Teropong » Edisi 98 / Tahun II / Tanggal 5 Mei - 11 Mei 2008
Syaefurrahman Al-Banjary
Direktur Yayasan Masyarakat Peduli Energi
Harga minyak dunia mencapai 120 dolar Amerika Serikat per barel. Harga bensin juga bakal naik. Sementara cadangan minyak dalam negeri tinggal 23 tahun saja!Menurut skenario yang mengemuka, harga BBM jenis premium akan naik dari Rp 4.500 menjadi Rp 6.000 per liter, solar naik dari Rp 4.300 menjadi Rp 5.500 per liter, dan minyak tanah naik dari Rp 2.000 menjadi Rp 2.300 per liter. Kenaikan sebesar itu, akan memberi ruang fiskal yang cukup longgar bagi APBN sebesar Rp 21,491 trilyun serta menambah penghematan anggaran menjadi Rp 25,877 trilyun.Inilah nasib kita kalau masih bergantung pada BBM fosil, yang 30 persen dari 33 juta kiloliter per tahun masih mengimpor. Bahkan tahun 2005, impor minyak kita mencapai 50 persen! (Kurtubi, 2005).Bensin Cap SingkongMenghadapi gejolak minyak dunia, sebenarnya kita tidak perlu khawatir, tetapi memang perlu kesabaran dan sedikit kreatif. Jadikan kenaikan harga minyak dunia sebagai peluang untuk mengembangkan energi alternatif. Yang saya maksudkan di sini adalah energi hijau yang berbahan bakar nabati (BBN). Bahkan bakunya bisa singkong, jagung, sorgum, tebu, bahkan alang-alang dan batang padi pun dapat diolah jadi etanol yang menjadi campuran bensin. Berdasarkan penelitian dan praktek di lapangan, sebagaimana terekam dalam workshop Bisnis Bioetanol Singkong di IPB Bogor 29 April 2008, bahan baku singkong dipandang lebi efisien karena memiliki kandungan gula atau pati lebih baik di bawah jagung. Untuk satu liter bioetanol dapat diperoleh dari 6,5 kg singkong, sedangkan jagung 2,5 kg dapat satu liter bioetanol. Harga roduksi etanol singkong hanya Rp 4.000, dan harga jualnya untuk campuran bensin di pasaran mencapai Rp 8.000 hingga 10.000 per liter. Sedangkan untuk jumlah besar, Pertamina membeli Rp 5.500 per liter.Nilai ekonomis singkong juga bisa dilihat dari lahan yang masih terbuka luas dan membudidayakannya mudah. Kalau budidaya konvensional satu hektar dapat menghasilkan singkong antara 10 hingga 15 ton, kini dengan teknologi dan pupuk organik serta bibit unggul, dapat menghasilkan singkong sampai 100 hingga 150 ton per hektar. Luar biasa!Produksi etanol juga mudah, dari skala rumah tangga yang hanya memproduksi 70 hingga 2000 liter etanol per hari, industri kecil 2000 – 5000 liter perhari, sampai industri besar seperti Medco Energi dan Malindo Raya dan Sampurna Grup yang akan memproduksi di atas 60 juta liter per tahun.Saat ini, produksi etanol di Indonesia baru sekitar 177,500 kiloliter per tahun. Dari jumlah itu dibutuhkan untuk keperluan domestik 62,500 kiloliter per tahun dan 115,000 kiloliter diekspor. Untuk keperluan domestik, bukan hanya untuk campuran bensin, tetapi juga untuk kebutuhan perusahaan farmasi dan kosmetika. Bahkan untuk farmasi, sebagian masih impor.Sesuai dengan kebijakan pemerintah, tiap tahun akan menaikkan substitusi etanol untuk bensin. Tahun 2008 ini saja dari kebutuhan 17,81 juta kiloliter bensin, jika substitusi bensin mencapai 2% maka diperlukan etanol 356,200 kl dari 2,3 juta ton singkong. Itu baru 2% untuk substitusi premium. Coba kalau substitusinya mencapai 10%, etanol yang dibutuhkan adalah 1,7 juta kiloliter.Pendek kata, kebutuhan etanol untuk campuran premium tidak ada batasnya. Ini belum termasuk kebutuhan untuk kosmetika dan farmasi juga masih impor, yang harganya mencapai Rp 25 ribu per liternya. Peluang ini sudah ditangkap oleh sebagian warga. Mislanya di Sukabumi ada Pak Wien Iskandar dan Pak Soekaeni. Keduanya telah memproduksi etanol dari singkong dengan skala rumahan. Dari produksi Pak Wien 500 liter per hari, ia dapat keuntungan rata-rata Rp 60 juta per bulan. Ia menjual etanol kepada tukang ojek, pemilik angkot, dan sebagian farmasi. Hemat EnergiJika energi bioetanol menjadi gerakan nasional, maka rakyat yang untung. Tenaga kerja akan terserap untuk memproduksi singkong, dan menjadi tenaga kerja memproduksi etanol. Sebagian persoalan lingkungan juga dapat teratasi. Emisi gas buang yang biasa dikeluarkan kendaraan mejadi bersih, karena tanpa timbal. Hasil penelitian Prawoto dari Balai Termodinamika, Motor, dan Propulsi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (Trubus), menunjukkan, dengan campuran bioetanol konsumsi bahan bakar semakin efisien. Mobil E20 alias yang diberi campuran bioetanol 20%, pada kecepatan 30 km per jam, konsumsi bahan bakar 20% lebih irit ketimbang mobil berbahan bakar bensin. Jika kecepatan 80 km per jam, konsumsi bahan bakar 50% lebih irit. Duduk perkaranya? Pembakaran makin efisien karena etanol lebih cepat terbakar ketimbang bensin murni. Pantas semakin banyak campuran bioetanol, proses pembakaran kian singkat.Jadi, kenaikan harga minyak dunia memang dapat saja jadi berkah, kalau kita mau kreatif, sehingga petani singkong sejahtera dan generasi anak singkong nantinya tak lagi minder dihadapan anak-anak keju. Tapi ini memerlukan jaminan keseriusan dari pemerintah, karena usaha ini bukan tanpa masalah. Ketentuan pajak etanol jadi momok buat produsen skala rumahan. Mereka tentu tidak mampu kalau harus membayar cukai Rp10.000 per liter etanol, sementara ongkos produksinya saja hanya Rp 4.000, dan Pertamina hanya mampu membeli Rp 5.500.Soal lain adalah bagaimana melakukan standarisasi produk untuk menentukan etanol berkadar 99,5% yang layak untuk campuran bensin, mengingat lokasi industri rumahan mungkin akan menjamur di pelosok desa dan pulau. Polisi juga harus tahu diri akan gerakan ini, sehingga tidak perlu over acting menangkapi penjual etanol yang dioplos dengan bensin.Intinya, mengingat energi alternatif ini adalah menjadi kepedulian kita semua, memang sudah sewajarnya, etanol untuk BBM tidak kena pajak atau cukai. Pendiriannya juga tak memerlukan perizinan yang rumit. Cukuplah diketahui RT atau RW misalnya. Polisi juga harus mengamankan gerakan ini. Inilah regulasi yang gampang dan aman untuk menyambut bensin cap singkong. *** [ 1 ]
Rabu, Juni 18, 2008
Menyongsong Bensin Cap Singkong
Selasa, Juni 17, 2008
Diskresi Polisi dalam Unas Berdarah
Teropong » Edisi 104 / Tahun III / Tanggal 16 Juni - 22 Juni 2008
Oleh Syaefurrahman Achmad
Magister Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia
Penyerangan polisi ke kampus Universitas Nasional (Unas) pada subuh 24 Mei 2008 untuk menangkapi mahasiswa yang berunjuk rasa menentang kenaikan harga BBM sesungguhnya merupakan penyakit lama yang kambuh lagi karena gatal ingin membela penguasa। Padahal jika mau, potret gelap polisi di masa lalu dapat diperbaiki।Kini memang sulit rasanya untuk tidak mengamini pernyataan Kontras bahwa brutalitas polisi dalam kasus ini mencerminkan watak rezim yang berkuasa। Padahal sejak awal reformasi 1998, polisi sedang berbenah menjadi polisi mandiri yang profesional dan bukan menjadi alat kekuasaan, melainkan alat keamanan negara penegak hukum, pelindung dan pelayan masyarakat (Pasal 5 UU Kepolisian Nomor 2 tahun 2002)। Jadi, polisi harus mengayomi seluruh masyarakat dan bukan memihak penguasa yang sedang punya persoalan dengan kebijakan BBM. Ini berbeda dengan polisi zaman Orde Baru yang menjadikan polisi sebagai bagian dari alat kekuasaan, sehingga polisi sering membela mati-matian kebijakan pemerintah dengan menangkapi siapapun yang menentang kebijakan pemerintah dengan tuduhan subversi. Saat ini polisi memang berada pada posisi yang dilematis. Pertama, karena polisi adalah bagian dari masyarakat yang tentu saja ikut merasakan dampak kenaikan harga BBM. Kedua, polisi memiliki kewajiban mengamankan unjuk rasa agar tidak mengganggu orang lain, sehingga polisi harus mencegah agar unjuk rasa itu tidak anarkis. Ketiga, polisi adalah aparat penegak hukum yang harus tegas ketika melihat pelanggaran hukum, agar tetap berwibawa dan disegani.Diskresi KepolisianDalam penegakan hukum, polisi memiliki senjata yang ampuh untuk mengatasi dilema penegakan itu yakni dengan menerapakn konsep diskresi. Jika tepat penggunaannya, maka tujuan penegakan hukum dapat tercapai dan terhindar dari tindakan brutal yang justru menurunkan wibawa kepolisian. Mengapa demikian, karena sesungguhnya diskresi kepolisian adalah konsep otoritas polisi untuk melakukan tindakan sesuai dengan pertimbangan hati nurani petugas maupun institusi kepolisian itu sendiri. Dengan diskresi inilah polisi dapat mengesampingkan perkara dan tidak menindak pelanggar hukum asalkan tujuan penegakan hukum tercapai, yakni mewujudkan: kepastian hukum, keadilan dan ketertiban masyarakat. Termasuk diskresi adalah melakukan tindakan yang melanggar hukum dalam rangka mencapai tujuan penegakan hukum.Syarat penggunaan diskresi adalah tetap menghormati hak asasi manusia, sesuai dengan asas kewajiban, tindakan itu patut dan masuk akal dan dalam keadaan memaksa. Diskresi juga dapat dilakukan sesuai dengan asas tujuan, artinya tindakan itu dilakukan untuk mencapai tujuan mencegah kerugian dan gangguan. Dalam praktek di lapangan, memang sulit sekali ketiga tujuan penegakan hukum di atas tercapai karena penegakan hukum di masyarakat tidak dapat diterapkan secara hitam putih. Ada kalanya cuma satu yang dapat tercapai, misalnya kepastian hukum, atau bahkan hanya ketertiban atau keadilan saja. Pendekatan hukumUntuk melihat seperti apa sesungguhnya yang ingin dicapai oleh polisi ketika menyerbu kampus Unas, dapat dikemukakan tiga bentuk pendekatan penegakan hukum. Pertama adalah pendekatan hukum normatife, yakni petugas hanya mencocokkan apa yang ada di buku (law in the books) dengan apa yang di lapangan (law in action). Hukum dilihat secara hitam-putih untuk mewujudkan kepastian hukum. Siapa yang bersalah akan ditindak tanpa melihat latar belakang mengapa kesalahan itu terjadi. Di sini hukum tercerabut dari akar budayanya. Kedua adalah penegakan hukum fungsional yang memandang hukum sebagai alat rekayasa sosial (as tool for social engineering). Hukum adalah norma-norma yang hidup di masyarakat dan ditaati warganya (law in action). Dalam konteks inilah, maka pertimbangan yang dipentingkan adalah seluruh kepentingan sosial sejak dari kepentingan pribadi, keamanan, perlindungan terhadap moral, konservasi sumber daya, kepentingan ekonomi, politik dan budaya (Soekanto, 1985: 30). Pendekatan hukum sosiologis ini berbeda dengan penegakan peraturan. Penegakan peraturan sasaran akhirnya adalah kepastian hukum, sedangkan penegakan hukum sasaran akhirnya adalah keadilan dan ketertiban masyarakat.Ketiga adalah pendekatan hukum kritis, yakni penegakan hukum yang diarahkan pada pencapaian tujuan dengan cara yang mudah, enak dan praktis bagi si petugas. Cara ini sering terlihat dalam bentuk penggunaan kekerasan yang “hantam kromo” atau asal memukul untuk segera mengendalikan massa tanpa memperhatikan hak asasi manusia. Polisi main tembak, main masuk kampus tanpa ijin dengan dalih menangkap perusuh. Inilah yang antara lain menjadi kritik, lantaran polisi hanya menekankan efisiensi , tetapi menimbulkan pelanggaran dan kerugian di pihak lain. Inilah yang tampak di UnasJika demikian halnya, maka penegakan hukum sosiologislah yang sebaiknya diterapkan dengan menggunakan konsep diskresi. Dengan diskresi, maka polisi dapat mempertimbangkan tindakan apa yang tepat menghadapi pengunjuk rasa, termasuk apakah akan melakukan tindakan persuasif maupun represif. Dengan pertimbangan hati nurani dan dengan kreatifitasnya sendiri, maka poilisi akan menemukan hukum yang cocok dengan masyarakatnya. Dalam menggunakan diskresi, polisi memang dapat mengesampingkan formalitas hukum yang ada, tetapi sesungguhnya masih dalam kerangka asas-asas hukum juga. “Jadi tidak melewati garis-garis batas kerangka asas hukum,” kata Faal (M. Faal, 1991: 40).Diskresi menyimpangDalam kasus Unas, sejauh yang dilaporkan Kapolri Jenderal Sutanto, polisi sebenarnya sudah sangat persuasif sejak sore hari. Tetapi menjelang subuh aksi mahasiswa telah mengganggu penduduk yang hendak shalat subuh, dan polisi diminta segera menghentikannya. Sayangnya polisi tidak melibatkan tokoh masyarakat untuk menghentikannya, sehingga polisi harus berhadapan dengan mahasiswa. Polisi yang sudah lelah itupun akhirnya menyerbu kampus menangkapi mahasiswa. Termasuk yang ditangkap adalah mereka yang kuliah malam tapi tidak bisa keluar kampus karena sudah dipagar betis polisi. Hasilnya adalah kurang lebih 150 mahasiswa ditangkap, di antaranya berdarah kepalanya terkena pentungan dan lemparan batu. Puluhan motor dan beberapa mobil rusak, beberapa fasilitas kampus juga rusak dengan total kerugian mencapai 600 juta rupiah. Entah karena kebetulan atau kesengajaan, polisi pun menemukan ganja dan botol minuman beralkohol yang ditemukan di dalam kampus. Ini pula yang menjadi alasan mengapa polisi menyerbu kampus. Benar yang dikatakan Menko Polhukam Widodo AS bahwa demi penegakan hukum, polisi berwenang masuk kampus. Tetapi dalam kondisi seperti apa? Kampus adalah wilayah privat, sama seperti instansi pemerintah yang tidak sertamerta dapat dimasuki polisi dengan alasan ada dugaan pelanggaran hukum di dalamnya. KPK saja harus ijin pimpinan DPR ketika akan menggeledah ruang kantor anggota DPR. Polisi akan menggeledah rumah penduduk yang di dalamnya ada dugaan pelaku narkoba, juga harus ijin pengadilan atau setidak-tidaknya sepengetahuan RT setempat. Ini aturan KUHAP. Dengan demikian kita sulit menyimpulkan kalau dalam kasus Unas polisi menggunakan diskresi berdasarkan asas kewajiban hukum, karena terbukti masih ada korban berdarah-darah, dan rusaknya fasilitas kampus ketika polisi menyerbu kampus Unas. Yang mungkin dapat dikatakan adalah telah terjadi penggunakan diskresi yang menyimpang dari kerangka hukum, yakni polisi telah melampaui batas wewenangnya (abuse of power). Jika demikian halnya, maka pertanggungjawaban hukum yang tepat untuk polisi adalah mengadili si pelaku sesuai dengan kadar kesalahannya dengan sanksi pidana, perdata maupun tindakan disiplin kepolisian. Sedangkan terhadap mahasiswa juga dapat diperlakukan sama: tindakan hukum yang sepantasnya. Namun polisi juga dapat saja menggunakan kewenangan diskresioner untuk membebaskan mahasiswa, jika itu dianggap lebih bermanfaat untuk menjamin stabilitas dan ketertiban masyarakat. [ 1 ]
Oleh Syaefurrahman Achmad
Magister Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia
Penyerangan polisi ke kampus Universitas Nasional (Unas) pada subuh 24 Mei 2008 untuk menangkapi mahasiswa yang berunjuk rasa menentang kenaikan harga BBM sesungguhnya merupakan penyakit lama yang kambuh lagi karena gatal ingin membela penguasa। Padahal jika mau, potret gelap polisi di masa lalu dapat diperbaiki।Kini memang sulit rasanya untuk tidak mengamini pernyataan Kontras bahwa brutalitas polisi dalam kasus ini mencerminkan watak rezim yang berkuasa। Padahal sejak awal reformasi 1998, polisi sedang berbenah menjadi polisi mandiri yang profesional dan bukan menjadi alat kekuasaan, melainkan alat keamanan negara penegak hukum, pelindung dan pelayan masyarakat (Pasal 5 UU Kepolisian Nomor 2 tahun 2002)। Jadi, polisi harus mengayomi seluruh masyarakat dan bukan memihak penguasa yang sedang punya persoalan dengan kebijakan BBM. Ini berbeda dengan polisi zaman Orde Baru yang menjadikan polisi sebagai bagian dari alat kekuasaan, sehingga polisi sering membela mati-matian kebijakan pemerintah dengan menangkapi siapapun yang menentang kebijakan pemerintah dengan tuduhan subversi. Saat ini polisi memang berada pada posisi yang dilematis. Pertama, karena polisi adalah bagian dari masyarakat yang tentu saja ikut merasakan dampak kenaikan harga BBM. Kedua, polisi memiliki kewajiban mengamankan unjuk rasa agar tidak mengganggu orang lain, sehingga polisi harus mencegah agar unjuk rasa itu tidak anarkis. Ketiga, polisi adalah aparat penegak hukum yang harus tegas ketika melihat pelanggaran hukum, agar tetap berwibawa dan disegani.Diskresi KepolisianDalam penegakan hukum, polisi memiliki senjata yang ampuh untuk mengatasi dilema penegakan itu yakni dengan menerapakn konsep diskresi. Jika tepat penggunaannya, maka tujuan penegakan hukum dapat tercapai dan terhindar dari tindakan brutal yang justru menurunkan wibawa kepolisian. Mengapa demikian, karena sesungguhnya diskresi kepolisian adalah konsep otoritas polisi untuk melakukan tindakan sesuai dengan pertimbangan hati nurani petugas maupun institusi kepolisian itu sendiri. Dengan diskresi inilah polisi dapat mengesampingkan perkara dan tidak menindak pelanggar hukum asalkan tujuan penegakan hukum tercapai, yakni mewujudkan: kepastian hukum, keadilan dan ketertiban masyarakat. Termasuk diskresi adalah melakukan tindakan yang melanggar hukum dalam rangka mencapai tujuan penegakan hukum.Syarat penggunaan diskresi adalah tetap menghormati hak asasi manusia, sesuai dengan asas kewajiban, tindakan itu patut dan masuk akal dan dalam keadaan memaksa. Diskresi juga dapat dilakukan sesuai dengan asas tujuan, artinya tindakan itu dilakukan untuk mencapai tujuan mencegah kerugian dan gangguan. Dalam praktek di lapangan, memang sulit sekali ketiga tujuan penegakan hukum di atas tercapai karena penegakan hukum di masyarakat tidak dapat diterapkan secara hitam putih. Ada kalanya cuma satu yang dapat tercapai, misalnya kepastian hukum, atau bahkan hanya ketertiban atau keadilan saja. Pendekatan hukumUntuk melihat seperti apa sesungguhnya yang ingin dicapai oleh polisi ketika menyerbu kampus Unas, dapat dikemukakan tiga bentuk pendekatan penegakan hukum. Pertama adalah pendekatan hukum normatife, yakni petugas hanya mencocokkan apa yang ada di buku (law in the books) dengan apa yang di lapangan (law in action). Hukum dilihat secara hitam-putih untuk mewujudkan kepastian hukum. Siapa yang bersalah akan ditindak tanpa melihat latar belakang mengapa kesalahan itu terjadi. Di sini hukum tercerabut dari akar budayanya. Kedua adalah penegakan hukum fungsional yang memandang hukum sebagai alat rekayasa sosial (as tool for social engineering). Hukum adalah norma-norma yang hidup di masyarakat dan ditaati warganya (law in action). Dalam konteks inilah, maka pertimbangan yang dipentingkan adalah seluruh kepentingan sosial sejak dari kepentingan pribadi, keamanan, perlindungan terhadap moral, konservasi sumber daya, kepentingan ekonomi, politik dan budaya (Soekanto, 1985: 30). Pendekatan hukum sosiologis ini berbeda dengan penegakan peraturan. Penegakan peraturan sasaran akhirnya adalah kepastian hukum, sedangkan penegakan hukum sasaran akhirnya adalah keadilan dan ketertiban masyarakat.Ketiga adalah pendekatan hukum kritis, yakni penegakan hukum yang