hak asasi manusia khususnya hak hidup diatur di dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999. Hak hidup untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum dan untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapa pun.
Penjelasan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 yang dimaksud “Dalam keadaan apa pun” termasuk dalam keadaan perang, sengketa bersenjata dan atau keadaan darurat. Hak untuk hidup dalam keadaan apapun tidak boleh dikurangi oleh Negara, Pemerintah, seseorang atau sekelompok orang. Kalau Negara, Pemerintah, seseorang atau sekelompok orang mengurangi bahkan merampas hak asasi manusia berupa hak hidup yang merupakan hak yang paling kodrat berarti melanggar hak asasi manusia.
Dalam kaitannya dengan peran polisi, ada 8 (delapan) hak asasi manusia yang terkait dengan tugas kepolisian, yakni (a). hak memperoleh keadilan (b). hak atas kebebasan pribadi (c).hak atas rasa aman (d). hak bebas dari penangkapan sewenang-wenang, hak bebas dari penghilangan secara paksa, (e). hak khusus perempuan, (f).hak khusus anak, (g). hak khusus masyarakat adat, (h). hak khusus kelompok minoritas, seperti etnis, agama, penyandang cacat, orientasi seksual [4]
Sesuai dengan prinsip menghargai dan menghormati HAM, setiap anggota Polri dalam melaksanakan tugas atau dalam kehidupan sehari-hari wajib untuk menerapkan perlindungan dan penghargaan HAM, sekurang-kurangnya: (a). menghormati martabat dan HAM setiap orang; (b). bertindak secara adil dan tidak diskriminatif; (c). berperilaku sopan; (d). menghormati norma agama, etika, dan susila; dan e. menghargai budaya lokal sepanjang tidak bertentangan dengan hukum dan HAM.
Sedangkan standar perilaku petugas/anggota Polri dalam tindakan kepolisian terdiri dari tindakan penyelidikan, pemanggilan, penangkapan, penahanan, pemeriksaan, penggeledahan orang dan tempat/rumah, dan penyitaan barang bukti. Pada standar tindakan kepolisian sebagai aparat penegak hukum ini sering terjadi pelanggaran HAM.
Untuk mewujudkan Polri yang menjunjung tinggi HAM, Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri Polri telah mengeluarkan Peraturan Kapolri No.8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Keputusan ini merupakan langkah maju dari kepolisian dalam upaya pemajuan, perlindungan dan penegakan HAM di Indonesia.
Pasal 3 Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 menyatakan:[5]
Prinsip-prinsip penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian meliputi:
a. legalitas, yang berarti bahwa semua tindakan kepolisian harus sesuai dengan hukum yang berlaku;
b. nesesitas, yang berarti bahwa penggunaan kekuatan dapat dilakukan bila memang diperlukan dan tidak dapat dihindarkan berdasarkan situasi yang dihadapi;
c. proporsionalitas, yang berarti bahwa penggunaan kekuatan harus dilaksanakan secara seimbang antara ancaman yang dihadapi dan tingkat kekuatan atau respon anggota Polri, sehingga tidak menimbulkan kerugian/korban/penderitaan yang berlebihan;
d. kewajiban umum, yang berarti bahwa anggota Polri diberi kewenangan untuk bertindak atau tidak bertindak menurut penilaian sendiri, untuk menjaga, memelihara ketertiban dan menjamin keselamatan umum;
e. preventif, yang berarti bahwa tindakan kepolisian mengutamakan pencegahan;
f. masuk akal (reasonable), yang berarti bahwa tindakan kepolisian diambil dengan mempertimbangkan secara logis situasi dan kondisi dari ancaman atau perlawanan pelaku kejahatan terhadap petugas atau bahayanya terhadap masyarakat.
Pasal 4 menyatakan:
Ruang lingkup peraturan ini meliputi:
a. penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian yang dilakukan oleh anggota Polri sebagai individu atau individu dalam ikatan kelompok;
b. tahapan dan pelatihan penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian;
c. perlindungan dan bantuan hukum serta pertanggungjawaban berkaitan dengan penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian;
d. pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian;
e. tembakan peringatan.
Di lapangan, penegakan HAM akan tampak jelas ketika menghadapi aksi massa dan penegakan hukum serta ketertiban. Dalam kondisi ini, polisi –sebagaimana juga dikatakan Kapolri Jenderal Timur Pradopo-- selalu dalam posisi dilematis. Di satu sisi Polisi harus menjunjung tinggi HAM, di sisi lain harus berhadapan dengan aksi massa yang kadang lebih keras sehingga mengancam keselamatan polisi yang bertugas. Dalam kondisi semacam inilah peraturan yang dikeluarkan oleh Kapolri diharapkan dapat memberi jawaban atas problema yang dihadapi.
