Oleh Syaefurrochman Achmad[2]
I. PENDAHULUAN
Salah satu tujuan reformasi Kepolisian adalah terwujudnya polisi sipil yang professional dan akuntabel dalam mengayomi dan melindungi masyarakat serta menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM). Inilah sesungguhnya wajah polisi yang didambakan masyarakat.
Sejumlah langkah memang telah dilakukan, baik secara struktural, kultural maupun instrumental. Perubahan struktural ditandai dengan reposisi struktur Polri dari kedudukannya di bawah ABRI menjadi di bawah Presiden, disusul dengan perubahan kultural penganggaran yang langsung dari APBN, serta perbaikan pendidikan Kepolisian yang memasukkan materi pengutamaan HAM dalam bertindak mengayomi dan melayani masyarakat. Perubahan instrumental yang antara lain mencakup filosofi dan doktrin Kepolisian sebagai pelindung dan pelayan masyarakat.
Kenyataan di lapangan masih dijumpai wajah polisi yang serem dan militeristik; masih banyak polisi salah tangkap sebagai wujud tidak profesional; dan masih adanya pungutan liar, korupsi bahkan pemerasan sebagai bentuk belum terwujudnya akuntabilitas publik, serta beragam corak pelanggaran diskresi[3]. Artinya, selama kurang lebih 13 tahun sejak keluarnya kebijakan tentang reformasi kepolisian tahun 1999, yakni sejak pemisahan Polri dari ABRI, hingga kini belum banyak perubahan yang signifikan terhadap wajah Polri.