Jumat, Januari 20, 2012

MENGOPTIMALKAN PERAN KOMPOLNAS DALAM MEMPERCEPAT REFORMASI POLRI[1]




Oleh Syaefurrochman Achmad[2]
I. PENDAHULUAN
Salah satu tujuan reformasi Kepolisian adalah terwujudnya polisi sipil yang professional dan akuntabel dalam mengayomi dan melindungi masyarakat serta menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM). Inilah sesungguhnya wajah polisi yang didambakan masyarakat.
Sejumlah langkah memang telah dilakukan, baik secara struktural, kultural maupun instrumental. Perubahan struktural ditandai dengan reposisi struktur Polri dari kedudukannya di bawah ABRI menjadi di bawah Presiden, disusul dengan perubahan kultural penganggaran yang langsung dari APBN, serta perbaikan pendidikan Kepolisian yang memasukkan materi pengutamaan HAM dalam bertindak mengayomi dan melayani masyarakat. Perubahan instrumental yang antara lain mencakup filosofi dan doktrin Kepolisian sebagai pelindung dan pelayan masyarakat.
Kenyataan di lapangan masih dijumpai wajah polisi yang serem dan militeristik; masih banyak polisi salah tangkap sebagai wujud tidak profesional; dan masih adanya pungutan liar, korupsi bahkan pemerasan sebagai bentuk belum terwujudnya akuntabilitas publik, serta beragam corak pelanggaran diskresi[3]. Artinya, selama kurang lebih 13 tahun sejak keluarnya kebijakan tentang reformasi kepolisian tahun 1999, yakni sejak pemisahan Polri dari ABRI, hingga kini belum banyak perubahan yang signifikan terhadap wajah Polri. 

POLRI DALAM DILEMA PERLINDUNGAN HAM


Pendahuluan
Bentrokan antara warga dengan aparat Brimob di pelabuhan Sape Bima berakhir dengan kesimpulan bahwa Polri melanggar HAM. Ada kesalahan prosedur tetap (protap) yang dilakukan oleh polisi dalam menghadapi massa yang memblokir pelabuhan ketika menuntut pencabutan izin pertambangan PT Sumber Mineral Nusantara. Kesalahan Protap yang dimaksud adalah dalam hal penggunaan senjata api dalam menghadapi warga. Demikianlah kesimpulan yang dirilis Komnas HAM beberapa hari setelah timnya terjun ke lapangan. Komnas HAM mencatat tiga orang tewas dalam kasus ini.
Kasus Bima tersebut menambah panjang daftar kekerasan yang dilakukan oleh polisi. Sebelumnya, kasus Mesuji Lampung dan Sumatera Selatan, Komnas HAM mencatat tujuh warga tewas dalam bentrokan warga dengan aparat Brimob dalam sengketa lahan sawit di Kecamatan Mesuji Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumsel. Sedangkan di lahan sawit Mesuji Lampung satu orang dilaporkan tewas. Kasus Bima dan Mesuji juga semakin meyakinkan hasil survey Imparsial bulan Mei 2011 bahwa tingkat kepuasan masyarakat terhadap Polri khususnya di bidang penegakan hukum dan HAM baru mencapai 19,4% yang merasa puas, 58% warga mengatakan tidak puas dan 22% menjawab tidak tahu. [1]
Menanggapi kasus ini Kapolri Jenderal Polisi Timur Pradopo mengaku akan membahas hasil penyelidikan ini langsung bersama Ketua Komnas HAM. Kapolri menyatakan bahwa penggunaan senjata api sudah sesuai prosedur dan disepakati pimpinan di lapangan.[2] Dalam kesempatan lain, Kapolri menyatakan bahwa di lapangan Brimob harus menghormati HAM, namun sering menghadapi dilema terkait HAM ini. “Salah satu isu penting adalah penghargaan terhadap Hak Azasi Manusia. Ini harus diperhatikan, karena biasanya Brimob selalu dihadapkan pada masalah sulit, kebimbangan antara menjalankan tugas dan melanggar hak asasi manusia atau bukan,” kata Timur di Markas Komando Brimob, Kelapa Dua, Depok, Senin 14 November 2011.[3]
Masalah Pokok
Kekerasan dan pelanggaran HAM seperti dalam kasus Bima dan Mesuji adalah bagian dari persoalan yang dihadapi Polri dalam menjalankan fungsinya sebagai penjaga/menciptakan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum dan mewujudkan keadilan masyarakat. Pelaksanaan tugas itu memang harus dilakukan dengan senantiasa menghormati HAM, profesional dan akuntabel. Namun kenyataannya tugas mulia itu belum sepenuhnya mampu diwujudkan. Kasus-kasus HAM seperti di Bima dan Mesuji, akan selalu bergesekan dengan polisi, karena memang sudah menjadi tugasnya, bahwa polisi memang berada di masyarakat yang beragam watak dan sifatnya.
Persoalannya sekarang adalah bagaimana mewujudkan reformasi Polri khususnya dalam bidang penegakan hukum dan HAM setelah kedudukannya lepas dari TNI dan saat ini langsung di bawah Presiden. Tentu bukan persoalan mudah mewujudkannya, karena terkait dengan perubahan kultur dan pendidikan aparat kepolisian yang dilakukannya.

Selasa, Januari 17, 2012

MEMPERKUAT POLISI DENGAN JARINGAN INTELIJEN WARGA (JIWA)



Memperkuat intelijen polisi dengan jaringan intelijen warga disingkat JIWA) atau dalam bahasa Inggris disebut Citizen Intelligence Network (CIN) adalah jawaban yang bisa dikembangkan lebih jauh. JIWA dimaksudkan sebagai alternative melibatkan warga membantu polisi dalam bidang intelijen.
Konsep JIWA atau CIN pada prinsipinya adalah membuka kemungkinan kepada setiap warga negara untuk memberikan informasi kepada polisi mengenai kejadian di lingkungannya. Sifatnya sukarela. Polisi harus menyediakan ruang cukup yang mampu menampung laporan masyarakat, setiap hari. Ruang itu bisa berupa ruang maya atau portal khusus yang berisi video,foto, teks dan bisa interaktif langsung antara polisi yang bertugas dengan warga yang melapor. Selain ruang maya, polisi juga dapat menyediakan kotak pos untuk menampung masukan tertulis.
Jaringan Intelijen Warga membutuhkan pimpinan, yang mampu mengorganisir informasi. Di dalamnya paling tidak terdapat ahli komunikasi, ahli teknologi informasi dan pengamat social. Fungsinya adalah menganalisis perkembangan social yang dilaporkan warga. Setiap saat, jika diperlukan, diadakan pertemuan yang membahas situasi social.
Pelibatan warga dalam hal intelijen ini dapat merupakan pengembangan dari konsep community policing yang diperjelas, dan pengembangan forum kemitraan polisi dan masyarakat yang selama ini sudah ada.
Sisi Positif.