Pada intinya, polisi bebas menggunakan pilihan tindakannya sesuai dengan tingkat kekerasan dan situasi yang berkembang di lapangan. Dalam pemahaman ini, maka sesungguhnya kita memasuki pemahaman pelaksanaan diskresi kepolisian. Konsep ini cocok diterapkan polisi dalam situasi apapun yang terjadi di lapangan. Ini sesuai dengan pasal 18 UU Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002.
Konsep Diskresi
Seperti telah disinggung di muka, diskresi dapat menjadi dasar bertindak polisi di lapangan. Diskresi diartikan sebagai wewenang yang diberikan oleh hukum untuk bertindak dalam situasi khusus sesuai dengan penilaian dan kata hati institusi atau petugas itu sendiri.[6]
Dasar pelaksanaan diskresi adalah UU Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002 pasal 18:
(1) Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Selanjutnya dalam pasal 10 UU Nomor 2/2002 dinyatakan:
Ayat (1)
“Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia.”
Ketentuan tersebut adalah batasan atau ukuran yang harus menjadi pedoman dalam mengambil keputusan menerapkan diskresi kepolisian di berbagai wilayah penegakan hukum dan ketertiban. Dengan demikian polisi akan terjaga dari tindakan yang dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang atau melakukan penyimpangan. Secara teoritis, ketentuan di atas juga selaras dengan asas-asas hukum kepolisian yang menetapkan ukuran-ukuran penggunaan diskresi. Ukuran itu adalah asas kewajiban yang meliputi:
1. Asas keperluan, artinya diskresi dilakukan apabila tindakan itu memang diperlukan, untuk meniadakan gangguan yang menimbulkan kerugian;
2. Asas masalah, yaitu bahwa tindakan yang dilakukan polisi harus dikaitkan dengan permasalahn dan tindakan polisi tidak memiliki motivasi pribadi;
3. Asas tujuan, yaitu bahwa tindakan itu dilakukan untuk mencapai tujuan mencegah kerugian dan gangguan; dan
4. Asas keseimbangan, bahwa tindakan polisi harus seimbang antara keras dan lunak, seimbang dengan alat yang digunakan berhadapan ancaman yang dihadapi.[7]
Tampak jelas bahwa kewenangan polisi untuk melakukan pilihan tindakan yang dianggap perlu berdasarkan penilaian dan kata hati institusi atau petugas itu sendiri bukanlah tanpa batas. Keputusan diskresi haruslah berorientasi pada tujuan penegakan hukum dan ketertiban, tindakannya tidak berlebihan, tidak melanggar HAM, sesuai dengan keperluannya, dan tidak memiliki motivasi pribadi.
Dengan demikian keputusan diskresi sekalipun menyimpang dari aturan formal, dapat dibenarkan karena tindakannya sesuai dengan koridor, yakni berorientasi pada tujuan dan manfaat bagi masyarakat luas. Dengan ini pula ingin ditegaskan bahwa lapangan diskresi sangat luas. Diskresi tidak hanya sebatas bentuk bentuk penyampingan perkara saja (karena kurang bukti misalnya). Diskresi tidak sebatas pada perkara lalu lintas tetapi juga pada perkara besar seperti kejahatan narkotika.[8]
Diskresi dalam konteks Penegakan Hukum dan HAM
Bahkan dalam konteks penegakan hukum, diskresi menempati posisi strategis. Penegakan hukum di sini bukan berarti penegakan peraturan yang hanya mencocokkan peraturan dengan kejadian di lapangan (law in the books). Penegakan hukum di sini adalah menegakkan undang-undang dalam konteks perubahan social yang selalu berubah dan perlu pemahaman khusus.
Menurut Satjipto Rahardjo, model penegakan hukum ini adalah penegakan hukum sosiologis. Ada tiga hal yang harus diwujudkan, yakni keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Tidak semua (tiga hal) dapat diwujudkan bersama karena konteks masyarakatnya berbeda. Terkadang hanya keadilan saja, tetapi kepastiannya sulit diwujudkan. Di sinilah peran diskresi yang dimainkan polisi.
