Jumat, Maret 14, 2014

Polisi, Kekuasaan, dan Korupsi



Oleh Bambang Widodo Umar

Terungkapnya dugaan korupsi di Korlantas Polri yang dilakukan jenderal polisi dan dugaan korupsi di Polres Sorong, Papua, yang dilakukan bintara polisi menguatkan premis yang mengatakan bahwa korupsi mengikuti watak kekuasaan. Makin berwatak tersentral kekuasaan, makin hebat korupsinya.

Ulah korupsi polisi di negeri ini telah lama ditengarai. Korupsi oleh polisi itu terjadi karena dalam menjalankan tugas, polisi menerima pemberian dengan cara tercela atau melawan hukum berupa uang, barang, jasa, dan koneksi tertentu. Karena itu, benar kata Tubagus Ronny Nitibaskara (2001), korupsi oleh polisi itu mudah dirasakan dan dilihat, tetapi sulit dipegang.

Temuan rekening tak wajar polisi oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, ditetapkannya Irjen DS dan Brigjen (Pol) DP sebagai tersangka simulator SIM, terungkapnya dugaan korupsi seorang bintara polisi hingga mencapai miliaran rupiah, juga korupsi yang dilakukan pejabat polisi sebelumnya menunjukkan, perilaku korupsi di lingkungan Polri perlu mendapat perhatian serius pemimpin Polri dan pemimpin negara.

Jangan lupa, polisi pada dasarnya merupakan garda terdepan dalam membangun disiplin warga negara. Penyakit korupsi konon sudah cukup lama berjangkit di organisasi kepolisian. Korupsi menjadi parah karena tidak saja terjadi di lingkungan internal Polri, tetapi mungkin juga terkait dengan instansi di luar kepolisian dalam konteks fungsional ataupun struktural dan dalam hubungan yang bersifat simbiosis mutualisme.

Korupsi yang terjadi di lingkungan Korps Lalu Lintas sesungguhnya juga tidak lepas dari pelaksanaan Samsat dalam konteks jabatan. Terjadi pertukaran antara kekuasaan yang diberikan dan peluang mendapatkan penghasilan tambahan baik dari luar maupun dari dalam.

Maurice Punch (1985) dalam bukunya, Police Organization, menjelaskan, korupsi bisa terjadi karena polisi menerima atau dijanjikan keuntungan yang signifikan untuk melakukan sesuatu yang ada dalam kewenangannya, melakukan sesuatu di luar kewenangannya, melakukan diskresi dengan alasan tak patut, dan menggunakan cara di luar hukum untuk mencapai tujuan. Keuntungan tersebut untuk kepentingan pribadi polisi dan bisa juga dengan alasan untuk kepentingan operasional. Dalam hal ini, Punch mengingatkan, korupsi selalu mengiringi perjalanan kekuasaan dan sebaliknya: kekuasaan merupakan pintu masuk bagi tindak korupsi.

Korupsi di lingkungan Polri

Pada tahun 2004, ketika Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) dipimpin Irjen Farouk Muhammad, ia mendorong mahasiswa PTIK Angkatan 39-A melakukan penelitian tentang gejala korupsi di lingkungan Polri. Hasilnya menunjukkan, ada korelasi antara korupsi dan kekuasaan dalam suatu jabatan.

Korupsi oleh polisi telah merambah baik di bidang operasional maupun pembinaan. Ada korupsi internal, ada pula korupsi eksternal. Korupsi internal dilakukan petugas tanpa melibatkan masyarakat. Korupsi ini menyangkut kepentingan pelaku di lingkup kedinasan, tidak menyentuh langsung kepentingan publik. Contohnya adalah korupsi jual beli jabatan, korupsi dalam penerimaan anggota polisi, seleksi masuk pendidikan, serta korupsi dalam pendistribusian logistik dan penyaluran dana keuangan.

Korupsi eksternal merupakan korupsi yang melibatkan kepentingan masyarakat secara langsung. Masyarakat yang dimaksud adalah mereka yang terlibat atau berurusan dengan polisi baik sebagai korban kejahatan, tersangka, saksi, maupun masyarakat yang butuh pelayanan.

Korupsi itu terjadi dalam lingkup tugas polisi yang berkaitan dengan penegakan hukum dan pelayanan masyarakat. Termasuk dalam hal ini adalah setiap bentuk penyalahgunaan wewenang oleh pejabat polisi yang melibatkan warga negara yang bukan anggota polisi.

Korupsi ini dapat menyangkut kepentingan warga negara secara langsung ataupun menyangkut kepentingan polisi dalam konteks kedinasan. Contohnya, korupsi dalam mendamaikan kasus perdata yang dianggap pidana, korupsi dalam hal tidak melakukan penyidikan secara tuntas dengan merekayasa keterangan tersangka dan saksi, serta korupsi dalam merekayasa barang bukti.

Contoh lain adalah korupsi dalam hal permohonan pinjam pakai barang bukti oleh pemilik atau korban kejahatan, korupsi berupa pungutan pada penerbitan berbagai bentuk surat, seperti SIM, SCTK, STNK, BPKB, surat laporan kehilangan barang, pungutan liar di jalanan terhadap pelanggar lalu lintas, pungutan liar terhadap truk muatan yang akan masuk jalur lalu lintas tertentu, serta menerima suap dari kasus perjudian ataupun tempat hiburan yang diduga tersua usaha ilegal.

Ditemukan pula dua pola perilaku korup di lingkungan kepolisian. Pertama, pada strata pemimpin. Perilaku korup cenderung dalam bentuk kejahatan kerah putih, sedangkan pada strata bawahan cenderung dalam bentuk kejahatan kerah biru. Keduanya merupakan proses pembelajaran yang berlangsung lama dan dalam hubungan yang komplementer.

Lahirnya perilaku korup dalam hubungan komplementer antara pemimpin dan anggota dimungkinkan karena kedua belah pihak tidak berada dalam kehidupan organisasi yang menjamin adanya relasi personal yang bersifat kritis atas tanggung jawab dan kewajiban yang diemban. Kebiasaan ”siap-ndan” dalam menerima setiap perintah atau arahan cenderung mematikan daya korektif.

Reformasi Polri yang telah berjalan sekitar 12 tahun ternyata tidak berpengaruh signifikan terhadap kadar pengabdian polisi sesuai dengan Tri Brata. Sesungguhnya, dugaan perilaku korup di lingkungan Polri sudah cukup lama, antara lain penjualan aset perumahan dan perkantoran dan pembelian alat-alat operasional. Namun, semua itu tidak terungkap secara tuntas.

Kondisi itu dimungkinkan karena kontrol di dalam organisasi lemah, penindakan tak tegas, dan sanksi lemah. Di sisi lain, dalam hal kepemimpinan cenderung belum tampak mengagungagungkan sifat mulia, seperti kejujuran, kesederhaan, keteladanan, dan ketegasan dalam hidup sehari-hari. Yang berkembang justru gaya hidup pemuja harta.

Pekerjaan polisi adalah pekerjaan mulia. Di sisi lain, pekerjaan itu juga paling rentan terhadap godaan. Menurut Adrianus Meliala (2005), penyebab utama mudahnya pekerjaan polisi diselewengkan adalah pekerjaan sebagai penegak hukum bersifat soliter, sangat otonom, dan sewaktu-waktu dapat bertindak atas pertimbangan pribadi (diskresi fungsional). Dalam hal ini, unsur subyektivitas dan luasnya kekuasaan polisi dalam menjalankan fungsi sebagai penegak hukum dapat mengondisikan terjadinya penyimpangan yang dilakukan polisi.

Meski dalam organisasi Polri ada unsur pengawasan, mekanisme kontrol lewat Irwasum dan Propam menghadapi situasi dan kondisi dilematis karena pengaruh rasa korps, hubungan senioritas, dan rasa setia kawan yang berlebihan sehingga lemah dalam pelaksanaannya. Karena itu, mustahil mengharapkan fungsi kontrol internal di kepolisian dapat berjalan optimal.

Demikian juga Kompolnas, yang seharusnya dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian dibentuk sebagai pengawas eksternal, ternyata hanya dirumuskan sebagai ”penasihat” presiden di bidang kepolisian dan penerima keluhan masyarakat, yang dicederai anggota Polri.

Mengatasi korupsi polisi

Kecenderungan perilaku korup di lingkungan kepolisian tak hanya di Indonesia. Di negara lain, seperti Kanada, juga terjadi. Pemerintah Kanada sampai dua kali membentuk komisi untuk memeriksa Royal Canadian Mounted Police: pertama pada tahun 1997 melalui Komisi Mac Donald dan kedua pada tahun 1981 melalui Komisi Keable.

Pemerintah Amerika Serikat pada tahun 1970 pernah membentuk Komisi Knapp untuk memeriksa kepolisian di Negara Bagian New York karena masalah korupsi. Inggris, pada tahun 1990, juga pernah mengatasi masalah korupsi di lingkungan kepolisian.

Di antara negara yang pernah memeriksa maraknya korupsi di lembaga kepolisian, upaya Kepolisian Inggris dapat dikatakan cukup menarik. Melalui Scotland Yard’s, mereka membentuk tim investigasi sebagai unit rahasia dengan nama Bent Coppers untuk mengungkap korupsi di London Metropolitan Police yang meresahkan masyarakat.

Unit rahasia itu diawaki anggota polisi yang disusupkan ke bagian organisasi kepolisian yang banyak melakukan korupsi. Anggota unit itu bekerja secara ”ultrarahasia”. Mereka dikenal dengan nama Ghost Squad dan bertugas menangkap korupsi yang didalangi polisi, serta punya akses ke petinggi polisi yang mendapat jatah dari anak buahnya. Ghost Squad bekerja kooperatif dengan pejabat polisi korup untuk mendapatkan bukti bahwa mereka benar-benar korupsi.

Di pihak lain, para anggota Ghost Squad harus mampu menahan diri dari godaan polisi korup untuk korupsi. Selama itu, polisi korup memiliki kepercayaan tinggi bahwa mereka tidak mungkin tersentuh. Mereka korupsi uang tunai dan barang, serta menetralisasi barang bukti sehingga tak berlaku di pengadilan, dan menjual informasi untuk menggagalkan kasus di pengadilan. Menghadapi hal itu, operasi Ghost Squad membuat perangkap untuk menangkap basah polisi korup. Dalam operasinya, Ghost Squad berhasil menangkap polisi korup dan membuat mereka mendekam di penjara. Dengan operasi Ghost Squad itu, korupsi polisi di London Metropolitan Police berkurang dan model itu terus dilembagakan.

Korupsi polisi di lingkungan Polri merupakan salah satu bentuk korupsi sistemik sebagaimana hasil penelitian yang pernah dilakukan di PTIK. Upaya pemberantasan perlu dilakukan secara konsepsional. Model Ghost Squad dapat dijadikan acuan dalam pemberantasan korupsi di lingkungan Polri sekaligus untuk menjawab semboyannya, ”Polisi Anti-KKN”.

Di sini perlu komitmen seluruh pemimpin kesatuan Polri dari tingkat Mabes Polri hingga kesatuan polsek. Tak dapat pula dikesampingkan kemauan politik pemimpin negara karena kelembagaan Polri di bawah presiden.

Bambang Widodo Umar, Pengamat Kepolisian
Sumber:  http://nasional.kompas.com/read/2013/07/02/1333211/Polisi.Kekuasaan.dan.Korupsi

SOAL JILBAB POLWAN, KAPOLRI GALAU



Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Polisi Sutarman mengatakan bahwa polisi wanita yang tidak berjilbab untuk mematuhi aturan kepolisian adalah tidak berdosa.
“Insya Allah tidak berdosa karena termasuk kita merelakan hak asasi kita ini, karena memproklamirkan diri menjadi anggota Polri,” katanya.
Peraturan pemakaian jilbab untuk polisi wanita hingga saat ini masih dievaluasi karena akan berdampak pada perubahan peraturan dasar kepolisian.
“Ini kami masih evaluasi, bukan tidak kami evaluasi, karena itu menjadi tuntutan masyarakat,” kata Sutarman kepada wartawan saat berkunjung di Markas Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta, Kamis 13/03.
Menurut dia, perubahan peraturan pemakaian jilbab bagi polisi wanita (polwan) memiliki konsekuensi mengubah peraturan dan ketentuan dasar terkait seragam kepolisian (gampol). Sehingga hal itu memerlukan banyak pertimbangan.
“Polri itu kan memiliki peraturan seragam kepolisian (gampol) yang diatur oleh ketentuan dan aturan. Mengubah aturan itu harus kami lakukan secara benar melalui kajian dan melalui pertimbangan yang banyak,” katanya.
Sementara itu, selama proses pembahasan perubahan peraturan itu, menurut dia, anggota kepolisian harus tetap melakukan tugas dengan maksimal.
“Pemakaian jilbab merupakan hak asasi setiap anggota masyarakat. Tetapi karena kita memproklamirkan maka kita juga harus merelakan hak asasi kita untuk dibatasi, bukan hanya persoalan jilbab saja, namun termasuk hak memilih dan dipilih,” kata dia.
“Yang ingin menjadi anggota polri kita sendiri, sehingga setelah menjadi anggota jangan banyak menuntut. Berbuatlah yang terbaik demi bangsa dan negara, bukan menuntut,” katanya menambahkan.
November 2013 lalu, Jenderal Sutarman mengizinkan polisi wanita atau polwan menggunakan jilbab meskipun belum ada keputusan tertulis soal pemberian izin pemakaian jilbab. “Itu hak asasi seseorang. Saya sudah sampaikan pada anggota, kalau ada yang mau pakai, silakan,” ujar Sutarman saat itu.
Saat itu Sutarman menambahkan, para polwan yang ingin mengenakan jilbab tidak perlu lagi menunggu turunnya peraturan tertulis. “Mulai besok, kalau ada yang mau pakai saat tugas, tidak masalah,” katanya.(sumber: http://news.fimadani.com/read/2014/03/14/kapolri-tidak-berjilbab-insya-allah-tidak)