diarahkan pada pencapaian tujuan dengan cara yang mudah, enak dan praktis bagi si petugas. Cara ini sering terlihat dalam bentuk penggunaan kekerasan yang “hantam kromo” atau asal memukul untuk segera mengendalikan massa tanpa memperhatikan hak asasi manusia. Polisi main tembak, main masuk kampus tanpa ijin dengan dalih menangkap perusuh. Inilah yang antara lain menjadi kritik, lantaran polisi hanya menekankan efisiensi , tetapi menimbulkan pelanggaran dan kerugian di pihak lain. Inilah yang tampak di UnasJika demikian halnya, maka penegakan hukum sosiologislah yang sebaiknya diterapkan dengan menggunakan konsep diskresi. Dengan diskresi, maka polisi dapat mempertimbangkan tindakan apa yang tepat menghadapi pengunjuk rasa, termasuk apakah akan melakukan tindakan persuasif maupun represif. Dengan pertimbangan hati nurani dan dengan kreatifitasnya sendiri, maka poilisi akan menemukan hukum yang cocok dengan masyarakatnya. Dalam menggunakan diskresi, polisi memang dapat mengesampingkan formalitas hukum yang ada, tetapi sesungguhnya masih dalam kerangka asas-asas hukum juga. “Jadi tidak melewati garis-garis batas kerangka asas hukum,” kata Faal (M. Faal, 1991: 40).Diskresi menyimpangDalam kasus Unas, sejauh yang dilaporkan Kapolri Jenderal Sutanto, polisi sebenarnya sudah sangat persuasif sejak sore hari. Tetapi menjelang subuh aksi mahasiswa telah mengganggu penduduk yang hendak shalat subuh, dan polisi diminta segera menghentikannya. Sayangnya polisi tidak melibatkan tokoh masyarakat untuk menghentikannya, sehingga polisi harus berhadapan dengan mahasiswa. Polisi yang sudah lelah itupun akhirnya menyerbu kampus menangkapi mahasiswa. Termasuk yang ditangkap adalah mereka yang kuliah malam tapi tidak bisa keluar kampus karena sudah dipagar betis polisi. Hasilnya adalah kurang lebih 150 mahasiswa ditangkap, di antaranya berdarah kepalanya terkena pentungan dan lemparan batu. Puluhan motor dan beberapa mobil rusak, beberapa fasilitas kampus juga rusak dengan total kerugian mencapai 600 juta rupiah. Entah karena kebetulan atau kesengajaan, polisi pun menemukan ganja dan botol minuman beralkohol yang ditemukan di dalam kampus. Ini pula yang menjadi alasan mengapa polisi menyerbu kampus. Benar yang dikatakan Menko Polhukam Widodo AS bahwa demi penegakan hukum, polisi berwenang masuk kampus. Tetapi dalam kondisi seperti apa? Kampus adalah wilayah privat, sama seperti instansi pemerintah yang tidak sertamerta dapat dimasuki polisi dengan alasan ada dugaan pelanggaran hukum di dalamnya. KPK saja harus ijin pimpinan DPR ketika akan menggeledah ruang kantor anggota DPR. Polisi akan menggeledah rumah penduduk yang di dalamnya ada dugaan pelaku narkoba, juga harus ijin pengadilan atau setidak-tidaknya sepengetahuan RT setempat. Ini aturan KUHAP. Dengan demikian kita sulit menyimpulkan kalau dalam kasus Unas polisi menggunakan diskresi berdasarkan asas kewajiban hukum, karena terbukti masih ada korban berdarah-darah, dan rusaknya fasilitas kampus ketika polisi menyerbu kampus Unas. Yang mungkin dapat dikatakan adalah telah terjadi penggunakan diskresi yang menyimpang dari kerangka hukum, yakni polisi telah melampaui batas wewenangnya (abuse of power). Jika demikian halnya, maka pertanggungjawaban hukum yang tepat untuk polisi adalah mengadili si pelaku sesuai dengan kadar kesalahannya dengan sanksi pidana, perdata maupun tindakan disiplin kepolisian. Sedangkan terhadap mahasiswa juga dapat diperlakukan sama: tindakan hukum yang sepantasnya. Namun polisi juga dapat saja menggunakan kewenangan diskresioner untuk membebaskan mahasiswa, jika itu dianggap lebih bermanfaat untuk menjamin stabilitas dan ketertiban masyarakat. [ 1 ]
Rabu, Juni 11, 2008
Diskresi Polisi dalam Unas Berdarah
Oleh Syaefurrahman Al-Banjary
Magister Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia
Penyerangan polisi ke kampus Universitas Nasional (Unas) pada subuh 24 Mei 2008 untuk menangkapi mahasiswa yang berunjuk rasa menentang kenaikan harga BBM sesungguhnya merupakan penyakit lama yang kambuh lagi karena gatal ingin membela penguasa. Padahal jika mau, potret gelap polisi di masa lalu dapat diperbaiki.
Kini memang sulit rasanya untuk tidak mengamini pernyataan Kontras bahwa brutalitas polisi dalam kasus ini mencerminkan watak rezim yang berkuasa. Padahal sejak awal reformasi 1998 polisi sedang berbenah menjadi polisi mandiri yang profesional dan bukan menjadi alat kekuasaan, melainkan alat keamanan negara penegak hukum, pelindung dan pelayan masyarakat (Pasal 5 UU Kepolisian Nomor 2 tahun 2002). Jadi, polisi harus mengayomi seluruh masyarakat dan bukan memihak penguasa yang sedang punya persoalan dengan kebijakan BBM.
Ini berbeda dengan polisi zaman Orde Baru yang menjadikan polisi sebagai bagian dari alat kekuasaan, sehingga polisi sering membela mati-matian kebijakan pemerintah dengan menangkapi siapapun yang menentang kebijakan pemerintah dengan tuduhan subversi.
Saat ini polisi memang berada pada posisi yang dilematis. Pertama, karena polisi adalah bagian dari masyarakat yang tentu saja ikut merasakan dampak kenaikan harga BBM. Kedua, polisi memiliki kewajiban mengamankan unjuk rasa agar tidak mengganggu orang lain, sehingga polisi harus mencegah agar unjuk rasa itu tidak anarkis. Ketiga, polisi adalah aparat penegak hukum yang harus tegas ketika melihat pelanggaran hukum, agar tetap berwibawa dan disegani.
Diskresi Kepolisian
Dalam penegakan hukum, polisi memiliki senjata yang ampuh untuk mengatasi dilema penegakan itu yakni dengan menerapakn konsep diskresi. Jika tepat penggunaannya, maka tujuan penegakan hukum dapat tercapai dan terhindar dari tindakan brutal yang justru menurunkan wibawa kepolisian. Mengapa demikian, karena sesungguhnya diskresi kepolisian adalah konsep otoritas polisi untuk melakukan tindakan sesuai dengan pertimbangan hati nurani petugas maupun institusi kepolisian itu sendiri. Dengan diskresi inilah polisi dapat mengesampingkan perkara dan tidak menindak pelanggar hukum asalkan tujuan penegakan hukum tercapai, yakni mewujudkan: kepastian hukum, keadilan dan ketertiban masyarakat. Termasuk diskresi adalah melakukan tindakan yang melanggar hukum dalam rangka mencapai tujuan penegakan hukum.
Syarat penggunaan diskresi adalah tetap menghormati hak asasi manusia, sesuai dengan asas kewajiban, tindakan itu patut dan masuk akal dan dalam keadaan memaksa. Diskresi juga dapat dilakukan sesuai dengan asas tujuan, artinya tindakan itu dilakukan untuk mencapai tujuan mencegah kerugian dan gangguan.
Dalam praktek di lapangan, memang sulit sekali ketiga tujuan penegakan hukum di atas tercapai karena penegakan hukum di masyarakat tidak dapat diterapkan secara hitam putih. Ada kalanya cuma satu yang dapat tercapai, misalnya kepastian hukum, atau bahkan hanya ketertiban atau keadilan saja.
Pendekatan hukum
Untuk melihat seperti apa sesungguhnya yang ingin dicapai oleh polisi ketika menyerbu kampus Unas, dapat dikemukakan tiga bentuk pendekatan penegakan hukum. Pertama adalah pendekatan hukum normative, yakni petugas hanya mencocokkan apa yang ada di buku (law in the books) dengan apa yang di lapangan (law in action). Hukum dilihat secara hitam-putih untuk mewujudkan kepastian hukum. Siapa yang bersalah akan ditindak tanpa melihat latar belakang mengapa kesalahan itu terjadi. Di sini hukum tercerabut dari akar budayanya.
Kedua adalah penegakan hukum fungsional yang memandang hukum sebagai alat rekayasan sosial (as tool for social engineering). Hukum adalah norma-norma yang hidup di masyarakat dan ditaati warganya (law in action). Dalam konteks inilah, maka pertimbangan yang dipentingkan adalah seluruh kepentingan sosial sejak dari kepentingan pribadi, keamanan, perlindungan terhadap moral, konservasi sumber daya, kepentingan ekonomi, politik dan budaya (Soekanto, 1985: 30). Pendekatan hukum sosiologis ini berbeda dengan penegakan peraturan. Penegakan peraturan sasaran akhirnya adalah kepastian hukum, sedangkan penegakan hukum sasaran akhirnya adalah keadilan dan ketertiban masyarakat.
Ketiga adalah pendekatan hukum kritis, yakni penegakan hukum yang diarahkan pada pencapaian tujuan dengan cara yang mudah, enak dan praktis bagi si petugas. Cara ini sering terlihat dalam bentuk penggunaan kekerasan yang “hantam kromo” atau asal memukul untuk segera mengendalikan massa tanpa memperhatikan hak asasi manusia. Polisi main tembak, main masuk kampus tanpa ijin dengan dalih menangkap perusuh. Inilah yang antara lain menjadi kritik, lantaran polisi hanya menekankan efisiensi , tetapi menimbulkan pelanggaran dan kerugian di pihak lain. Inilah yang tampak di Unas
Jika demikian halnya, maka penegakan hukum sosiologislah yang sebaiknya diterapkan dengan menggunakan konsep diskresi. Dengan diskresi, maka polisi dapat mempertimbangkan tindakan apa yang tepat menghadapi pengunjuk rasa, termasuk apakah akan melakukan tindakan persuasif maupun represif. Dengan pertimbangan hati nurani dan dengan kreatifitasnya sendiri, maka poilisi akan menemukan hukum yang cocok dengan masyarakatnya.
Dalam menggunakan diskresi, polisi memang dapat mengesampingkan formalitas hukum yang ada, tetapi sesungguhnya masih dalam kerangka asas-asas hukum juga. “Jadi tidak melewati garis-garis batas kerangka asas hukum,” kata Faal (M. Faal, 1991: 40).
Diskresi menyimpang
Dalam kasus Unas, sejauh yang dilaporkan Kapolri Jenderal Sutanto, polisi sebenarnya sudah sangat persuasif sejak sore hari. Tetapi menjelang subuh aksi mahasiswa telah mengganggu penduduk yang hendak shalat subuh, dan polisi diminta segera menghentikannya. Sayangnya polisi tidak melibatkan tokoh masyarakat untuk menghentikannya, sehingga polisi harus berhadapan dengan mahasiswa. Polisi yang sudah lelah itupun akhirnya menyerbu kampus menangkapi mahasiswai. Termasuk yang ditangkap adalah mereka yang kuliah malam tapi tidak bisa keluar kampus karena sudah dipagar betis polisi. Hasilnya adalah kurang lebih 150 mahasiswa ditangkap, di antaranya berdarah kepalanya terkena pentungan dan lemparan batu. Puluhan motor dan beberapa mobil rusak, beberapa fasilitas kampus juga rusak dengan total kerugian mencapai 600 juta rupiah. Entah karena kebetulan atau kesengajaan, polisi pun menemukan ganja dan botol minuman beralkohol yang ditemukan di dalam kampus. Ini pula yang menjadi alasan mengapa polisi menyerbu kampus.
Benar yang dikatakan Menko Polhukam Widodo AS bahwa demi penegakan hukum, polisi berwenang masuk kampus. Tetapi dalam kondisi seperti apa? Kampus adalah wilayah privat, sama seperti instansi pemerintah yang tidak serta merta dapat dimasuki polisi dengan alasan ada dugaan pelanggaran hukum di dalamnya. KPK saja harus ijin pimpinan DPR ketika akan menggeledah ruang kantor anggota DPR. Polisi akan menggeledah rumah penduduk yang di dalamnya ada dugaan pelaku narkoba, juga harus ijin pengadilan atau setidak-tidaknya sepengetahuan RT setempat. Ini aturan KUHAP.
Dengan demikian kita sulit menyimpulkan kalau dalam kasus Unas polisi menggunakan diskresi berdasarkan asas kewajiban hukum, karena terbukti masih ada korban berdarah-darah, dan rusaknya fasilitas kampus ketika polisi menyerbu kampus Unas.
Yang mungkin dapat dikatakan adalah telah terjadi penggunakan diskresi yang menyimpang dari kerangka hokum, yakni polisi telah melampaui batas wewenangnya (abuse of power). Jika demikian halnya, maka pertanggungjawaban hukum yang tepat untuk polisi adalah mengadili si pelaku sesuai dengan kadar kesalahannya dengan sanksi pidana, perdata maupun tindakan disiplin kepolisian. Sedangkan terhadap mahasiswa juga dapat diperlakukan sama: tindakan hukum yang sepantasnya. Namun polisi juga dapat saja menggunakan kewenangan diskresioner untuk membebaskan mahasiswa, jika itu dianggap lebih bermanfaat untuk menjamin stabilitas dan ketertiban masyarakat. ***
Magister Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia
Penyerangan polisi ke kampus Universitas Nasional (Unas) pada subuh 24 Mei 2008 untuk menangkapi mahasiswa yang berunjuk rasa menentang kenaikan harga BBM sesungguhnya merupakan penyakit lama yang kambuh lagi karena gatal ingin membela penguasa. Padahal jika mau, potret gelap polisi di masa lalu dapat diperbaiki.
Kini memang sulit rasanya untuk tidak mengamini pernyataan Kontras bahwa brutalitas polisi dalam kasus ini mencerminkan watak rezim yang berkuasa. Padahal sejak awal reformasi 1998 polisi sedang berbenah menjadi polisi mandiri yang profesional dan bukan menjadi alat kekuasaan, melainkan alat keamanan negara penegak hukum, pelindung dan pelayan masyarakat (Pasal 5 UU Kepolisian Nomor 2 tahun 2002). Jadi, polisi harus mengayomi seluruh masyarakat dan bukan memihak penguasa yang sedang punya persoalan dengan kebijakan BBM.
Ini berbeda dengan polisi zaman Orde Baru yang menjadikan polisi sebagai bagian dari alat kekuasaan, sehingga polisi sering membela mati-matian kebijakan pemerintah dengan menangkapi siapapun yang menentang kebijakan pemerintah dengan tuduhan subversi.
Saat ini polisi memang berada pada posisi yang dilematis. Pertama, karena polisi adalah bagian dari masyarakat yang tentu saja ikut merasakan dampak kenaikan harga BBM. Kedua, polisi memiliki kewajiban mengamankan unjuk rasa agar tidak mengganggu orang lain, sehingga polisi harus mencegah agar unjuk rasa itu tidak anarkis. Ketiga, polisi adalah aparat penegak hukum yang harus tegas ketika melihat pelanggaran hukum, agar tetap berwibawa dan disegani.
Diskresi Kepolisian
Dalam penegakan hukum, polisi memiliki senjata yang ampuh untuk mengatasi dilema penegakan itu yakni dengan menerapakn konsep diskresi. Jika tepat penggunaannya, maka tujuan penegakan hukum dapat tercapai dan terhindar dari tindakan brutal yang justru menurunkan wibawa kepolisian. Mengapa demikian, karena sesungguhnya diskresi kepolisian adalah konsep otoritas polisi untuk melakukan tindakan sesuai dengan pertimbangan hati nurani petugas maupun institusi kepolisian itu sendiri. Dengan diskresi inilah polisi dapat mengesampingkan perkara dan tidak menindak pelanggar hukum asalkan tujuan penegakan hukum tercapai, yakni mewujudkan: kepastian hukum, keadilan dan ketertiban masyarakat. Termasuk diskresi adalah melakukan tindakan yang melanggar hukum dalam rangka mencapai tujuan penegakan hukum.
Syarat penggunaan diskresi adalah tetap menghormati hak asasi manusia, sesuai dengan asas kewajiban, tindakan itu patut dan masuk akal dan dalam keadaan memaksa. Diskresi juga dapat dilakukan sesuai dengan asas tujuan, artinya tindakan itu dilakukan untuk mencapai tujuan mencegah kerugian dan gangguan.
Dalam praktek di lapangan, memang sulit sekali ketiga tujuan penegakan hukum di atas tercapai karena penegakan hukum di masyarakat tidak dapat diterapkan secara hitam putih. Ada kalanya cuma satu yang dapat tercapai, misalnya kepastian hukum, atau bahkan hanya ketertiban atau keadilan saja.
Pendekatan hukum
Untuk melihat seperti apa sesungguhnya yang ingin dicapai oleh polisi ketika menyerbu kampus Unas, dapat dikemukakan tiga bentuk pendekatan penegakan hukum. Pertama adalah pendekatan hukum normative, yakni petugas hanya mencocokkan apa yang ada di buku (law in the books) dengan apa yang di lapangan (law in action). Hukum dilihat secara hitam-putih untuk mewujudkan kepastian hukum. Siapa yang bersalah akan ditindak tanpa melihat latar belakang mengapa kesalahan itu terjadi. Di sini hukum tercerabut dari akar budayanya.
Kedua adalah penegakan hukum fungsional yang memandang hukum sebagai alat rekayasan sosial (as tool for social engineering). Hukum adalah norma-norma yang hidup di masyarakat dan ditaati warganya (law in action). Dalam konteks inilah, maka pertimbangan yang dipentingkan adalah seluruh kepentingan sosial sejak dari kepentingan pribadi, keamanan, perlindungan terhadap moral, konservasi sumber daya, kepentingan ekonomi, politik dan budaya (Soekanto, 1985: 30). Pendekatan hukum sosiologis ini berbeda dengan penegakan peraturan. Penegakan peraturan sasaran akhirnya adalah kepastian hukum, sedangkan penegakan hukum sasaran akhirnya adalah keadilan dan ketertiban masyarakat.
Ketiga adalah pendekatan hukum kritis, yakni penegakan hukum yang diarahkan pada pencapaian tujuan dengan cara yang mudah, enak dan praktis bagi si petugas. Cara ini sering terlihat dalam bentuk penggunaan kekerasan yang “hantam kromo” atau asal memukul untuk segera mengendalikan massa tanpa memperhatikan hak asasi manusia. Polisi main tembak, main masuk kampus tanpa ijin dengan dalih menangkap perusuh. Inilah yang antara lain menjadi kritik, lantaran polisi hanya menekankan efisiensi , tetapi menimbulkan pelanggaran dan kerugian di pihak lain. Inilah yang tampak di Unas
Jika demikian halnya, maka penegakan hukum sosiologislah yang sebaiknya diterapkan dengan menggunakan konsep diskresi. Dengan diskresi, maka polisi dapat mempertimbangkan tindakan apa yang tepat menghadapi pengunjuk rasa, termasuk apakah akan melakukan tindakan persuasif maupun represif. Dengan pertimbangan hati nurani dan dengan kreatifitasnya sendiri, maka poilisi akan menemukan hukum yang cocok dengan masyarakatnya.
Dalam menggunakan diskresi, polisi memang dapat mengesampingkan formalitas hukum yang ada, tetapi sesungguhnya masih dalam kerangka asas-asas hukum juga. “Jadi tidak melewati garis-garis batas kerangka asas hukum,” kata Faal (M. Faal, 1991: 40).
Diskresi menyimpang
Dalam kasus Unas, sejauh yang dilaporkan Kapolri Jenderal Sutanto, polisi sebenarnya sudah sangat persuasif sejak sore hari. Tetapi menjelang subuh aksi mahasiswa telah mengganggu penduduk yang hendak shalat subuh, dan polisi diminta segera menghentikannya. Sayangnya polisi tidak melibatkan tokoh masyarakat untuk menghentikannya, sehingga polisi harus berhadapan dengan mahasiswa. Polisi yang sudah lelah itupun akhirnya menyerbu kampus menangkapi mahasiswai. Termasuk yang ditangkap adalah mereka yang kuliah malam tapi tidak bisa keluar kampus karena sudah dipagar betis polisi. Hasilnya adalah kurang lebih 150 mahasiswa ditangkap, di antaranya berdarah kepalanya terkena pentungan dan lemparan batu. Puluhan motor dan beberapa mobil rusak, beberapa fasilitas kampus juga rusak dengan total kerugian mencapai 600 juta rupiah. Entah karena kebetulan atau kesengajaan, polisi pun menemukan ganja dan botol minuman beralkohol yang ditemukan di dalam kampus. Ini pula yang menjadi alasan mengapa polisi menyerbu kampus.
Benar yang dikatakan Menko Polhukam Widodo AS bahwa demi penegakan hukum, polisi berwenang masuk kampus. Tetapi dalam kondisi seperti apa? Kampus adalah wilayah privat, sama seperti instansi pemerintah yang tidak serta merta dapat dimasuki polisi dengan alasan ada dugaan pelanggaran hukum di dalamnya. KPK saja harus ijin pimpinan DPR ketika akan menggeledah ruang kantor anggota DPR. Polisi akan menggeledah rumah penduduk yang di dalamnya ada dugaan pelaku narkoba, juga harus ijin pengadilan atau setidak-tidaknya sepengetahuan RT setempat. Ini aturan KUHAP.
Dengan demikian kita sulit menyimpulkan kalau dalam kasus Unas polisi menggunakan diskresi berdasarkan asas kewajiban hukum, karena terbukti masih ada korban berdarah-darah, dan rusaknya fasilitas kampus ketika polisi menyerbu kampus Unas.
Yang mungkin dapat dikatakan adalah telah terjadi penggunakan diskresi yang menyimpang dari kerangka hokum, yakni polisi telah melampaui batas wewenangnya (abuse of power). Jika demikian halnya, maka pertanggungjawaban hukum yang tepat untuk polisi adalah mengadili si pelaku sesuai dengan kadar kesalahannya dengan sanksi pidana, perdata maupun tindakan disiplin kepolisian. Sedangkan terhadap mahasiswa juga dapat diperlakukan sama: tindakan hukum yang sepantasnya. Namun polisi juga dapat saja menggunakan kewenangan diskresioner untuk membebaskan mahasiswa, jika itu dianggap lebih bermanfaat untuk menjamin stabilitas dan ketertiban masyarakat. ***
Penyesatan Media dalam Kasus Monas
Oleh Syaefurrahman Al-Banjary
Mantan Sekjen Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI)
Peringatan lahirnya Pancasila tanggal 1 Juni 2008 di Monas yang mestinya mengukuhkan persatuan dan menghormati pluralisme ternyata telah menjadi petaka karena adanya penyerangan dari kelompok pengunjuk rasa ke kelompok lain. Jangankan mengumpulkan kekuatan untuk melawan kezaliman dan penguasaan asing atas aset-aset negara yang menguasai hajat hidup orang banyak, peringatan itu malah menjadi kontra produktif. Isu nasionalisme yang diusung PDI Perjuangan ketika mengerahkan 100 ribu lebih kadernya di Monas dan Bundaran Hotel Indonesia pun akhirnya tenggelam. Nilai-nilai Pancasila tak lagi berbekas pada penghormatan pluralisme dan persatuan nasional.
Kalau bisa menangis, mungkin arwah Bung Karno akan menangis melihat kejadian ini. Apalagi kasus ini telah menjadi konflik terbuka akibat penyesatan informasi oleh media. Media telah berperan besar dalam menyulut konflik karena pemberitaannya lebih mengeksploitasi kekerasan sehingga menimbulkan kekerasan baru. Media telah mengadu domba dan menjadi provokator. Inikah pemberitaan yang dibanggakan demi rating atau memperbanyak penonton agar iklan lebih banyak masuk? Tampaknya, awak media memang masih perlu komitmen untuk tidak mengobarkan perang dan mengumbar kekerasan.
Penyesatan opini
Front Pembela Islam (FPI) ramai-ramai dikutuk karena sebagai pihak yang melakukan kekerasan atas nama agama terhadap kelompok Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB). Sebaliknya, FPI menyatakan penyerangan itu dilakukan karena ada pemicunya yakni provokasi dari kelompok pendukung Ahmadiyah, karena itu FPI akan melawan pihak-pihak yang akan membubarkan FPI.
Hari kedua pasca kejadian Monas, pemberitaan sudah bergeser dari persoalan penyerangan FPI menjadi konflik antara Gus Dur dan Habib Rizieq Shihab (Ketua Umum FPI). Gus Dur memang menjadi pendukung Ahmadiyah dan meminta FPI dibubarkan karena melakukan kekerasan atas nama agama. Kedua tokoh ini secara terbuka ditayangkan televisi dan saling menjatuhkan, sehingga pengikut kedua tokoh itu pun saling serang. Di Cirebon dan Jember misalnya, massa Banser milik NU menyerang markas FPI dan pimpinan FPI setempat terpaksa membubarkan organisasinya itu karena tekanan massa. Tampak jelas bahwa media telah menyebarkan kebencian dan telah menyebarkan informasi yang menyesatkan.
Munarman, Panglima Komando Lasykar Islam juga pantas marah ketika fotonya yang sedang mencekik lelaki pemegang sorban dipasang di halaman muka sebuah koran ibukota dan dikatakan sedang melakukan kekerasan. Padahal lelaki itu adalah anggota mereka yang sedang dicegah agar tidak anarkis. Munarman juga meluruskan bahwa bukan FPI yang terlibat penyerangan terhadap AKKBB di Monas melainkan Komando Lasykar Islam (di dalamnya terdapat FPI).
Pemberitaan ini jelas menunjukkan bahwa kawan-kawan wartawan kurang teliti. Televisi juga lebih banyak dan berulang-ulang memutar aksi penyerangan, tetapi tidak menampilkan gambar-gambar provokasi pihak lain yang menjadi penyebab penyerangan. Opini media akhirnya bergeser, dari aksi penyerangan terhadap kelompok pendukung Ahmadiyah yang tergabung dalam AKKBB, kepada isu pembubaran FPI semata.
Akar masalah
Saya kira akar masalahnya adalah tidak adanya sikap tegas dari pemerintah dalam kasus Ahmadiyah dan adanya pemaksaan kehendak (kekerasan) di pihak lain. FPI memang sejak lama menentang keberadaan Ahmadiyah karena aqidahnya sesat dan merupakan penistaan terhadap ajaran agama (Islam). FPI tidak sendirian. Ada lebih dari 20 organisasi kemasyarakatan yang tergabung dalam Forum Ummat Islam (FUI) dalam memperjuangkan agar pemerintah membubarkan Ahmadiyah. Mereka mendesak agar SKB (Surat Keputusan Bersama) yang dijanjikan oleh pemerintah segera dikeluarkan, agar tidak terjadi penistaan agama oleh Ahmadiyah. Tapi rencana ini tertunda karena ada usulan dari Adnan Buyung Nasution (anggota Wantimpres) dengan alasan bertentangan dengan kebebasan berkeyakinan yang dijamin Pancasila.
Sebelumnya Menteri Agama memang pernah memberikan solusi agar pengikut Ahmadiyah tidak mengklaim sebagai agama Islam, karena aqidahnya sudah menyimpang dari Islam, dan MUI pun sudah lama menyatakannya sebagai ajaran sesat. Tetapi usulan Menteri Agama ini ditolak oleh Ahmadiyah. Kalau saja pengikut Ahmadiyah tidak mengklaim sebagai muslim, tentulah kelompok FUI tidak ada yang tersinggung dan Ahmadiyah tidak akan diusik. Kini persoalannya telah menjadi bubur, akibat ketidaktegasan sikap pemerintah menghadapi keberadaan Ahmadiyah.
Ahmadiyah bahkan mendapat dukungan dari individu-individu yang menamakan Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan yang dikomandoi Adnan Buyung Nasution. Kelompok ini beberapa kali memasang iklan di media massa, dan di antaranya menuduh ada pihak lain yang hendak mengganti Pancasila dengan menuntut pembubaran Ahmadiyah (Pihak FPI menilai tuduhan ini menyesatkan).
Tanggal 26 Mei 2008, iklan itu terpampang besar-besaran di berbagai media massa nasional, yang secara tegas menyebutkan bahwa aksi tanggal 1 Juni 2008 dilakukan untuk memberikan dukungan terhadap Ahmadiyah. Itulah sebabnya, provokasi melalui iklan ini pula yang turut mendorong aksi kekerasan di Monas. Padahal sebelumnya, -- menurut keterangan Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Polisi Abubakar Nataprawira-- polisi melarang kelompok AKKBB menggelar acara di Monas karena tidak ada izin. Kenyataannya kelompok ini menggelar aksi di Monas sehingga terjadilah aksi penyerangan itu. Penyerangan sulit dilerai, karena polisi memang tidak mengawalnya. AKKBB mengklaim ada 70 orang yang terkena pukulan, di antaranya KH Imanulhaq (Pemimpin Pondok Pesantren Al-Mizan Cirebon) dan Syafii Anwar (Direktur International Center for Islam and Pluralism) serta Ahmad Suaedy (Direktur Wahid Institut).
Bisa jadi, kasus Monas ini memang diciptakan oleh pihak ketiga, untuk memukul dua hal sekaligus: mengalihkan isu BBM dan Ahmadiyah. Bahwa FPI kena batunya, adalah konsekuensi dari aksi kekerasannya yang tidak diterima oleh publik.
Jurnalisme damai?
Para pelaku media sejak awal seharusnya menurunkan tensi pemberitaan jika ingin persoalan kebangsaan ini selesai. Jika tidak, maka berdosalah kita karena ikut memprovokasi masyarakat untuk melakukan kekerasan. Di sinilah letaknya profesionalisme wartawan itu diuji. Di mana hati nurani kita, jika kita bangga memberitakan konflik SARA seperti memberitakan pertandingan tinju antara Mike Tyson melawan Holyfield.
Dalam pertandingan tinju, kita bisa mafhum kalau media memberitakan Tyson bersumbar akan memukul jatuh Holifield, dan sebaliknya Holyfield akan memukul KO dalam ronde pertama. Tapi setelah pertandingan usai, salah satu ada yang kalah, mereka tetap sportif dan berangkulan. Apakah sama pertandingan tinju dengan SARA? Apakah bangsa ini sudah sedemikian rusak sehingga anak bangsa diberi tontonan bentrokan fisik antara sesama anak bangsa dan perang kata antar pemuka agama? Alangkah tragisnya jika keadaan ini terus terjadi.
Saat ini, masih ada waktu untuk memperbaiki pemberitaan. Pelaksanaan jurnalisme damai mestinya menjadi tuntutan profesionalisme para wartawan. Kita dudukkan persoalan sebagaimana adanya, dan berikanlah perspektif yang menyejukkan. Tidak semua fakta harus ditayangkan, kalau sekiranya akan mengakibatkan persoalan yang destruktif. Di sinilah hati nurani kita berbicara untuk menimbang-nimbang mana yang perlu dan mana yang tidak perlu diberitakan, tanpa kehilangan independensi, aktualitas, objektivitas dan keberimbangan. Konsep berimbang atau cover both side juga bukan seperti yang kita lihat di televisi: dua tokoh berseteru dilepas semua pernyataannya baik yang menghujat maupun yang menantang perang! Untuk apa kita siarkan perseteruan itu kalau akan mendorong semua lasykar bersiaga mengangkat senjata?
Intinya, kita memerlukan media yang mampu memberikan kesejukan dan memberi jalan penyelesaian konflik atau resolusi konflik. Kalau media terus menggosok-gosok kedua belah pihak, tentu saja tidak akan terjadi titik temu. Berikanlah ruang dan perspektif dari berbagai sisi serta konteks persoalan yang sesungguhnya agar menemukan solusi. Para pendukung kedua pihak akan senang jika pemberitaan media mampu mengantarkan kedua pihak pada meja perundingan bukan sebaliknya, menjauhkan keduanya.
Pihak yang bertikai diharapkan mampu memahami sudut pandang pihak lain, mengatasi prasangka dan kecurigaan, serta mengevaluasi ulang sikap dasar yang terbentuk semula. Media diharapkan dapat memetakan konflik, mengidentifikasi pihak-pihak yang terlibat dan menganalisis tujuan-tujuan mereka, dan membicarakan informasi yang mereka sediakan dalam agenda khusus mereka. Langkah ini juga dapat mengatasi penyesatan opini yang merugikan salah satu pihak.
Jurnalisme damai memang hanya tawaran. Namun perlu diingat bahwa pers bukanlah sekadar mirror of reality, tetapi juga molder of reality (pembentuk rupa) masyarakat. Nah jika keberadaan jurnalisme adalah dalam rangka membentuk rupa masyarakat, maka jurnalisme damai adalah jalan keluarnya. (*)
Mantan Sekjen Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI)
Peringatan lahirnya Pancasila tanggal 1 Juni 2008 di Monas yang mestinya mengukuhkan persatuan dan menghormati pluralisme ternyata telah menjadi petaka karena adanya penyerangan dari kelompok pengunjuk rasa ke kelompok lain. Jangankan mengumpulkan kekuatan untuk melawan kezaliman dan penguasaan asing atas aset-aset negara yang menguasai hajat hidup orang banyak, peringatan itu malah menjadi kontra produktif. Isu nasionalisme yang diusung PDI Perjuangan ketika mengerahkan 100 ribu lebih kadernya di Monas dan Bundaran Hotel Indonesia pun akhirnya tenggelam. Nilai-nilai Pancasila tak lagi berbekas pada penghormatan pluralisme dan persatuan nasional.
Kalau bisa menangis, mungkin arwah Bung Karno akan menangis melihat kejadian ini. Apalagi kasus ini telah menjadi konflik terbuka akibat penyesatan informasi oleh media. Media telah berperan besar dalam menyulut konflik karena pemberitaannya lebih mengeksploitasi kekerasan sehingga menimbulkan kekerasan baru. Media telah mengadu domba dan menjadi provokator. Inikah pemberitaan yang dibanggakan demi rating atau memperbanyak penonton agar iklan lebih banyak masuk? Tampaknya, awak media memang masih perlu komitmen untuk tidak mengobarkan perang dan mengumbar kekerasan.
Penyesatan opini
Front Pembela Islam (FPI) ramai-ramai dikutuk karena sebagai pihak yang melakukan kekerasan atas nama agama terhadap kelompok Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB). Sebaliknya, FPI menyatakan penyerangan itu dilakukan karena ada pemicunya yakni provokasi dari kelompok pendukung Ahmadiyah, karena itu FPI akan melawan pihak-pihak yang akan membubarkan FPI.
Hari kedua pasca kejadian Monas, pemberitaan sudah bergeser dari persoalan penyerangan FPI menjadi konflik antara Gus Dur dan Habib Rizieq Shihab (Ketua Umum FPI). Gus Dur memang menjadi pendukung Ahmadiyah dan meminta FPI dibubarkan karena melakukan kekerasan atas nama agama. Kedua tokoh ini secara terbuka ditayangkan televisi dan saling menjatuhkan, sehingga pengikut kedua tokoh itu pun saling serang. Di Cirebon dan Jember misalnya, massa Banser milik NU menyerang markas FPI dan pimpinan FPI setempat terpaksa membubarkan organisasinya itu karena tekanan massa. Tampak jelas bahwa media telah menyebarkan kebencian dan telah menyebarkan informasi yang menyesatkan.
Munarman, Panglima Komando Lasykar Islam juga pantas marah ketika fotonya yang sedang mencekik lelaki pemegang sorban dipasang di halaman muka sebuah koran ibukota dan dikatakan sedang melakukan kekerasan. Padahal lelaki itu adalah anggota mereka yang sedang dicegah agar tidak anarkis. Munarman juga meluruskan bahwa bukan FPI yang terlibat penyerangan terhadap AKKBB di Monas melainkan Komando Lasykar Islam (di dalamnya terdapat FPI).
Pemberitaan ini jelas menunjukkan bahwa kawan-kawan wartawan kurang teliti. Televisi juga lebih banyak dan berulang-ulang memutar aksi penyerangan, tetapi tidak menampilkan gambar-gambar provokasi pihak lain yang menjadi penyebab penyerangan. Opini media akhirnya bergeser, dari aksi penyerangan terhadap kelompok pendukung Ahmadiyah yang tergabung dalam AKKBB, kepada isu pembubaran FPI semata.
Akar masalah
Saya kira akar masalahnya adalah tidak adanya sikap tegas dari pemerintah dalam kasus Ahmadiyah dan adanya pemaksaan kehendak (kekerasan) di pihak lain. FPI memang sejak lama menentang keberadaan Ahmadiyah karena aqidahnya sesat dan merupakan penistaan terhadap ajaran agama (Islam). FPI tidak sendirian. Ada lebih dari 20 organisasi kemasyarakatan yang tergabung dalam Forum Ummat Islam (FUI) dalam memperjuangkan agar pemerintah membubarkan Ahmadiyah. Mereka mendesak agar SKB (Surat Keputusan Bersama) yang dijanjikan oleh pemerintah segera dikeluarkan, agar tidak terjadi penistaan agama oleh Ahmadiyah. Tapi rencana ini tertunda karena ada usulan dari Adnan Buyung Nasution (anggota Wantimpres) dengan alasan bertentangan dengan kebebasan berkeyakinan yang dijamin Pancasila.
Sebelumnya Menteri Agama memang pernah memberikan solusi agar pengikut Ahmadiyah tidak mengklaim sebagai agama Islam, karena aqidahnya sudah menyimpang dari Islam, dan MUI pun sudah lama menyatakannya sebagai ajaran sesat. Tetapi usulan Menteri Agama ini ditolak oleh Ahmadiyah. Kalau saja pengikut Ahmadiyah tidak mengklaim sebagai muslim, tentulah kelompok FUI tidak ada yang tersinggung dan Ahmadiyah tidak akan diusik. Kini persoalannya telah menjadi bubur, akibat ketidaktegasan sikap pemerintah menghadapi keberadaan Ahmadiyah.
Ahmadiyah bahkan mendapat dukungan dari individu-individu yang menamakan Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan yang dikomandoi Adnan Buyung Nasution. Kelompok ini beberapa kali memasang iklan di media massa, dan di antaranya menuduh ada pihak lain yang hendak mengganti Pancasila dengan menuntut pembubaran Ahmadiyah (Pihak FPI menilai tuduhan ini menyesatkan).
Tanggal 26 Mei 2008, iklan itu terpampang besar-besaran di berbagai media massa nasional, yang secara tegas menyebutkan bahwa aksi tanggal 1 Juni 2008 dilakukan untuk memberikan dukungan terhadap Ahmadiyah. Itulah sebabnya, provokasi melalui iklan ini pula yang turut mendorong aksi kekerasan di Monas. Padahal sebelumnya, -- menurut keterangan Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Polisi Abubakar Nataprawira-- polisi melarang kelompok AKKBB menggelar acara di Monas karena tidak ada izin. Kenyataannya kelompok ini menggelar aksi di Monas sehingga terjadilah aksi penyerangan itu. Penyerangan sulit dilerai, karena polisi memang tidak mengawalnya. AKKBB mengklaim ada 70 orang yang terkena pukulan, di antaranya KH Imanulhaq (Pemimpin Pondok Pesantren Al-Mizan Cirebon) dan Syafii Anwar (Direktur International Center for Islam and Pluralism) serta Ahmad Suaedy (Direktur Wahid Institut).
Bisa jadi, kasus Monas ini memang diciptakan oleh pihak ketiga, untuk memukul dua hal sekaligus: mengalihkan isu BBM dan Ahmadiyah. Bahwa FPI kena batunya, adalah konsekuensi dari aksi kekerasannya yang tidak diterima oleh publik.
Jurnalisme damai?
Para pelaku media sejak awal seharusnya menurunkan tensi pemberitaan jika ingin persoalan kebangsaan ini selesai. Jika tidak, maka berdosalah kita karena ikut memprovokasi masyarakat untuk melakukan kekerasan. Di sinilah letaknya profesionalisme wartawan itu diuji. Di mana hati nurani kita, jika kita bangga memberitakan konflik SARA seperti memberitakan pertandingan tinju antara Mike Tyson melawan Holyfield.
Dalam pertandingan tinju, kita bisa mafhum kalau media memberitakan Tyson bersumbar akan memukul jatuh Holifield, dan sebaliknya Holyfield akan memukul KO dalam ronde pertama. Tapi setelah pertandingan usai, salah satu ada yang kalah, mereka tetap sportif dan berangkulan. Apakah sama pertandingan tinju dengan SARA? Apakah bangsa ini sudah sedemikian rusak sehingga anak bangsa diberi tontonan bentrokan fisik antara sesama anak bangsa dan perang kata antar pemuka agama? Alangkah tragisnya jika keadaan ini terus terjadi.
Saat ini, masih ada waktu untuk memperbaiki pemberitaan. Pelaksanaan jurnalisme damai mestinya menjadi tuntutan profesionalisme para wartawan. Kita dudukkan persoalan sebagaimana adanya, dan berikanlah perspektif yang menyejukkan. Tidak semua fakta harus ditayangkan, kalau sekiranya akan mengakibatkan persoalan yang destruktif. Di sinilah hati nurani kita berbicara untuk menimbang-nimbang mana yang perlu dan mana yang tidak perlu diberitakan, tanpa kehilangan independensi, aktualitas, objektivitas dan keberimbangan. Konsep berimbang atau cover both side juga bukan seperti yang kita lihat di televisi: dua tokoh berseteru dilepas semua pernyataannya baik yang menghujat maupun yang menantang perang! Untuk apa kita siarkan perseteruan itu kalau akan mendorong semua lasykar bersiaga mengangkat senjata?
Intinya, kita memerlukan media yang mampu memberikan kesejukan dan memberi jalan penyelesaian konflik atau resolusi konflik. Kalau media terus menggosok-gosok kedua belah pihak, tentu saja tidak akan terjadi titik temu. Berikanlah ruang dan perspektif dari berbagai sisi serta konteks persoalan yang sesungguhnya agar menemukan solusi. Para pendukung kedua pihak akan senang jika pemberitaan media mampu mengantarkan kedua pihak pada meja perundingan bukan sebaliknya, menjauhkan keduanya.
Pihak yang bertikai diharapkan mampu memahami sudut pandang pihak lain, mengatasi prasangka dan kecurigaan, serta mengevaluasi ulang sikap dasar yang terbentuk semula. Media diharapkan dapat memetakan konflik, mengidentifikasi pihak-pihak yang terlibat dan menganalisis tujuan-tujuan mereka, dan membicarakan informasi yang mereka sediakan dalam agenda khusus mereka. Langkah ini juga dapat mengatasi penyesatan opini yang merugikan salah satu pihak.
Jurnalisme damai memang hanya tawaran. Namun perlu diingat bahwa pers bukanlah sekadar mirror of reality, tetapi juga molder of reality (pembentuk rupa) masyarakat. Nah jika keberadaan jurnalisme adalah dalam rangka membentuk rupa masyarakat, maka jurnalisme damai adalah jalan keluarnya. (*)
Label: Artikel, foto, video
Jurnalisme Damai
Jurnalisme Damai dalam Kasus Monas
Oleh Syaefurrahman Al-Banjary
Mantan Sekjen Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI)
Peringatan lahirnya Pancasila tanggal 1 Juni 2008 di Monas yang mestinya mengukuhkan persatuan dan menghormati pluralisme ternyata telah menjadi petaka karena adanya penyerangan dari kelompok pengunjuk rasa ke kelompok lain. Jangankan mengumpulkan kekuatan untuk melawan kezaliman dan penguasaan asing atas aset-aset negara yang menguasai hajat hidup orang banyak, peringatan itu malah menjadi kontra produktif. Isu nasionalisme yang diusung PDI Perjuangan ketika mengerahkan 100 ribu lebih kadernya di Monas dan Bundaran Hotel Indonesia pun akhirnya tenggelam. Nilai-nilai Pancasila tak lagi berbekas pada penghormatan pluralisme dan persatuan nasional.
Kalau bisa menangis, mungkin arwah Bung Karno akan menangis melihat kejadian ini. Apalagi kasus ini telah menjadi konflik terbuka akibat penyesatan informasi oleh media. Media telah berperan besar dalam menyulut konflik karena pemberitaannya lebih mengeksploitasi kekerasan sehingga menimbulkan kekerasan baru. Media telah mengadu domba dan menjadi provokator. Inikah pemberitaan yang dibanggakan demi rating atau memperbanyak penonton agar iklan lebih banyak masuk? Tampaknya, awak media memang masih perlu komitmen untuk tidak mengobarkan perang dan mengumbar kekerasan.
Penyesatan opini
Front Pembela Islam (FPI) ramai-ramai dikutuk karena sebagai pihak yang melakukan kekerasan atas nama agama terhadap kelompok Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB). Sebaliknya, FPI menyatakan penyerangan itu dilakukan karena ada pemicunya yakni provokasi dari kelompok pendukung Ahmadiyah, karena itu FPI akan melawan pihak-pihak yang akan membubarkan FPI.
Hari kedua pasca kejadian Monas, pemberitaan sudah bergeser dari persoalan penyerangan FPI menjadi konflik antara Gus Dur dan Habib Rizieq Shihab (Ketua Umum FPI). Gus Dur memang menjadi pendukung Ahmadiyah dan meminta FPI dibubarkan karena melakukan kekerasan atas nama agama. Kedua tokoh ini secara terbuka ditayangkan televisi dan saling menjatuhkan, sehingga pengikut kedua tokoh itu pun saling serang. Di Cirebon dan Jember misalnya, massa Banser milik NU menyerang markas FPI dan pimpinan FPI setempat terpaksa membubarkan organisasinya itu karena tekanan massa. Tampak jelas bahwa media telah menyebarkan kebencian dan telah menyebarkan informasi yang menyesatkan.
Munarman, Panglima Komando Lasykar Islam juga pantas marah ketika fotonya yang sedang mencekik lelaki pemegang sorban dipasang di halaman muka sebuah koran ibukota dan dikatakan sedang melakukan kekerasan. Padahal lelaki itu adalah anggota mereka yang sedang dicegah agar tidak anarkis. Munarman juga meluruskan bahwa bukan FPI yang terlibat penyerangan terhadap AKKBB di Monas melainkan Komando Lasykar Islam (di dalamnya terdapat FPI).
Pemberitaan ini jelas menunjukkan bahwa kawan-kawan wartawan kurang teliti. Televisi juga lebih banyak dan berulang-ulang memutar aksi penyerangan, tetapi tidak menampilkan gambar-gambar provokasi pihak lain yang menjadi penyebab penyerangan. Opini media akhirnya bergeser, dari aksi penyerangan terhadap kelompok pendukung Ahmadiyah yang tergabung dalam AKKBB, kepada isu pembubaran FPI semata.
Akar masalah
Saya kira akar masalahnya adalah tidak adanya sikap tegas dari pemerintah dalam kasus Ahmadiyah dan adanya pemaksaan kehendak (kekerasan) di pihak lain. FPI memang sejak lama menentang keberadaan Ahmadiyah karena aqidahnya sesat dan merupakan penistaan terhadap ajaran agama (Islam). FPI tidak sendirian. Ada lebih dari 20 organisasi kemasyarakatan yang tergabung dalam Forum Ummat Islam (FUI) dalam memperjuangkan agar pemerintah membubarkan Ahmadiyah. Mereka mendesak agar SKB (Surat Keputusan Bersama) yang dijanjikan oleh pemerintah segera dikeluarkan, agar tidak terjadi penistaan agama oleh Ahmadiyah. Tapi rencana ini tertunda karena ada usulan dari Adnan Buyung Nasution (anggota Wantimpres) dengan alasan bertentangan dengan kebebasan berkeyakinan yang dijamin Pancasila.
Sebelumnya Menteri Agama memang pernah memberikan solusi agar pengikut Ahmadiyah tidak mengklaim sebagai agama Islam, karena aqidahnya sudah menyimpang dari Islam, dan MUI pun sudah lama menyatakannya sebagai ajaran sesat. Tetapi usulan Menteri Agama ini ditolak oleh Ahmadiyah. Kalau saja pengikut Ahmadiyah tidak mengklaim sebagai muslim, tentulah kelompok FUI tidak ada yang tersinggung dan Ahmadiyah tidak akan diusik. Kini persoalannya telah menjadi bubur, akibat ketidaktegasan sikap pemerintah menghadapi keberadaan Ahmadiyah.
Ahmadiyah bahkan mendapat dukungan dari individu-individu yang menamakan Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan yang dikomandoi Adnan Buyung Nasution. Kelompok ini beberapa kali memasang iklan di media massa, dan di antaranya menuduh ada pihak lain yang hendak mengganti Pancasila dengan menuntut pembubaran Ahmadiyah (Pihak FPI menilai tuduhan ini menyesatkan).
Tanggal 26 Mei 2008, iklan itu terpampang besar-besaran di berbagai media massa nasional, yang secara tegas menyebutkan bahwa aksi tanggal 1 Juni 2008 dilakukan untuk memberikan dukungan terhadap Ahmadiyah. Itulah sebabnya, provokasi melalui iklan ini pula yang turut mendorong aksi kekerasan di Monas. Padahal sebelumnya, -- menurut keterangan Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Polisi Abubakar Nataprawira-- polisi melarang kelompok AKKBB menggelar acara di Monas karena tidak ada izin. Kenyataannya kelompok ini menggelar aksi di Monas sehingga terjadilah aksi penyerangan itu. Penyerangan sulit dilerai, karena polisi memang tidak mengawalnya. AKKBB mengklaim ada 70 orang yang terkena pukulan, di antaranya KH Imanulhaq (Pemimpin Pondok Pesantren Al-Mizan Cirebon) dan Syafii Anwar (Direktur International Center for Islam and Pluralism) serta Ahmad Suaedy (Direktur Wahid Institut).
Bisa jadi, kasus Monas ini memang diciptakan oleh pihak ketiga, untuk memukul dua hal sekaligus: mengalihkan isu BBM dan Ahmadiyah. Bahwa FPI kena batunya, adalah konsekuensi dari aksi kekerasannya yang tidak diterima oleh publik.
Jurnalisme damai?
Para pelaku media sejak awal seharusnya menurunkan tensi pemberitaan jika ingin persoalan kebangsaan ini selesai. Jika tidak, maka berdosalah kita karena ikut memprovokasi masyarakat untuk melakukan kekerasan. Di sinilah letaknya profesionalisme wartawan itu diuji. Di mana hati nurani kita, jika kita bangga memberitakan konflik SARA seperti memberitakan pertandingan tinju antara Mike Tyson melawan Holyfield.
Dalam pertandingan tinju, kita bisa mafhum kalau media memberitakan Tyson bersumbar akan memukul jatuh Holifield, dan sebaliknya Holyfield akan memukul KO dalam ronde pertama. Tapi setelah pertandingan usai, salah satu ada yang kalah, mereka tetap sportif dan berangkulan. Apakah sama pertandingan tinju dengan SARA? Apakah bangsa ini sudah sedemikian rusak sehingga anak bangsa diberi tontonan bentrokan fisik antara sesama anak bangsa dan perang kata antar pemuka agama? Alangkah tragisnya jika keadaan ini terus terjadi.
Saat ini, masih ada waktu untuk memperbaiki pemberitaan. Pelaksanaan jurnalisme damai mestinya menjadi tuntutan profesionalisme para wartawan. Kita dudukkan persoalan sebagaimana adanya, dan berikanlah perspektif yang menyejukkan. Tidak semua fakta harus ditayangkan, kalau sekiranya akan mengakibatkan persoalan yang destruktif. Di sinilah hati nurani kita berbicara untuk menimbang-nimbang mana yang perlu dan mana yang tidak perlu diberitakan, tanpa kehilangan independensi, aktualitas, objektivitas dan keberimbangan. Konsep berimbang atau cover both side juga bukan seperti yang kita lihat di televisi: dua tokoh berseteru dilepas semua pernyataannya baik yang menghujat maupun yang menantang perang! Untuk apa kita siarkan perseteruan itu kalau akan mendorong semua lasykar bersiaga mengangkat senjata?
Intinya, kita memerlukan media yang mampu memberikan kesejukan dan memberi jalan penyelesaian konflik atau resolusi konflik. Kalau media terus menggosok-gosok kedua belah pihak, tentu saja tidak akan terjadi titik temu. Berikanlah ruang dan perspektif dari berbagai sisi serta konteks persoalan yang sesungguhnya agar menemukan solusi. Para pendukung kedua pihak akan senang jika pemberitaan media mampu mengantarkan kedua pihak pada meja perundingan bukan sebaliknya, menjauhkan keduanya.
Pihak yang bertikai diharapkan mampu memahami sudut pandang pihak lain, mengatasi prasangka dan kecurigaan, serta mengevaluasi ulang sikap dasar yang terbentuk semula. Media diharapkan dapat memetakan konflik, mengidentifikasi pihak-pihak yang terlibat dan menganalisis tujuan-tujuan mereka, dan membicarakan informasi yang mereka sediakan dalam agenda khusus mereka. Langkah ini juga dapat mengatasi penyesatan opini yang merugikan salah satu pihak.
Jurnalisme damai memang hanya tawaran. Namun perlu diingat bahwa pers bukanlah sekadar mirror of reality, tetapi juga molder of reality (pembentuk rupa) masyarakat. Nah jika keberadaan jurnalisme adalah dalam rangka membentuk rupa masyarakat, maka jurnalisme damai adalah jalan keluarnya. (*)
Mantan Sekjen Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI)
Peringatan lahirnya Pancasila tanggal 1 Juni 2008 di Monas yang mestinya mengukuhkan persatuan dan menghormati pluralisme ternyata telah menjadi petaka karena adanya penyerangan dari kelompok pengunjuk rasa ke kelompok lain. Jangankan mengumpulkan kekuatan untuk melawan kezaliman dan penguasaan asing atas aset-aset negara yang menguasai hajat hidup orang banyak, peringatan itu malah menjadi kontra produktif. Isu nasionalisme yang diusung PDI Perjuangan ketika mengerahkan 100 ribu lebih kadernya di Monas dan Bundaran Hotel Indonesia pun akhirnya tenggelam. Nilai-nilai Pancasila tak lagi berbekas pada penghormatan pluralisme dan persatuan nasional.
Kalau bisa menangis, mungkin arwah Bung Karno akan menangis melihat kejadian ini. Apalagi kasus ini telah menjadi konflik terbuka akibat penyesatan informasi oleh media. Media telah berperan besar dalam menyulut konflik karena pemberitaannya lebih mengeksploitasi kekerasan sehingga menimbulkan kekerasan baru. Media telah mengadu domba dan menjadi provokator. Inikah pemberitaan yang dibanggakan demi rating atau memperbanyak penonton agar iklan lebih banyak masuk? Tampaknya, awak media memang masih perlu komitmen untuk tidak mengobarkan perang dan mengumbar kekerasan.
Penyesatan opini
Front Pembela Islam (FPI) ramai-ramai dikutuk karena sebagai pihak yang melakukan kekerasan atas nama agama terhadap kelompok Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB). Sebaliknya, FPI menyatakan penyerangan itu dilakukan karena ada pemicunya yakni provokasi dari kelompok pendukung Ahmadiyah, karena itu FPI akan melawan pihak-pihak yang akan membubarkan FPI.
Hari kedua pasca kejadian Monas, pemberitaan sudah bergeser dari persoalan penyerangan FPI menjadi konflik antara Gus Dur dan Habib Rizieq Shihab (Ketua Umum FPI). Gus Dur memang menjadi pendukung Ahmadiyah dan meminta FPI dibubarkan karena melakukan kekerasan atas nama agama. Kedua tokoh ini secara terbuka ditayangkan televisi dan saling menjatuhkan, sehingga pengikut kedua tokoh itu pun saling serang. Di Cirebon dan Jember misalnya, massa Banser milik NU menyerang markas FPI dan pimpinan FPI setempat terpaksa membubarkan organisasinya itu karena tekanan massa. Tampak jelas bahwa media telah menyebarkan kebencian dan telah menyebarkan informasi yang menyesatkan.
Munarman, Panglima Komando Lasykar Islam juga pantas marah ketika fotonya yang sedang mencekik lelaki pemegang sorban dipasang di halaman muka sebuah koran ibukota dan dikatakan sedang melakukan kekerasan. Padahal lelaki itu adalah anggota mereka yang sedang dicegah agar tidak anarkis. Munarman juga meluruskan bahwa bukan FPI yang terlibat penyerangan terhadap AKKBB di Monas melainkan Komando Lasykar Islam (di dalamnya terdapat FPI).
Pemberitaan ini jelas menunjukkan bahwa kawan-kawan wartawan kurang teliti. Televisi juga lebih banyak dan berulang-ulang memutar aksi penyerangan, tetapi tidak menampilkan gambar-gambar provokasi pihak lain yang menjadi penyebab penyerangan. Opini media akhirnya bergeser, dari aksi penyerangan terhadap kelompok pendukung Ahmadiyah yang tergabung dalam AKKBB, kepada isu pembubaran FPI semata.
Akar masalah
Saya kira akar masalahnya adalah tidak adanya sikap tegas dari pemerintah dalam kasus Ahmadiyah dan adanya pemaksaan kehendak (kekerasan) di pihak lain. FPI memang sejak lama menentang keberadaan Ahmadiyah karena aqidahnya sesat dan merupakan penistaan terhadap ajaran agama (Islam). FPI tidak sendirian. Ada lebih dari 20 organisasi kemasyarakatan yang tergabung dalam Forum Ummat Islam (FUI) dalam memperjuangkan agar pemerintah membubarkan Ahmadiyah. Mereka mendesak agar SKB (Surat Keputusan Bersama) yang dijanjikan oleh pemerintah segera dikeluarkan, agar tidak terjadi penistaan agama oleh Ahmadiyah. Tapi rencana ini tertunda karena ada usulan dari Adnan Buyung Nasution (anggota Wantimpres) dengan alasan bertentangan dengan kebebasan berkeyakinan yang dijamin Pancasila.
Sebelumnya Menteri Agama memang pernah memberikan solusi agar pengikut Ahmadiyah tidak mengklaim sebagai agama Islam, karena aqidahnya sudah menyimpang dari Islam, dan MUI pun sudah lama menyatakannya sebagai ajaran sesat. Tetapi usulan Menteri Agama ini ditolak oleh Ahmadiyah. Kalau saja pengikut Ahmadiyah tidak mengklaim sebagai muslim, tentulah kelompok FUI tidak ada yang tersinggung dan Ahmadiyah tidak akan diusik. Kini persoalannya telah menjadi bubur, akibat ketidaktegasan sikap pemerintah menghadapi keberadaan Ahmadiyah.
Ahmadiyah bahkan mendapat dukungan dari individu-individu yang menamakan Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan yang dikomandoi Adnan Buyung Nasution. Kelompok ini beberapa kali memasang iklan di media massa, dan di antaranya menuduh ada pihak lain yang hendak mengganti Pancasila dengan menuntut pembubaran Ahmadiyah (Pihak FPI menilai tuduhan ini menyesatkan).
Tanggal 26 Mei 2008, iklan itu terpampang besar-besaran di berbagai media massa nasional, yang secara tegas menyebutkan bahwa aksi tanggal 1 Juni 2008 dilakukan untuk memberikan dukungan terhadap Ahmadiyah. Itulah sebabnya, provokasi melalui iklan ini pula yang turut mendorong aksi kekerasan di Monas. Padahal sebelumnya, -- menurut keterangan Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Polisi Abubakar Nataprawira-- polisi melarang kelompok AKKBB menggelar acara di Monas karena tidak ada izin. Kenyataannya kelompok ini menggelar aksi di Monas sehingga terjadilah aksi penyerangan itu. Penyerangan sulit dilerai, karena polisi memang tidak mengawalnya. AKKBB mengklaim ada 70 orang yang terkena pukulan, di antaranya KH Imanulhaq (Pemimpin Pondok Pesantren Al-Mizan Cirebon) dan Syafii Anwar (Direktur International Center for Islam and Pluralism) serta Ahmad Suaedy (Direktur Wahid Institut).
Bisa jadi, kasus Monas ini memang diciptakan oleh pihak ketiga, untuk memukul dua hal sekaligus: mengalihkan isu BBM dan Ahmadiyah. Bahwa FPI kena batunya, adalah konsekuensi dari aksi kekerasannya yang tidak diterima oleh publik.
Jurnalisme damai?
Para pelaku media sejak awal seharusnya menurunkan tensi pemberitaan jika ingin persoalan kebangsaan ini selesai. Jika tidak, maka berdosalah kita karena ikut memprovokasi masyarakat untuk melakukan kekerasan. Di sinilah letaknya profesionalisme wartawan itu diuji. Di mana hati nurani kita, jika kita bangga memberitakan konflik SARA seperti memberitakan pertandingan tinju antara Mike Tyson melawan Holyfield.
Dalam pertandingan tinju, kita bisa mafhum kalau media memberitakan Tyson bersumbar akan memukul jatuh Holifield, dan sebaliknya Holyfield akan memukul KO dalam ronde pertama. Tapi setelah pertandingan usai, salah satu ada yang kalah, mereka tetap sportif dan berangkulan. Apakah sama pertandingan tinju dengan SARA? Apakah bangsa ini sudah sedemikian rusak sehingga anak bangsa diberi tontonan bentrokan fisik antara sesama anak bangsa dan perang kata antar pemuka agama? Alangkah tragisnya jika keadaan ini terus terjadi.
Saat ini, masih ada waktu untuk memperbaiki pemberitaan. Pelaksanaan jurnalisme damai mestinya menjadi tuntutan profesionalisme para wartawan. Kita dudukkan persoalan sebagaimana adanya, dan berikanlah perspektif yang menyejukkan. Tidak semua fakta harus ditayangkan, kalau sekiranya akan mengakibatkan persoalan yang destruktif. Di sinilah hati nurani kita berbicara untuk menimbang-nimbang mana yang perlu dan mana yang tidak perlu diberitakan, tanpa kehilangan independensi, aktualitas, objektivitas dan keberimbangan. Konsep berimbang atau cover both side juga bukan seperti yang kita lihat di televisi: dua tokoh berseteru dilepas semua pernyataannya baik yang menghujat maupun yang menantang perang! Untuk apa kita siarkan perseteruan itu kalau akan mendorong semua lasykar bersiaga mengangkat senjata?
Intinya, kita memerlukan media yang mampu memberikan kesejukan dan memberi jalan penyelesaian konflik atau resolusi konflik. Kalau media terus menggosok-gosok kedua belah pihak, tentu saja tidak akan terjadi titik temu. Berikanlah ruang dan perspektif dari berbagai sisi serta konteks persoalan yang sesungguhnya agar menemukan solusi. Para pendukung kedua pihak akan senang jika pemberitaan media mampu mengantarkan kedua pihak pada meja perundingan bukan sebaliknya, menjauhkan keduanya.
Pihak yang bertikai diharapkan mampu memahami sudut pandang pihak lain, mengatasi prasangka dan kecurigaan, serta mengevaluasi ulang sikap dasar yang terbentuk semula. Media diharapkan dapat memetakan konflik, mengidentifikasi pihak-pihak yang terlibat dan menganalisis tujuan-tujuan mereka, dan membicarakan informasi yang mereka sediakan dalam agenda khusus mereka. Langkah ini juga dapat mengatasi penyesatan opini yang merugikan salah satu pihak.
Jurnalisme damai memang hanya tawaran. Namun perlu diingat bahwa pers bukanlah sekadar mirror of reality, tetapi juga molder of reality (pembentuk rupa) masyarakat. Nah jika keberadaan jurnalisme adalah dalam rangka membentuk rupa masyarakat, maka jurnalisme damai adalah jalan keluarnya. (*)
Label: Artikel, foto, video
Jurnalisme Damai
Langganan:
Postingan (Atom)