Dalam era refromasi menuju masyarakat demokratis seperti di Indonesia, kewenangan Polri melakukan diskresi adalah sangat tepat. Bahkan dapat dikatakan bahwa diskresi adalah ruh dari kepolisian masa depan menuju profesionalisme dan kemandirian. Hanya saja, diskresi yang bisa dilakukan oleh pejabat polisi dari tingkat atas hingga paling bawah, dan institusi dari Mabes hingga Polsek, memiliki kelemahan. Ini terkait dengan pemahaman dan pendidikan polisi yang belum sama dalam memahami diskresi kepolisian. Jadi ada sisi positif dan negatifnya.[9]
Sisi Positif Diskresi
Dari sisi organisasi kepolisian, penggunaan diskresi merupakan jawaban untuk mengatasi keterbatasan sumber daya. Untuk memutuskan masalah mana dan bagaimana cara mengatasinya, pembuatan kebijakan kepolisian dan petugas lapangan mendasarkan pada asas keperluan (as-need-basis). Ini artinya polisi baru akan menggunakan kewenangan diskresi kalau memang hal itu diperlukan atau seperlunya saja. Dengan demikian harus dicegah jangan sampai diskresi diobral hingga melanggar hak-hak warga. Misalnya menangkap tersangka yang tidak memerlukan penembakan, maka tidak perlu ditembak. Demikian juga pemborgolan tersangka, hanya dilakukan jika memang dipandang perlu agar tidak melarikan diri.
Dalam situasi dimana peraturan itu tidak cocok lagi dengan masyarakat yang sedang berubah, atau peraturan itu tidak lagi mampu menjawab semua persoalan yang dihadapi polisi, serta bahasa undang-undang yang terlalu umum untuk bisa memberikan petunjuk pelaksanaan bagi petugas di lapangan, maka kewenangan menggunakan diskresi menjadi penting.
Ada pandangan bahwa hukum pidana bukanlah satu-satunya alat untuk menciptakan keadilan dan menjaga ketertiban masyarakat. Terdapat banyak kasus dimana polisi menolak untuk menahan seseorang tersangka, dan tidak melakukan penyidikan dalam kasus kekerasan karena korbannya telah memaafkan. Cara ini dilakukan karena polisi berpendapat bahwa penahanan hanyalah alat untuk mencapai tujuan ketertiban tersebut.
Sisi Negatif Diskresi
Masalah yang sering menyelimuti penggunaan diskresi polisi adalah mendorong seringnya terjadi “low visibility decisions” karena keluasan diskresi belum banyak dipahami oleh masyarakat dan polisi, dan penerapannya di masyarakat tidak bisa diawas karena sifatnya rahasia dan tidak diatur. Masalah lain adalah penggunaan diskresi memungkinkan petugas untuk memberikan perlakuan yang berbeda terhadap individu (diskriminatif). Misalnya di Amerika, orang kulit hitam lebih sering dicurigai daripada orang berkulit putih. Pria lebih sering ditahan karena menyerang petugas daripada wanita, walaupun wanita juga menunjukkan perilaku yang identik dengan perilaku menyerang pria. Padahal di Amerika, setiap orang sama kedudukannya di mata hukum.
Pelaksanaan diskresi juga sering membingungkan warga, karena tidak adanya kepastian hukum. Perlakuannya berbeda-beda dan tidak konsisten sehingga dirasakan tidak ada keadilan yang dirasakan individu. Namun demikian soal keadilan dapat dilihat dari konsep “hukuman selayaknya” (just-desert). Konsep ini menyatakan bahwa perlakuan terhadap seorang dikatakan wajar jika diberikan sesuai dengan kelayakannya, tidak memandang apakah perlakuan tersebut berbeda dengan yang diterima orang lain. Apakah pengemudi yang lupa membawa helem karena tergesa-gesa untuk membawa korban ke rumah sakit, akan diperlakukan sama dengan orang yang sengaja melanggar hukum?
Kurangnya akuntabilitas juga dianggap sebagai salah satu masalah dalam penggunaan diskresi. Apalagi dalam prakteknya di lapangan, --karena sifatnya yang tertutup dan rahasia—maka pelaksanaan diskresi potensial disalahgunakan dan menjadi sumber korupsi.
Kekurangan ini dapat diatasi dengan meningkatkan pengawasan dan penindakan sebagaimana lazimnya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik melalui instrument hukum pidana maupun hukum disiplin Polri.
Yang lebih penting adalah meningkatkan pengetahuan dan kepekaan polisi terhadap perkembangan masyarakat; dan meningkatkan pelatihan penggunaan diskresi kepolisian. Standar operasi juga menjadi penting diwujudkan agar terdapat ukuran tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan untuk meminimalkan penyimpangan diskresi. Satu lagi yang dapat dipertimbangkan adalah dari aspek penilaian kinerja anggota dan institusi kepolisian, yang tidak hanya terpaku pada penilaian kuantitatif melainkan penilaian kerja secara kualitatif.
Dalam penilaian kerja secara kualitatif, maka tidak lagi ditanyakan sejauh mana peraturan itu dilaksanakan, melainkan dinilai atas penanganan setiap masalah. Juga bukan semata-mata diukur dari seberapa banyak yang ditangani, melainkan seberapa besar kualitas perkara yang ditangani dilihat dari sasaran akhir penegakan hukum.
Solusi: Pendidikan HAM dan Pemahaman Diskresi
Berdasarkan uraian di atas dapatlah dipahami bahwa Polisi sebagai penanggungjawab keamanan dan ketertiban masyarakat serta penegakan hukum memiliki tugas yang selalu bergesekan dengan masyarakat. Oleh karena itu sejumlah dilemma yang menghadang harus dipahami sebagai sebuah seni menghadapi masyarakat.
Dalam konteks penegakan hukum yang berorientasi HAM, maka pemahaman terhadap HAM haruslah selalu ditingkatkan. Bersamaan dengan itu pemahaman tentang diskresi haruslah menjadi materi wajib dalam setiap jenjang pendidikan kepolisian.
Dengan dua pemahaman terhadap konsep HAM dan diskresi, diharapkan polisi akan tampil bijaksana, berwatak sipil, peduli HAM, tanpa canggung tindakan apa yang akan diambil, karena mereka memahami konsep diskresi. Mereka tahu apa yang harus dilakukan sesuai dengan masalah yang dihadapi. Oleh karena itulah dua saran berikut kiranya penting untuk dilakukan:
Pertama, meninjau kembali seluruh aturan pelaksanaan atau pedoman operasional tindakan kepolisian (Juknis, Juklak, SOP, Protap) apakah ada yang bertentangan dengan cara-cara pemolisian sipil ataukah masih bercorak militer, melanggar HAM. Hasil peninjauan ini dimaksudkan untuk menyusun kembali pedoman operasional tindakan kepolisian yang bercorak sipil yang berarti menjunjung tinggi HAM.
Kedua, Polri perlu menyusun model diskresi kepolisian pada setiap kegiatan menangani perkara hukum dan ketertiban masyarakat. Misalnya model diskresi penanganan unjuk rasa, penanganan konflik sosial, dan sebagainya. Kebiasaan menerapkan diskresi pada polisi tingkat bawah hingga atas, akan menjadi ruh yang memberikan nafas kepolisian sipil masa depan, yakni polisi sipil yang menjunjung tinggi HAM. Semoga!
******
Jakarta, 11 Januari 2012
Syaefurrochman Achmad, SH., M.Si
Nomor 052


[1] [1] Direktur Program Imparsial, Al Araf kepada pers, Minggu (29/05/2011) seperti dikutip Politik Indonesia.com dalam tajuk: Reformasi Polri Lamban, Beri Peran Lebih Kompolnas.
[2] Media Indonesia, 4 Januari 2011: Kapolri akan Samakan Persepsi dengan Komnas HAM
[3] http://nasional.vivanews.com/news/read/263881-kapolri--hak-azasi-manusia-adalah-isu-penting
[4] LBH Makasar, “Menanti Polisi Berbaju HAM”, http://www.lbh-makassar.org/?p=1861
[5] http://www.polri.go.id/atr/ppol/pages/10
[6] Walker, 1983:54 dalam Barker, Police Devian, 1994.
[7] Sitompul, DPM, Beberapa Tugas dan Peranan Polri. Jakarta: CV Wanthy Jaya, halaman 2-3
[8] Penelitian Kennet Culp Davis terhadap Polisi Chicago dalam Police Discretion (1975) halaman 3-8 dan 164 juga mengungkapkan ada 20 jenis perkara diskresi yang di antaranya juga melibatkan kejahatan berskala besar seperti, narkotika.
[9] Syaefurrahman Al-Banjary, Hitam Putih Polisi dalam Mengungkap jaringan Narkoba, PTIK Pres dan Restu Agung, tahun 2005, halaman 37

Tidak ada komentar: